Barangkali cinta memang membasuh perih seperti kata Dewa19, alih-alih menyesal, Maya justru merasa semuanya telah lepas; kekesalan, kekecewaan, cemburu, dan segala keluh kesah batin lainnya. Mungkin bukan rela, tapi memang cinta sudah sepatutnya seperti itu. Di luar sana orang-orang merasa bahwa memperjuangkan dan mengejar adalah bagian dari usaha terbaik mereka. Pada kenyataannya itu hanya menunjukkan obsesi semata. Kalau memang cinta, seharusnya tidak perlu ada rasa takut tidak tercapai, teraih, termiliki, atau tertolak—itu pamrih.
Dan Maya rasa, kecintaannya terhadap sahabatnya bukanlah
sekedar obsesi.
Bagaimana mengatakannya, ya? Sebenarnya hal yang cukup lumrah
seseorang mengubah arah pandang perasaan terhadap sahabatnya. Mungkin itu
adalah sebagian dari bukti nyata pepatah Jawa, ‘witing tresno jalaran soko kulino’.
Tapi Maya tahu diri. Ujung panah dari rasa yang
diam-diam menyelinap dalam hatinya akhir-akhir ini bukanlah kuasa atau
kepemilikan. Dia merasa perasaannya sudah cukup valid untuk dipendam saja, tidak
perlu ada yang tahu. ‘Lama-lama juga akan
hilang kalau sudah lelah.’ Lagipula, jika ada oranglain yang tahu, justru
akan membuat dunianya kacau.
Masalahnya, dia bukan orang yang mudah lelah; stamina
fisik maupun batinnya sudah teruji seperti itu.
“Kamu lagi naksir orang nggak, sih?”
Pertanyaan ini terulang kembali setelah berpuluh-puluh
kali dilontarkan oleh mulut-mulut yang berbeda. Sudah seperti ringtone khusus yang akan orang-orang
putar ketika dia terlihat suntuk. Mereka kenapa sih, selalu penasaran dengan
ranah privasi semacam itu, pikir Maya. Tapi kali ini orang yang menanyakannya
justru orang yang selama ini dia pikirkan semalam suntuk, yang dia sebut dalam
doanya yang sia-sia—sampai kapanpun. Karena dia tahu, tuhannya tidak akan mengizinkan permintaan hina seperti itu untuk dibalas kabul, oleh manusia sesuci apa pun.
“Nggak.”
“Ah, masa, sih?” Orang itu menanggapi dengan nada tak
percaya. ‘Bodoh, mana mungkin aku
mengakuinya di depanmu.’ Maya membatin, sambil mengamati orang di
sampingnya yang juga tengah mengamati dirinya lekat-lekat sambil tersenyum
miring.
“Dari dulu nggak berubah, ya.”
“Sekarang gantian kutanya,” ucap Maya, memutar balik
arah obrolan. “Kamu kapan berhenti mengharapkan crushmu itu?”
“Kalau udah capek.”
Alasan yang sama. Hanya saja, Maya terlalu enggan untuk
mengaku. Asal bisa tetap bersama gadis manis ini, Maya pikir itu bukan ide yang
buruk. Biarlah diam di sana sampai usang. Jika memang cintanya berbentuk besi,
biar saja sampai berkarat. Pun dia tak keberatan bila hatinya teriritasi. Itu
lebih baik daripada orang terkasihnya tahu bahwa dia adalah manusia yang tidak selurus
liuk rambutnya, sebab akan terlalu banyak kemungkinan; dibuang, dilupakan,
dibantah, dicaci, disingkirkan, diasingkan, atau dianggap angin lalu.
“Kalau udah capek, bilang-bilang.”
“Mau pijetin?”
“Nggak, mau
bersyukur aja.”