Di tahun ini, harusnya aku berusia 23 tahun. Dan sepanjang alur hidupku menuju ke titik itu, aku belum pernah bertemu atau kenal dengan sosok laki-laki yang menurutku benar-benar baik. Maksudnya, yang memang murni baik, bukan baik karena ada maunya, atau baik untuk membranding diri mereka sendiri. Entah sebenarnya standar ‘baik’ yang ada di dalam otakku ini seperti apa; yang kehidupan dan perilakunya sesuai dengan norma dan etika di masyarakat, atau sesederhana yang tidak pernah melukai perasaanku. Soalnya, kalau dipikir-pikir, semuanya pasti pernah meninggalkan bekas sayatan di hatiku. Walau lambat laun luka-luka itu hilang juga, sih. Sesungguhnya, mau sekecil apapun luka yang laki-laki beri padaku, efek kerusakannya bisa jauh lebih besar daripada jika perempuan yang memberikannya. Rasa-rasanya, sebagai perempuan aku kurang lebih paham dengan tingkah laku dan gerak gerik mahluk dengan jenis kelamin yang sama denganku. Tapi ketika laki-laki? Tidak, aku tidak pernah mampu untuk memahami mereka.
Kalau harus mengulas bagaimana aku
bisa berpikir seperti itu, mungkin memang harus kembali ke bagian ufuk--awal mula aku
hidup, mengenai laki-laki pertama yang mengetahui keberadaanku, bahkan
memberikanku eksistensi dalam nama yang dia sematkan padaku—ayah, bapak, abah, atau
apalah itu sebutannya. Aku merupakan salah satu biji sperma dari dalam tubuhnya
yang telah mengalahkan jutaan sperma lainnya. Maka dari itu aku hidup. Aku pun
tidak tahu kenapa aku yang menang, kenapa aku yang diutus untuk lahir dan
menjadi anak manusia. Kalau kata orang sih, itu tandanya aku telah menyetujui
perjanjian dengan tuhan sebelum aku diciptakan dan lahir di bumi. Tapi aku
tidak pernah ingat. Rasa-rasanya kalau aku ditanya lagi sekarang dengan
pertanyaan semacam “apakah engkau ingin hidup sebagai manusia?” aku akan menjawab, "tidak
mau". Aku mau hidup sebagai kucing yang hidup di keluarga kaya raya saja. Dengan
keadaan itu akan kurang tantangan, memang. Tapi aku memang tidak terlalu suka
tantangan. Apalagi yang sulit. Semua itu membuatku selalu berpikir bahwa
aku hidup untuk berkompetisi. Padahal aku tidak mau.
Aku lahir dalam keluarga yang
sederhana, sebagai anak yang pertama kali hadir di dalamnya. Aku merasakan
masa-masa ketika keluarga kami masih sangat kecil, kurang, tertinggal, dan
lainnya. Aku tidak benar-benar ingat, yang jelas ketika aku masih menjadi
satu-satunya, rasanya aku seperti seorang tuan putri. Sebenarnya sampai
sekarang aku masih ingin menjadi putri kerajaan seperti dalam film-film Barbie
yang aku tonton. Cantik, pakai gaun-gaun bagus, aman di dalam istana yang
megah. Kurasa semua orang—terutama perempuan yang lain juga ingin menjadi
seperti itu. Tapi nyatanya, menjadi perempuan selalu disudutkan dalam perasaan
tidak aman. Paling tidak itulah yang kurasakan selama ini. Mungkin karena itu
pula ayahku selalu ingin menjagaku, takut jikalau aku lepas dari pandangannya.
