Rabu, 07 Desember 2022

langkah duapuluh satu, menuju duapuluh dua

Diposting oleh fuyuhanacherry di 07.32 0 komentar

Halo semuanya, kembali lagi bersama langkah-langkah q

Akhirnya aku bisa nulis ini lagi, walau telat banget. Harusnya kalau sesuai jadwal, aku menulis artikel langkah-langkah ini di setiap petengahan taun, kayak tahun-tahun sebelumnya. Tapi tahun ini aku nggak bisa, ternyata. Pertengahan tahun aku lagi di Tlogosari, Giritontro, Wonogiri, dan lagi sibuk-sibuknya. Hehehe.

Buat yang belum tahu, aku selalu bikin catatan di blog kaya gini setiap setahun sekali. Here we go untuk catatan tahun-tahun sebelumnya

18 menuju 19

19 menuju 20

20 menuju 21

2022 aku sangat kurang menulis. Aku kayanya lebih banyak mengamati, dan melakukan hal-hal baru.

Di tahun ini, aku menjalani KKN-PK, kemudian mengadakan pameran di TBY. Hal-hal itu tentu adalah hal rare, langka, dan kayanya gaakan kutemui lagi besok-besok. Aku merasa aku sudah memanfaatnya dengan sebaik yang aku bisa. Pengalaman baru, pelajaran baru, teman-teman baru, dan menemukan beberapa bagian puzzle diri sendiri yang sempat hilang; semuanya cukup worth it. Walau pas pelaksanaannya aku capek banget. Suka marah-marah, sedih gajelas. Tapi ternyata aku bisa ngelewatinnya. Terima kasih untuk semua orang yang terlibat dalam segala lika liku hidupku di 2022~ Semoga ke depannya kita ketemu lagi dalam suasana dan keadaan yang lebih baik dan berkembang dari sebelumnya

Terus, akhir tahun begini aku jadi banyak merenung. Soalnya aku udah mau tamat kuliah. Udah mulai skripsian. Padahal rasanya baru kemarin aku belajar ngekos dan bosen tiap kali makan ayam geprek. Ternyata udah mau selesai. Ada sedih-sedihnya, ada juga senangnya. Sedih karena era ulya bersenang-senang dan mengeksplorasi diri dengan bebas udah mau abis, senang karena aku ternyata bisa bertahan sampai titik ini. Padahal dulu kukira di umur kepala 2 aku udah tinggal nama, ahahaha

Dipikir-pikir, aku cuma pengen hidup bersama passion-passionku. Sampai aku tua nanti.

Aku masih belum tau gimana caranya bertahan dengan semua itu. Kalo diliat realistisnya ya… emang ga menguntungkan. Aku butuh uang. Sedangkan hidup dengan bahan bakar passion tuh, rasanya untung-untungan aja. Kalo sukses ya sukses banget, kalo engga ya engga banget. Dan aku seumur hidup gaperna ikut ajang judi mana pun. Jadi aku gapunya skillnya. Kalo gapunya skillnya, kemungkinan aku bakal kalah.

Main game gaccha aja aku gapernah. Padahal kadang aku suka visual-visualnya. Aku gatau cara main game. Sampe sekarang, aku cuma bisa main zuma sama feeding frenzy. Kalo di hp cuma pernah main piano tiles sama Sudoku. Kalo pun dikasih tahu cara mainin game baru, butuh waktu lebih lama buat memahami itu, belum lagi buat asah skillnya. Jadi makin luaaaamaaaa. Padahal waktu adalah uang. Harusnya aku bisa cari jalan alternatif. Tapi aku masih belum nemu juga sampai sekarang.

Hidup dengan melukis, bernyanyi, menulis, membaca, berkebun, membuat kue, hal-hal macam itu yang aku inginkan. Tapi kayanya orang-orang susah paham, kalo aku bisa bahagia dengan hal-hal itu. Mereka pikir, itu Cuma hal-hal untuk menghabiskan waktu semata; mereka selalu pakai kata ‘Cuma’, kalo ada orang yang bicara tentang kesukaan mereka.

