Minggu, 22 Maret 2015

[original fiction] : iris chapter 2

Diposting oleh fuyuhanacherry di 12.11 0 komentar
iris
///////////////////////
© fuyuhanacherry

***

CHAPTER 2 : kuda di padang pasir

“Ada yang meninggal!”

Aku menggerucutkan bibir. Sebal sekali, kukira berita itu benar, ternyata hanya lelucon dari seorang anak laki-laki yang terobsesi dengan ramalan saja. Namanya Rei.

“Tapi itu benar! Dia ada di pinggir sungai!”

Aku melipat kedua tanganku di depan dada. “Sudah jelas semua orang tak menemukan siapapun di sana. Kenapa kau keras kepala sekali hah, pembohong!”

Shota yang melihatku terbawa emosi karena telah dibohongi segera menengahi perselisihan ini. Dia menyuruh kami agar tak saling bertengkar hanya hal-hal sepele semacam itu.
Sepele? Aku berpikir banyak hal setelah menengar kebohongannya itu, tau! Apa yang dia sebut sebagai hal yang sepele?

“Sudah. Sabar, Erika. Jika kau melanjutkannya, kau juga tak akan mendapat apapun, bukan?” Shota menepuk pundakku, dan menatapku hangat, sembari memasang senyumnya. Aku tak bisa terus terlihat kesal seperti ini di depannya—aku tak mengijinkan diriku sendiri untuk cemberut dan mengeluh di depan laki-laki itu. akhirnya, aku pun menghela nafas untuk menenangkan diri.

“Maafkan aku. Aku terlalu menganggap semua ini serius. Mungkin lain kali aku tak harus mempercayai perkataan-perkataan macam itu. Lagipula, tidak mungkin ‘kan?”

Shota tak menjawab. Dia lantas melepaskan telapak tangannya yang sedari tadi membebani pundakku. Lagi-lagi, dia tersenyum. Aku tak tau apa artinya. Senyumannya itu seperti pelangi di antara dua awan mendung. Senyumnya adalah penghangat hatiku, penghapus rasa pahit di hatiku, dan melenyapkan segala emosi negatifku.

Aku tak tau kenapa bisa begini. Di kelas ini, aku hanya dekat dengan Shota. Mungkin karena itu, aku merasa Shota adalah jiwa yang sangat berharga, dan aku tak berhak membuatnya cemas ataupun sedih. Kebahagiaan adalah hal yang sepantasnya diberikan kepada si mata sipit itu.

***

Kali ini, aku membiarkan siapapun memukul punggungku seratus kali.

Ini bukan kenyataan ‘kan? Tolonglah, siapapun, jangan mencoba membohongiku lagi. Tariklah semua ucapan kalian! Ini semua … bohong ‘kan?

“Erika!”

Kulihat dari arah koridor sekolah, Shota berlari ke arahku dengan wajah yang terlihat gelisah. Aku sudah tau pasti, apa yang akan diceritakannya padaku. Tak salah lagi.

Rei ditemukan meninggal di pinggir sungai.”

Dengan ketepatan pengucapan yang tiada bedanya, aku menatap wajah laki-laki itu yang terkejut.

“Kau sudah tau?”

“Tentu saja, para gadis yang baru saja kutemui di dalam kelas sangat berisik karena itu, dan menceritakannya padaku,” jawabku dengan nada datar, dan lirih.

“Pihak sekolah sudah memanggil ambulan dan akan membawanya ke rumah sakit. Dan … tak ada darah di tubuhnya,” jelas Shota seperti reporter berita di televisi.

Aku tak menjawab perkataannya, hanya mengangguk, seolah aku mengerti dan tak memikirkannya. Baiklah, aku bersikap setenang ini bukan karena aku tak bersimpati pada pemuda yang baru kemarin membuatku marah. Tapi, aku ingin mendinginkan pikiranku. Karena aku merasa terlibat dalam masalah ini.

Rei, orang yang kemarin berkata sendiri bahwa ada orang yang meninggal di pinggir sungai, sekarang justru peristiwa itu yang menimpa pada dirinya sendiri. Apakah pepatah “Perkataan adalah do’a” berlaku di sini? Jika pun iya, tak mungkin hanya gara-gara ramalan Rei sendiri. Pasti ada sesuatu yang lain.

“Erika?”

Aku merenung. Kemungkinan lainnya, Rei berusaha bunuh diri untuk menunjukannya padaku, bahwa ramalan yang dia katakana itu benar. Jadi, dia mengorbankan dirinya sendiri. Tapi, mengorbankan nyawanya sendiri demi harga diri itu sangat konyol, bagiku.

“Erika!”

Aku terperanjat, mataku terbelalak. “Ah-oh, maafkan aku, Shota.”

Laki-laki keturunan Jepang itu meletakkan telapak tangan kanannya di pundakku, dan sedikit merendahkan badannya agar kedua  matanya dapat bertemu lurus dengan kedua mataku, “Tadi, kau bersikap seperti tak memperdulikannya, tapi kau akhirnya memikirkannya juga. Jangan bodoh. Jangan pikirkan hal ini terlalu jauh. Kau bukan siapa-siapa di sini. Cobalah untuk melupakan hari kemarin.”