Ayahku selalu memberikanku
keamanan yang menurut dia sudah selayaknya diberikan pada seorang anak
perempuan, apalagi aku anak pertama. Ayah selalu mengantarku ke mana mana, mencariku tiap kali aku tidak berada di
rumah, dan menyuguhkanku peraturan ini itu. Peraturan yang kumaksud itu
termasuk aturan dalam ranah keagamaan pula. Dari TK dan SD, aku sudah harus
menggunakan kerudung ke mana-mana. Kadang aku iri dengan teman-teman yang bisa
menggunakan pernak pernik lucu di rambut mereka. Dulu kupikir aku harus
menggunakan kerudung karena rambutku keriting, jadi lebih baik disembunyikan
saja. Dari zaman SD, kegiatanku juga selalu seputar bersekolah. Tidak hanya di
Sekolah Dasar, sepulangnya dari SD aku harus mengikuti Madrasah Diniyah,
selepas madrasah aku harus mengikuti TPA, selepas TPA aku masih mengikuti ngaji
bareng di ustad komplek. Dulu aku pikir seperti itu normal-normal saja. Aku
baru sadar kalau itu terlalu berlebihan untuk anak sekecil itu setelah aku
mendengar teman-temanku bercerita tentang keseharian mereka. Mereka selalu punya banyak cerita menarik selain belajar dan sekolah. Sepertinya hidup mereka sangat menyenangkan dan bervariasi.
Ayahku selalu takut kalau aku berada
di jalur yang salah. Makanya dia selalu ingin agar aku tetap ada di bawah
kendalinya. Sayangnya, walau sudah begitu pun aku tetap mendapatkan
perlakuan-perlakuan yang tidak menyenangkan tiap kali ayah tidak sedang
bersamaku. Kadang hal-hal semacam itu yang membuatku skeptis padanya. Soalnya,
dia tetap nggak bisa melindungiku
juga. Ujung-ujungnya, aku harus selalu menghadapi semua perlakuan buruk itu
seorang diri, kala aku belia.
Perlakuan-perlakuan tidak
menyenangkan itu terjadi karena aku perempuan, dan pelakunya juga selalu
laki-laki. Pada saat itu, aku ingat sekali betapa kesal dan tidak bersyukurnya
aku dengan nasibku yang terlahir sebagai perempuan. Yang pertama, entah saat
kelas berapa aku lupa tepatnya, aku pernah dicium oleh seorang laki-laki dewasa—usia
20an mungkin, yang melakukannya out of nowhere dan tanpa merasa bersalah. Di hadapan oranglain pula. Kata orang-orang
wajar karena aku menggemaskan dan masih kecil. Tapi rasa-rasanya aku terganggu
dengan hal itu. Aku lari, pulang ke rumah sambil menangis. Tapi aku tidak
menceritakannya pada orangtuaku. Aku takut dianggap berlebihan. Sampai saat
ini, aku masih ingat siapa laki-laki itu. Dia masih hidup, dan demi tuhan, aku
tidak akan pernah menemuinya dan memaafkannya. Aku juga heran dengan
orang-orang yang mewajarkan perbuatan itu. Mereka gila. Itu semua nggak normal. Laki-laki dewasa macam apa
yang akan melakukan hal seperti itu PADA ANAK PEREMPUAN DI BAWAH UMUR??????
Oke, yang itu kasus pertama. Selanjutnya,
pelakunya bukan orang dewasa. Mungkin seumuranku. Aku tidak tahu kenapa, pada
suatu hari tiba-tiba mendapatkan sebuah surat—yang setelah kubuka isinya
ternyata surat cinta. Yang ini aku ingat, ini saat aku kelas 5 SD. Aku sering
dengar bahwa anak-anak lain suka membicarakan tentang ‘pacaran’ atau ‘si A suka
sama si B, loh!’. Tapi aku tidak menyangka bahwa akan ada masanya aku terjebak
dengan urusan semacam itu. Padahal yang aku lakukan saat itu hanya sekolah di
SD, madrasah, TPA, dan ngaji. Kalau ada waktu luang, aku hanya membaca buku
yang aku punya—atau sesekali meminjam di perpustakaan sekolah. Kenapa aku harus
terjebak dengan situasi semacam itu? Tadinya aku biarkan saja. Tidak aku balas.
Aku juga terlalu pendiam untuk berbicara langsung kepada si pengirim. Sebenarnya
dia bukan laki-laki yang aneh—paling tidak, tidak seaneh laki-laki di kasus pertama.