Mungkin aja mereka nggabisa nggambar, suaranya jelek, nggabisa menulis, dan lain-lain jadi mereka merasa hal-hal semacam itu bukan gambaran ‘bahagia’ yang haqiqi; mungkin aja. Dipikir pikir, aku sendiri udah tau cara membahagiakan diri, tapi masih terombang-ambing dalam realita yang pengennya aku bahagia dengan cara muluk-muluk.

Dipikir pikir lagi, sebenarnya aku gak butuh-butuh amat pangkat dan framing bagus. Toh, aku ga terlalu suka juga dipuji berlebihan dan dianggap ‘keren’—itu semua membebani pikiranku. Aku jadi merasa terdesak buat selalu keren terus, padahal kadang aku juga pengen jadi gak keren dan biasa aja. Aku juga lebih banyak naruh kepercayaan sama passion-passionku daripada cuitan (baik pujian maupun cemoohan) orang-orang mengenai standar kebahagiaan dalam hidup. Aku juga percaya sama orang-orang yang emang udah kenal aku. Yang satu ranah dan selalu rilet dengan segala dilematika passion. Cuma, aku kurang percaya sama gimana aku bisa mempertahankan idealisme yang aku anut sekarang ini. Karena sebenarnya, bukan cuma aku yang layak bahagia, orang-orang di sekitarku juga; keluarga, kerabat, dan teman-teman.

Kalau aku mampu, aku mau saja mengikuti apa yang orang-orang terdekat kehendaki. Tapi aku gak yakin kalo aku mampu. Aku selalu mengukur kemampuan diri sebelum memutuskan untuk mengambil tanggungjawab baru. Dan aku rasa, aku saja masih butuh banyak latihan buat membahagiakan diri sendiri. Tapi kalau di film-film, sering ada kata-kata yang kurang lebih berbunyi “orang yang menyayangi kita akan bahagia jika melihat kita bahagia”. Benar nggak, ya? Aku kurang tahu, soalnya. Aku belum pernah bahagia sepenuhnya, dan melihat oranglain bahagia atas bahagiaku. Kurang yakin juga apa aku bisa kayak gitu. Tapi semoga aku bisa.

Jadi ngelantur ke mana-mana, ya. Haha.

Trus yang aku inget, resolusiku di awal tahun buat tahun ini tuh aku pengen jadi Ningning aespa. Tapi ternyata terhitung sampai tanggal 7 desember 2022 ini, aku belum ada perubahan sedikit pun yang mengarah ke ningning. Padahal aku pengen banget. Aku masih gini-gini aja. Aku gak berubah-berubah amat. Masih jadi ulya yang suka anime, ngesimp vtuber, ngikutin perkembangan pop-kultur, nyanyi-nyanyi, nggambar-nggambar, nulis-nulis, baca-baca, pokoknya masih sama. So, aku gaperlu perkenalan diri ulang di awal tahun depan. Kecuali kalo tiba-tiba aku jatuh cinta, mungkin bakal ada yang berubah, barang sedikit. Tapi jatuh cinta tuh susah ya, apa cuma perasaanku aja. Soalnya, buat jatuh cinta sama diri sendiri aja aku butuh waktu 20 tahun. Apalagi sama oranglain

Harapanku, semoga kalian semua sehat dan bisa menemukan bahagianya masing-masing. Aku juga semoga bisa begitu. Dan bonusnya, semoga kita semua bisa dapat uang banyak

Sampai jumpa tahun depan!

