Pagi ini, untuk yang ketiga kalinya, aku mendapati keadaan
tubuhku yang tak sepenuhnya baik; aku menemukan luka seperti bekas sayatan di
lengan sebelah kiri atas. Rasanya sangat perih sebelum akhirnya aku mengobati
luka tersebut dengan obat merah dan plester.
Ya, ini bukan pertama kalinya aku mengalami kejadian serupa.
Beberapa hari sebelumnya, bagian tubuhku yang lain juga penuh dengan luka
misterius yang baru kuketahui keberadaannya saat bangun dari tidur. Padahal
seingatku, aku masih dalam keadaan baik-baik saja sebelum tertidur malam itu.
Awalnya kupikir hanya keteledoranku dan aku tak perlu memikirkannya terlalu
jauh. Namun setelah hal ini menimpaku berkali-kali, akhirnya aku memberanikan
diri untuk bercerita pada sahabatku, Mei.
Mei adalah sahabatku sedari SMP. Dan kebetulan, kami satu
SMA dan berada di kelas yang sama. Dia adalah perempuan yang sangat baik dan
ramah dengan siapa saja. Karena itu lah, aku yang terkenal sulit bersosialisasi
ini bisa berteman dengannya dengan baik. Mei bisa dibilang adalah kebalikan
dari diriku—dia sangat hangat dan penuh semangat. Ia selalu memberi nasehat
yang baik kepada teman-teman yang bercerita kepadanya. Dan aku sangat bersyukur
bisa menjadi salah satu sahabatnya.
Aku menceritakan semua ceritaku dengan detail kepadanya saat
kami berdua makan bersama di kantin, di jam istirahat pertama. Mei tampak
sangat terkejut setelah mendengar ceritaku.
“Itu sangat aneh,” ungkapnya, kemudian menambahi, “Apakah
ada barang-barang yang hilang di rumahmu saat itu?”
“Entahlah. Aku tak terlalu memperhatikan.” Aku menyeruput
segelas jus jeruk yang tersaji di depanku, kemudian melanjutkan perkataanku,
“Tapi sepertinya tidak ada. Keluargaku tidak ada yang meributkannya, sih.”
“Kalau begitu, bagaimana dengan orang-orang di rumahmu?
Apakah mereka mengalami hal yang sama?”
“Sepertinya tidak juga.”
Mei mendengus. Sepertinya, ia telah menyerah untuk menebak-nebak
apa yang terjadi padaku.
“Ah, sudahlah. Tampaknya, aku terlalu berlebihan
memikirkannya. Ahahaha.”
Hari itu, semuanya berlalu seperti biasanya. Tidak ada yang
menarik selain praktik seni tari pada jam pelajaran terakhir.
Esok hari pun datang menjemputku. Sekilas, aku merasakan ada
yang tidak baik pada diriku tepat setelah aku membuka mataku untuk pertama
kalinya pada hari itu. Kepalaku pusing, perutku terasa melilit, dan semua
gambaran yang tertangkap oleh kedua mataku tampak seperti goncangan gempa.
Untuk sekedar menggerakkan tanganku saja rasanya tak mampu. Aku terus berbaring
di kasurku sampai pada akhirnya ibu menuju ke kamarku, dan saat itu juga
seluruh pandanganku berubah menjadi hitam.
***
Aku mendapati diriku tengah berbaring di ranjang rumah sakit
dengan pergelangan tangan yang tersambung dengan selang infus tatkala aku
membuka kedua kelopak mataku.
Dan di ruangan itu, hanya ada aku seorang diri.
Aku kebingungan, kemudian segera mencari-cari ponselku—barangkali
ada yang membawanya ke tempat ini, namun hasilnya nihil. Padahal aku berniat
untuk menelpon Mei agar segera datang menemaniku di sini.
Kutarik nafasku dalam-dalam, kemudian menghembuskannya
perlahan untuk menenangkan diri. Tak lama setelah itu, sekelumit suara dari
luar ruangan menelisik telingaku.
“Bagaimana keadaan anak saya, Dok?”
“Keadaannya cukup kritis, dan sepertinya kondisi
psikologisnya lebih parah dari biasanya.”
Aku tertegun. Apakah yang baru saja dibicarakan adalah aku?
“Bagaimana dengan penanganannya, Dok?”
“Tenang saja. Kami akan berusaha semaksimal mungkin.”
Tak lama kemudian, seorang pria muncul dari balik pintu.
Sepertinya, dia adalah sosok yang disebut sebagai dokter barusan oleh lawan
bicaranya.
“Kamu sudah bangun ternyata. Bagaimana perasaanmu?”
Aku kebingungan menjawab pertanyaan yang kupikir aneh untuk
ditanyakan kepada pasien yang baru saja terbangun dari kondisi pingsannya.
Namun, beberapa detik kemudian, aku pun menjawab, “Baik.”
“Ibumu sedang mengambilkan obat untukmu. Sekarang
beristirahatlah.” Ia menyarankanku, kemudian melanjutkan kata-katanya yang
sempat terjeda. “Mei.”
Dia menyebut sebuah nama yang tentu saja tidak asing lagi
bagiku.
Dia telah menyebut nama sahabatku—yang selama ini berada
dalam tubuhku sendiri.
Aku tersenyum.
Baiklah, sepertinya sekarang sudah saatnya aku
memperkenalkan diri. Namaku Meika Natasha. Aku adalah seorang pelajar SMA
berumur 17 tahun yang telah diagnosa menderita skizofrenia dan sindrom
Muchausen sejak orangtuaku bercerai tiga tahun lalu. Dan tidak seperti remaja
normal lainnya, aku tidak memiliki satu pun sahabat yang bisa kupercayai selain
diriku sendiri—selain Meika Natasha.
Skizofrenia menyebabkanku berhalusinasi telah memiliki seorang
sahabat yang baik, yang sebenarnya tidak pernah ada. Di sisi lain, Sindrom
Muchausen menyebabkanku secara sengaja melukai diri sendiri—dalam kasus ini,
aku menyayat lenganku setiap malam—demi mendapatkan perhatian dari oranglain.
Namun rupanya, walaupun aku sudah membuat diriku sendiri
terluka, tetap saja tidak ada yang mempedulikanku—selain ibuku.
Aku menyadari bahwa aku bukanlah Putri Salju yang telah
memakan apel beracun dari Ratu jahat, yang kemudian mendapat perhatian dari
para kurcaci, bahkan diselamatkan oleh seorang pangeran; bukan pula seorang
Rapunzel yang dikurung di atas menara dan kemudian diselamatkan oleh seorang
pemuda baik hati.
Aku hanyalah seonggok bayangan di atas cermin cembung dari
kisah mereka—aku justru memberikan apel beracun pada diriku sendiri, dan
mengurung diri pula dalam menara yang kubuat sendiri.
Yang perlu digarisbawahi adalah : aku ingin seseorang
menyelamatkanku.