Tapi lambat laun, muncul juga anehnya. Tuhan, kenapa laki-laki selalu aneh!!
Semakin hari dia semakin berulah. Mengajakku ke kantin bersama, mengajakku
pulang bersama, sampai memberiku bunga dan coklat? Gila! Anak SD ini kok punya
waktu untuk beginian, sih! Aku rasa saat itu aku nggak relate aja, soalnya
aku Cuma belajar. Lagipula, kenapa dia sukanya ke aku? Padahal yang aku lakukan
hanya diam dan menjadi pintar. Sampai klimaksnya, dia ‘nembak’ aku di hadapan
banyak orang di sekolah saat jam istirahat! Benar-benar gila. Padahal aku sudah
menolak semua ajakannya dari pergi ke kantin, pulang, sampai bunga dan makanan
yang dia berikan pun kukembalikan! Kok masih punya nyali. Karena aku tidak tahu
harus bagaimana, saat kejadian itu dan dikerumuni banyak penonton, aku lari ke
kantin dan menangis. Sendirian. Aku merasa takut. Karena aku nggak mau. Aku nggak mau pacaran. Perlakuan anak itu sangat mengintimidasiku
sampai aku merasa sulit untuk melakukan apapun seperti sedia kala. Setelah kejadian
itu entahlah, aku masih sering diuntit juga. Sampai pada suatu titik mungkin
dia juga menyerah, akhirnya tak terjadi apa-apa lagi.
Untuk kasus yang kedua seperti
itu. Yang aku tangkap, ego laki-laki seringkali terlalu ngotot untuk bisa mengendalikan perempuan. Dan terkadang obsesinya
mengerikan.
Untuk cerita yang ketiga, oknumnya
juga anak seumuranku. Aku tidak ingat saat itu aku dan dia berkelahi karena
apa. Padahal sebelumnya kami bersahabat. Tapi dia selalu usil padaku, mungkin
ada kalanya keusilan dia kelewat batas jadi aku balas dengan keusilanku juga. Akhirnya
kami pun bertengkar dan itu adalah mimpi buruk. Sejauh aku hidup, aku
seringkali berkonflik dengan oranglain, tapi untuk yang ini benar-benar
mengerikan. Dalam perjalanan ke sekolah, aku selalu melewati rumahnya, dan
selama kami bertengkar itu dia selalu menungguku di depan rumahnya dan apa yang
dia lakukan? Menganiayaku. Mungkin terlalu drama kalau aku bilang aniaya, ya. Tapi
rasanya saat itu benar-benar seperti itu. Aku dipukul, ditendang, dijitak,
bahkan kerudungku ditarik sampai lepas, dijiwit, dijambak, dan lain sebagainya.
Selama semingguan lebih aku menerima perlakuan seperti itu, tapi aku tidak
pernah melaporkannya pada orangtuaku. Mereka kan sibuk. Tapi pada satu saat aku
sampai merasa tidak sanggup untuk berangkat sekolah lagi. Dan karena saat itu
aku lebih dekat dengan ART ku daripada orangtuaku, aku bercerita padanya. Akhirnya
ART ku lah yang turun tangan mendatangi rumah anak laki-laki gila itu. Dia memarahi
anak itu di depan ibunya. Hahaha, syukurin! Mungkin itu yang aku pikirkan dulu.
Beberapa hari setelahnya dia sudah tidak berani menakaliku lagi. Tapi kami
sudah tidak bisa berteman seperti sebelumnya.
Cerita yang ketiga ini membuatku
merasa bahwa aku terlalu lemah dan tidak bisa melawan. Aku sampai harus meminta
tolong orang dewasa untuk menghadapi anak laki-laki semacam itu.