 

 

 

Senin, 05 Desember 2022

Di Tanah Lada: Perjuangan Anak-Anak dalam Mencari Kemerdekaan Hidup

Diposting oleh fuyuhanacherry di 16.21 0 komentar



Udah lama gak update tulisan di blogku. Karena akhir-akhir ini aku lagi kembali dengan rutinitas membacaku, jadi sekalian aja deh aku bikin review dari buku-buku yang aku baca belakangan ini (yang menarik untuk diulas)

Yang akan aku ulas di postingan ini adalah buku fiksi karya penulis Indonesia yang berjudul “Di Tanah Lada”. Intermezzo sedikit, aku udah pernah baca karya dari penulisnya, Kak Ziggy, dari zaman aku SMP! Kalo nggak salah, dia nerbitin buku di fantasteen (terbitan Mizan) pas dia masih remaja. Genrenya psikologi-thriller, judulnya Teru Teru Bozu. Aku masih ingat betul dari Teru Teru Bozzu itu aku langsung ngefans sama stilistika dan gaya penceritaan Kak Ziggy, udah ngebatin juga kalau Kak Ziggy ini bakal jadi penulis besar di masa depan. Dan ternyata prediksiku benar. Buku-buku karya Kak Ziggy sekarang banyak jadi perbincangan para pecinta buku di Indonesia. Senang juga aku melihat perkembangannya!

Nah, selain gaya penceritaannya, yang aku suka dari karya-karya Kak Ziggy adalah sense of titling (?) nya!!! Setiap bikin buku, judul-judulnya tuh lucu dan memorable banget!! Dari Jakarta Sebelum Pagi, Di Tanah Lada, Semua Ikan di Langit, sampai Kita Pergi Hari Ini dan yang paling baru adalah Tiga dalam Kayu, semuanya tuh menurutku punya estetika tersendiri. Enak buat disebut. Cover-covernya pun lucu-lucu banget, bahkan gak jarang kak Ziggy menyuguhkan ilustrasi-ilustrasi karya dia sendiri dalam buku-bukunya! What a talented gurl~

Oke kambali ke tanah lada, novel dengan genre realistic fiction ini menceritakan tentang petualangan hidup seorang anak perempuan umur 6 tahun pecandu KBBI bernama Ava. Singkat aja, Ava ini adalah korban broken home dalam keluarganya. Pada suatu hari, dia pindah tempat tinggal ke sebuah rusun yang kumuh bernama Rusun Nero. Di Rusun Nero inilah, dia bertemu dengan teman yang senasib dengannya—sama-sama koban broken home, yang bernama P. Iya, namanya cuma satu huruf. Dari nama saja kelihatan, kan, bagaimana kira-kira orangtuanya memperlakukan P? P ini umurnya 10 tahun, ngomong-ngomong.

Nah, mereka akhirnya berteman baik dan jadi sangat dekat sekali, karena merasa senasib sepenanggungan dengan kondisi keluarga mereka yang porak poranda. Satu hari, ada suatu peristiwa yang akhirnya mengharuskan mereka untuk kabur dari rusun. Mereka berdua sudah muak dengan keadaan yang mereka terima itu, ceritanya, dan bertekad untuk pergi ke rumah nenek Ava. Rumah nenek Ava terletak di lintas pulau, katanya, tempat itu biasa disebut sebagai “tanah lada” karena menjadi tempat penghasil lada yang lumayan besar. Dari situlah, novel ini mendapat judul “Di Tanah Lada”. Menurutku, ini pemilihan judul yang sangat epik.

Dari awal kita bakal disuguhi dengan berbagai konflik ‘keluarga’ baik dari keluarga Ava maupun keluarga P. Dan, you know, cerita-cerita dengan tema/topik keluarga tuh rasanya selalu sensitif buat diresapi. Baru seperempat baca aja, aku dah mau nangis rasanya. Apalagi tokoh utamanya ini anak-anak. Aku punya rasa empatik yang lebih sama anak-anak, soalnya.

