Dalam Bingkai Kacamatamu ©
fuyuhanacherry
.
.
.
Enjoy
and Happy Reading!
.
.
.
“Kenapa cemberut begitu?”
Wajah Mika seketika berpaling ke arah belakang, di mana
seseorang yang barusan berucap dengan santainya sedang menaruh sepatu olahraga miliknya ke
dalam lemari penyimpanan. Oh, ternyata Kazuma. Pemuda bermegane itu nampaknya membuat Mika gugup, karena gadis itu tak terbiasa
berbicara dengan anak laki-laki, walau itu teman sekelasnya.
“Basket,” jawab Mika, lesu. Ya, sebelumnya, kelas 2-C
melaksanakan pembelajaran mata pelajaran olahraga. Dan materi kali itu adalah
basket. Mungkin basket adalah olahraga sederhana, bagi sebagian orang
terkecuali Mika. Dia sangat tidak menyukai basket karena … tubuhnya yang pendek
sehingga tak memudahkannya untuk melakukannya? Alasan yang konyol, memang.
“Hahaha, hanya karena itu? Seharusnya kau tak menyerah
begitu saja. Semua orang pasti bi-”
“Terserah kau saja.” Mika memotong ucapan laki-laki di
hadapannya itu. “Itu bagi kalian. Bagiku tidak,” ujarnya lagi, kemudian
meninggalkan tempat lemari penyimpanan, menuju ruang ganti.
Kazuma yang ditinggalkan oleh gadis berambut sebahu itu
tersenyum, tanpa Mika ketahui.
…
…
…
Mika mengerutkan dahi tatkala Hikari dan Yama, teman
sekelasnya mengajaknya untuk melihat pertandingan basket di lapangan basket
sekolah. Saat itu adalah sepulang sekolah sehingga mereka membawa tas mereka
masing-masing. Bukannya menolak, dia justru kesal dengan ajakan itu. Seharusnya,
Hikari mengerti kalau dia sangat membenci basket, pikirnya dalam hati.
“Ayolah … di sana ramai, lho! Sekolah kita bermain melawan
SMU Sakura Gaoka!” Hikari terus mencoba membujuknya.
“Tidak mau,” ucap Mika pada akhirnya. “Kalian berdua saja.”
“Huh … padahal akan lebih menyenangkan jika kau juga ikut,”
ungkap Yama lalu menghembuskan nafasnya pelan. “Kalau begitu sampai jum-”
“Tunggu.”Lagi-lagi Mika memutuskan ucapan orang yang
berbicara dengannya. “Aku ikut ….”
Mereka bertiga pun akhirnya melangkah bersama-sama menuju
lapangan basket yang berada di samping ruang musik. Sesampainya di sana, mereka
langsung menduduki kursi penonton yang belum ditempati.
“Kenapa kau tiba-tiba ikut kami, Mika?” tanya Hikari,
penasaran dengan pilihan Mika yang tiba-tiba berubah.
Mika menundukkan kepalanya, “Jika aku tidak ikut kalian, aku
pulang dengan siapa?”
Hikari dan Yama terkikik pelan. “Dasar kau ini, makanya,
cobalah menyapa orang lain. Jangan terus memasang wajah datar begitu, tahu!”
canda Yama yang masih tertawa kecil.
“Ngomong-ngomong, itu Kuro-senpai ‘kan? Dia keren!” teriak Hikari sambil menunjuk
seseorang berambut coklat tua yang tengah bermain di lapangan, Kuro-senpai. Senior mereka itu memanglah
sosok idola para gadis di sekolah.Dan setelah Hikari berteriak kegirangan itu, pandangan
ketiganya kini mulai terfokus pada pertandingan itu.
Mereka menonton pertandingan itu dengan seksama, sampai pada
suatu ketika, Mika dikejutkan oleh sesuatu.
“Itu … bukannya Kazuma-kun?”
Mika menunjuk ke arah seseorang yang baru saja mencetak skor untuk tim basket
sekolah. Namun laki-laki itu tidak berkacamata.
“Ho … memang. Dia ikut tim basket sejak kelas 7,” jawab
Yama. “Dan dia selalu melepas kacamatanya saat bermain basket. Aneh.”
Mika hanya mengangguk, mengerti. Dan sejujurnya, baru kali
ini dia mengetahui bahwa Kazuma ikut tim basket sekolah. Pantas saja, kemarin
laki-laki itu bersikeras untuk mengelak pernyataannya bahwa dia tidak menyukai
basket. Ternyata karena ini ….
Dan dalam pertandingan itu, Kazuma berkali-kali mencetak
skor. Sehingga membuat Mika takjub. Akan tetapi … secara tak sadar, ada sesuatu
yang mengganjal dalam hatinya. Tidak, ini bukan karena pertandingannya. Tapi
karena pemuda berkacamata itu yang tak memakai kecamatanya saat pertandingan.
Kenapa … keren sekali? Ah, mungkin hanya perasaannya saja
karena baru pertama kali melihat Kazuma tanpa kacamata, batin Mika.
Sampai pertandingan hampir usai, mereka bertiga belum juga
beranjak dari tempat itu. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 4 sore.
“Mari kita pulang. Sudah pasti sekolah kita yang menang
hahahaha,” tawa Hikari, mengingat skor kedua tim yang berbanding jauh. Yama dan
Mika mengangguk, lalu keluar dari ruangan itu.
Baru saja mereka keluar dari ruangan, Mika teringat sesuatu.