Kemudian yang keempat, ini makin
gila lagi. Dia teman sekelasku saat SD, juga tetanggaku. Tadinya aku rasa tidak
ada yang aneh dengannya. Tapi pada suatu hari, saat kami berpapasan dan hanya
berdua, dia suka tiba-tiba memelorotkan celananya dan menunjukkan tititnya!!! Heran,
kok percaya diri sekali. Kalau tidak salah, saat itu dia sudah sunat. Berarti sekitar
kelas 4. Dia selalu melakukannya setiap tidak ada orang dan hanya tersisa kami
berdua. Dengan tingkah aneh seperti itu yang terjadi berulang kali, aku merasa
takut. Sampai akhirnya aku melapor pada guruku (kejadiannya selalu saat kami di
sekolah, soalnya) dan setelah itu dia sudah jarang melakukannya. Aku juga
sebisa mungkin mencari teman ke mana mana, agar tidak bertemu dengan dia
sendiri. Karena dia tidak akan berani ketika aku tidak sendirian.
Kasus yang keempat ini membuatku
merasa bahwa untuk merasa aman, aku harus bersama dengan oranglain. Akan sangat
riskan kalau aku ke mana mana sendiri. Tapi bagaimana ya, dari kecil aku sudah
dilepas oleh orangtuaku, mereka mungkin lebih sayang adik-adikku jadi kalau aku
diserang orangpun mereka mungkin tidak peduli, atau hanya menganggapnya
bercanda anak kecil. Seingatku, aku benar-benar tidak pernah menceritakan
apapun pada orangtuaku dari kecil. Tapi aku punya buku diary yang selalu aku
tulis dengan cerita sehari-hari ku. Paling tidak, aku masih bisa bercerita,
walau tidak ada juga yang membacanya.
Untuk kasus selanjutnya mungkin
sudah nggak dari masa kecil lagi. Soalnya,
sejak masa-masa itu aku benar-benar mengurangi interaksiku dengan laki-laki. Karena
aku selalu takut. Aku ingin berteman dengan perempuan saja. Meski kadang mereka
berisik dan licik, paling tidak mereka tidak pernah menjebakku dalam rasa tidak
aman.
Selanjutnya, mari loncat ke
masa-masa saat aku SMA.
Masa SMP dan SMA ku bisa kubilang
sangat tidak seru. Soalnya masa-masa segitu aku sudah suisidal dan mau mati. Aku
lupa apa pemicunya yang jelas aku sering merasa seperti itu, bahkan lebih buruk
dari aku yang sekarang. Mungkin karena sedang masa edgy-edgy nya? Aku pun
kurang paham. Tapi di masa SMP dan SMA akhirnya aku punya beberapa teman
laki-laki, dan surprisingly, mereka tidak seburuk laki-laki yang kutemui saat masa kecil.
Mereka semua wibu, kami bertemu
dalam sebuah klub wibu sekolah. Sampai saat ini kami masih berteman baik pula. Mereka
semua sangat menyenangkan, walau seringkali juga menyebalkan. Tapi paling
tidak, mereka tidak pernah membuatku merasa ‘tidak aman’. Walau tetap saja, aku
akan selalu waspada dengan keberadaan laki-laki. Yang jelas, aku menjadi berani
membuka diri lagi untuk berteman dengan laki-laki karena keberadaan mereka.
Sebenarnya, mereka pun belum tahu mengenai hal ini. Tapi kalau mereka membaca
ini, aku hanya mau bilang, terima kasih sudah menjadi laki-laki yang nggak aneh-aneh. Semoga sampai kapan
pun, kalian tetap nggak aneh-aneh,
ya.
Kemudian saat SMA aku juga
tergabung dalam komunitas desain di sekolah. Dan semua anggotanya laki-laki,
kecuali aku. Aku pun ikut bergabung karena salah satu anggotanya adalah temanku
dari klub wibu tadi. Tapi setelah tahu kalau aku satu-satunya perempuan, aku
seringkali menolak ajakan untuk kumpul. Sekali lagi, walau aku sudah mulai
terbuka, aku tetap akan selalu waspada pada situasi yang membuatku merasa ‘sendiri’.