Yang biasanya menjadi faktor kehebohan orang-orang yang membaca novel ini adalah endingnya. Jujur, untuk aku pribadi, aku cukup menyayangkan bagaimana cerita ini berakhir. Aku rasa, banyak hal yang masih bisa dieksplor untuk menjadi closing cerita yang lebih baik. Soalnya nanggung, gitu lho! Mereka udah mau nyampe di ujung, udah nemu secercah cahaya, malah tiba-tiba milih berenti. Greget banget rasanyaaaaa.

Tapi di bagian catatan penulis, Kak Ziggy sendiri menyatakan bahwa dalam buku Di Tanah Lada cetakan kedua ini, yang tertaut 6 tahun dari cetakan pertamanya, dia merasa ada banyak hal yang seharusnya bisa diperbaiki. Tapi kalau harus menyunting ulang semuanya, jadi kayak penulisan ulang dan itu bakal mengkhianati esensi karyanya sendiri yang ditulis pas dia masih ‘muda’. Jadi dia harap pembaca dapat memaklumi kekurangan yang ada dalam novel tersebut. Jadi sepertinya Kak Ziggy juga paham bahwa memang ada beberapa hal yang seharusnya ‘tidak seperti itu’, dan mau gimana lagi, ahahah

Selain ending dengan plottwist yang membagongkan, hal yang aku kira menjadi kekurangan dalam novel ini adalah bagaimana penulis mengembangkan karakter anak-anak. Ava, sebagai seorang anak berumur 6 tahun, menjadi sosok yang kurang realistis dengan umur tersebut. Ava terlalu pintar, walau memang memungkinkan ada anak umur segitu yang dapat menghafal banyak hal dalam ranah kebahasaan, tapi rasanya sulit dipercaya juga. Apalagi Ava dan P ini pemikirannya terlalu ndakik-ndakik, sudah memikirkan masa depan, reikarnasi, dan pemikiran-pemikiran filosofis lainnya. Walaupun memang keadaan yang mendesak mereka untuk mendewasa lebih cepat dari anak normal lainnya, rasanya masih kurang pas aja. Nggatau kenapa. Apalagi Ava dan P ini punya rentang umur berbeda 4 tahun. Tapi mereka malah kayak seumuran secara pemikiran. Jadi kayak ngga ada bedanya. Dan terlalu banyak ugh, romantisasinya? Masih sekecil itu udah banyak tau tentang cinta, sedangkan aq yang 22 tahun masih bodoh tentang cinta :”””( #halach

Tapi secara keseluruhan aku suka banget!!!!!!!! Menurutku sangat heartwarming ketika sudah bisa diresapi seluk beluk ceritanya, walau mengguncangkan juga dan gak anak-broken-home-friendly.  Aku selalu suka sama cerita-cerita yang membahas tentang anak-anak. Memang aku punya ketertarikan tersendiri dalam ranah itu, sih.

Novel Di Tanah Lada ini banyak menunjukkan permasalahan berkaitan dengan susahnya jadi orangtua. Jadi orangtua sepertinya emang lebih susah dari cari jodoh. Zaman sekarang dah ada aplikasi kencan, belum sosial media ini itu yang bisa menghubungkan orang-orang dari seluruh penjuru dunia. Tapi masalah bagaimana tata cara menjadi ayah atau ibu yang baik, nggak bisa didapat cuma dari media-media digital yang berkembang di dunia yang semakin modern semacam itu. Parenting perlu menjadi bahan pembelajaran serius, tradisional. Kalo cuma nyaritau cara ngewa ngewe doang tanpa mikirin gimana hasil dan konsekuensinya mah, buka pornhub gratis juga bisa.

Untuk rate-nya, secara keseluruhan buku ini aku kasih 8.5/10.

Buat yang suka cerita-cerita sedih tentang keluarga dan anak-anak, buku ini worth untuk masuk wishlist baca kalian. Tapi kalau kalian punya trauma tentang toxic parents, lebih baik jangan baca dulu, atau baca dengan pendampingan.

Trims dah membaca postingan ini. See you in the next post

 

home sweet dream Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review