“Eh, aku lupa. Buku Biologiku ketinggalan di kelas! Um …
kalian duluan saja, barangkali aku lama mengambilnya. Maaf,” ujar Mika sambil
menundukkan badannya, lalu berlari menuju kelasnya yang berada di lantai atas
yang membuat helaian-helaian rambut hitamnya terkibas.
Yama dan Hikari hanya
tersenyum simpul, lalu melanjutkan perjalanannya meninggalkan sekolah.
…
…
…
“Huh, hampir saja.”
“Mika?”
Mika terperanjat kaget, ia langsung menoleh ke arah sumber
suara. Ternyata Kazuma. Pemuda itu lagi-lagi muncul di saat dia sedang
sendirian, dan itu lagi-lagi membuatnya gugup.
Kazuma mendekati gadis itu. Kali ini, ia sudah memakai kacamatanya.
Dengan tubuh yang masih berbalut dengan seragam tim basket dan ransel hitam
yang digendongnya, pemuda itu tersenyum. Manis sekali, sampai-sampai secara tak
sadar, membuat pipi gadis di hadapannya memancarkan rona merah muda tipis.
“Kau baru pulang?”
Mika mengangguk. Dia memang tak bisa bicara banyak jika
bukan dengan Yama dan Hikari, karena mereka bertiga sudah berteman akrab sejak
SD.
“Ayo kita pulang.”
Degub jantung Mika kian cepat. Mika menelan ludahnya, apa
yang harus dia lakukan saat ini?
“Hah?! Um … maksudku,” Mika memberi jeda dalam perkataannya,
“baiklah.”
Mereka berdua pun melangkah bersama-sama di koridor sekolah
yang sepi senyap. Mika masih saja mengunci mulutnya, dan keheningan menyelimuti
mereka berdua. Semilir angin sore yang lembut dipadu dengan cahaya hangat
mentari sore membuat suasana kian syahdu.
“Kenapa kau baru pulang? Di mana kedua temanmu yang tadi
bersamamu saat menonton pertandingan?” tanya Kazuma tiba-tiba sambil menengok
ke arah Mika yang masih berpandangan lurus ke depan.
“Aku mengambil bukuku yang tertinggal di kelas,” jawab Mika.
Sebenarnya, dia cukup terkejut setelah mengetahui bahwa Kazuma melihatnya di
lapangan saat itu. Dia tak menyangkanya sama sekali.
Laki-laki itu mengangguk. “Bagaimana dengan parmainanku
tadi? Hebat ‘kan?” ujar Kazuma dengan percaya dirinya. Mika mengerucutkan
bibirnya, bisa-bisanya Kazuma memamerkan dirinya sendiri padanya yang sama
sekali tidak menyukai basket.
“Oh, masalah itu, kau masih membenci basket?”
“Tentu saja. Kau saat itu mengelak karena kau anak basket,
‘kan?” gerutu Mika.
Kazuma tersenyum, sehingga membuat matanya yang terhias frame kacamata menutup, “Kalau kau
seperti itu, sampai kapanpun kau tidak akan bisa basket.”
Mika mengarahkan pandangannya pada Kazuma, untuk mendengar pernyataan
selanjutnya.
“Kalau kau ingin bisa melakukannya, paksakan dulu dirimu
untuk menyukai basket. Setelah itu, pasti secara perlahan kau dapat mendapatkan
kemampuan itu.”
Mika masih belum melepaskan tatapannya kepada laki-laki
berkacamata itu. Jadi, untuk menguasai sesuatu yang tadinya tidak disukai harus
ada paksaan untuk menyukainya terlebih dahulu?
Tapi, kenapa secara tiba-tiba pemuda di sampingnya itu dapat
membuatnya menyukainya tanpa ada paksaan? Dan kenapa tanpa ada keinginan untuk
memilikinya, hatinya sudah menyukainya terlebih dahulu?
Lalu, jika sudah suka dan perlahan-lahan akan memiliknya,
kapan?
Dan tanpa disadari, mereka sudah sampai di pertigaan yang
memisahkan arah ke rumah mereka.
Mereka pun saling berpamitan satu sama lain,
dan melambaikan tangan. Lalu melangkah ke rumah masing-masing.
Baru tiga langkah Mika beranjak, dia memutar tubuhnya 90
derajat, dan menoleh ke arah Kazuma yang mulai menjauh, dengan jarak yang
semakin lama semakin terbentang. Ia tahu, laki-laki itu tidak akan balas menatapnya.
Dia tak butuh itu, dia tak butuh pertanggung jawaban pemuda itu yang telah
membuatnya jatuh hati. Dia mengerti, cinta datang tanpa paksaan, dan cinta
berbalas bukan karena paksaan.
Sampai beberapa detik kemudian, matanya membulat tajam. Pemuda
itu berbalik dan membalas tatapannya dengan jarak yang cukup jauh.
Dan Kazuma tersenyum, sambil melambaikan tangannya lagi. Mika
pun membalas senyumannya.
Secara berbarengan, mereka kembali melangkah ke
jalan menuju rumah masing-masing.
Dan tatapannya dalam bingkai kacamata saat itu adalah
setitik harapan bagi Mika, yang menunda langkahnya untuk mundur. Setidaknya,
harapan bukanlah sesuatu yang buta, harapan adalah kejora di tengah langit
kelam.
-END-
…
…
…
A/N :
Yoyoy mama ini fictionku yang kupublish sebelumnya di akun fictionpressku X3 gak diedit karna males but yea cuman buat nambah-nambah postingan di sini doang seh (/////////) <--merasa WB
Sign, Uul
0 komentar:
Posting Komentar