Aku tidak mau mengambil resiko. Di komunitas itu aku mendapat teman baru juga. Beberapa
di antaranya juga masih berteman baik sampai sekarang. Dan hal itu semakin
membuatku ‘berani’ untuk berinteraksi dengan laki-laki. Walau aku masih nggak bisa percaya 100% sama mereka,
tapi itu sebuah kemajuan yang pesat.
Tapi saat aku SMA, aku juga
bertemu dengan laki-laki yang nggak
baik. Mereka segerombolan anak laki-laki di kelasku. Mereka mental pembully,
kata-katanya jahat, aku selalu nggak
suka sama keberadaan mereka. Mereka berlagak seakan-akan paling berkuasa dan
mendominasi. Mengomentari perempuan selayaknya barang, nggak tahu diri dengan kualitas rendahan mereka sendiri. Menjijikkan.
Maka dari itu aku selalu menolak ketika ada ajakan reuni. Aku tidak mau
berurusan dengan orang-orang semacam mereka lagi.
Kasus buruk yang aku alami bersama
laki-laki selanjutnya adalah ….. kasus pelecehan secara daring. Yang ini sebenarnya
mencengangkan, sih. Memang pas itu aku udah nggak
underage. Kalau nggak salah, pas
umurku 18 tahun. Ada seorang laki-laki (yang kukenal secara online di media
sosial) mengirimku pesan aneh di jam-jam tengah malam. Isinya adalah mengajakku
VCS. Kalian tahu, kan? Video Call Sex.
Saat itu aku benar-benar syok, soalnya aku sudah mengenalnya cukup lama, dari
aku masih SMP. Dan aku tidak menyangka dia akan ‘begitu’. Padahal aku tidak
pernah memposting atau berbicara aneh-aneh yang merujuk ke arah sana. Aku bahkan
tidak pernah berpacaran. Entahlah apa yang sedang ada dalam pikirannya. Saat itu
aku tidak merespon, benar-benar syok selama setengah jam lebih sampai pada
akhirnya dia mengirim pesan lagi bahwa dia meminta maaf. Well, paling tidak dia akhirnya sadar kalau dia sudah melakukan hal
yang tidak benar. Walau sampai sekarang aku benar-benar masih tidak menyangka,
dan kalau diingat ingat situasinya benar-benar membuatku takut. Aku sangat
takut sampai pikiranku kacau. Aneh, padahal itu Cuma lewat teks dan sosial
media. Tapi efek psikologisnya benar-benar nyata dalam pikiranku…..
Kemudian apalagi, ya. Selama kuliah
sebenarnya aku belum pernah menemukan laki-laki aneh lagi. Mungkin karena aku
yang cukup menutup diri juga dan memfilter pertemananku dengan cukup ketat. Kadang
kalau ada yang mengajakku kenalan tidak aku balas, atau kalau kubalas juga
kubalas dengan ketus. Memang sengaja seperti itu karena aku tidak ingin bertemu
lagi dengan laki-laki aneh. Aku sudah cukup muak. Selama 22 tahun ini juga aku
belum pernah berpacaran mungkin salah satunya karena aku masih belum cukup
yakin bahwa ada laki-laki yang bisa memberikanku rasa aman dengan menghormati
segala prinsip yang aku genggam pula. Sejujurnya, aku nggak suka skinship yang nggak
diperlukan. Entahlah, rasanya masih takut saja. Masih ngerasa nggak aman. Makanya kalau ada laki-laki
yang begitu apalagi di awal kenal walau sekadar menyentuh pundak atau kepala,
akan langsung aku jauhi. Hal seperti itu bagiku masih cukup mengerikan. Jadi aku
harap, orang-orang memahami seperti apa batasan-batasanku. Soalnya bukan tanpa
alasan juga aku bertingkah seperti itu.
Terakhir, aku harap apa yang aku
takutkan tidak akan benar-benar terjadi. Aku harap, aku bisa terus berkembang
sebagai perempuan yang merdeka dan terhindar dari gangguan laki-laki jahat. Selain
itu, semoga aku dan kalian semua—entah laki-laki maupun perempuan, bisa menjadi
‘baik’ bagi satu sama lainnya.
Terima kasih sudah membaca!