Aku menunduk, lalu menghembuskan nafas pendek, berusaha menjernihkan otakku dari pikiran-pikiran semacam itu—yang sudah dapat ditebak oleh Shota. Baiklah, Erika, yang kemarin itu hanya kebetulan saja Rei bertengkar denganmu.

Walau salah satu anggota dari kelas 2-F meninggal di hari itu, pelajaran tetap berlangsung sebagaimana semestinya. Namun, aku tidak dapat fokus dengan apa yang diajarkan oleh guru.

Aku ketakutan.
***
Hampir satu minggu sejak perginya Rei dari dunia fana ini. Sekarang, kelas 2-F hanya bersisa 28 orang. Dan walau berkurang satu orang, anak-anak di kelas ini tetap bersikap sebagaimana biasanya dengan keunikan masing-masing yang semakin lama, semakin membuatku terbiasa dengan mereka.
Hubunganku dengan Shota juga semakin membaik. Dia kini selalu mencemaskanku ketika aku terlihat murung, dan aku selalu mencurahkan isi hatiku ketika sedang buruk maupun senang kepadanya. Aku merasa memiliki seorang malaikat di sini, malaikat yang mengajakku terbang ke surga. Oh, tuhan, apakah aku sesenang dan seberuntung ini? Apakah dibalik kebahagiaan yang kurasakan bersama Shota, akan ada hal buruk yang terjadi?

Ketakutan kembali menyelinap ke dalam hatiku saat ini. Masih pagi, jam pelajaran belum berlangsung. Namun, aku merasa langit sangatlah mendung. Lalu, firasat-firasat buruk, pikiran-pikiran menakutkan, dan fantasi yang mengerikan merasuki diriku.

Ini … sama seperti dulu! Penglihatanku mulai memburam, mataku tak kuasa menahan rasa kantuk yang muncul secara tiba-tiba. Dan tidak salah lagi, lagu itu … lagu yang kudengar di hari pertama masuk sekolah kembali terdengar.

“… dalam masa lalu, apakah kau masih di sana?”

***

“SHOTA!”

Teriakanku menggugah diriku sendiri ke alam sadar. Ada apa ini?

Lalu, kufokuskan penglihatanku ke arah sekitar. Ternyata, aku terbaring di UKS lagi. Kondisi ruangan itu tak jauh berbeda dengan saat aku di sini sebulan yang lalu.

“Hai, Erika.”

Seorang wanita menyapaku sambil tersenyum. Dia duduk di samping ranjang tempatku terbaring. Oh, wanita itu yang dulu juga menjagaku di sini. Dan aku belum tau namanya, mengerikan sekali.
“Apakah yang menimpaku tadi … sama seperti yang dulu itu?”

Wanita itu mengangguk, lalu memberiku segelas air putih yang sedari tadi sudah digenggam olehnya.
“Minumlah. Kau tetap di sini sampai kau pulih.”

“Tapi aku tidak sakit apa-apa. Aku hanya pingsan!” teriakku, meminta agar segera dikembalikan ke kelas.

Wanita itu membelai rambutku, “Memangnya kau pingsan karena apa? Kau belum tau, ‘kan?”
Aku menatap wanita itu. “Kau siapa?”

“Yuka Yamada.”

Aku pun bernjak duduk setelah mendengar ucapan wanita itu. “Kau … jangan-jangan ….”

“Ya, aku adalah kakak dari temanmu, Shota.”

Hei, kenapa aku baru menyadarinya? Perempuan ini memang memiliki kemiripan dengan Shota. Dan lagi, sama-sama keturunan Jepang. Terlambat sekali aku menyadarinya.

“Kenapa tak memberitahuku dari dulu?”

“Saat itu, kau belum kenal dengan adikku, bukan?”

Aku pun mengangguk, benar juga. saat itu, hari pertama sekolah dan aku belum mengenal satu pun teman sekelasku. Kurasa, kak Yuka ini adalah orang yang baik, tak berbeda dengan Shota, jika dilihat dari wajah dan sikapnya yang ramah.

“Ngomong-ngomong,” kuletakkan gelasku ke meja kecil yang ada di samping. “bisakah kakak ceritakan kenapa Shota ada di kelas 2-F? Oh, dan begitu juga aku. Kau pasti sudah lama bekerja di sini bukan?”

“Terlalu terburu-buru, rasa ingin tahu yang tinggi, dan ceroboh.”

Aku mengernyitkan dahi. Apa hubungannya dengan pertanyaanku? Pasti dia salah dengar.

“Kau seperti kuda yang merengek kehilangan tuannya. Tersesat di padang pasir yang gersang, kau tak memiliki arah tanpa tuanmu.”

Aku masih diam, tak mengerti apa yang kak Yuka maksud. Dan tiba-tiba, suara beberapa orang yang berbincang di luar ruangan menggangguku. Mereka akan masuk ke mari.

Gagang pintu diputar, lalu ….

“Erika? Kenapa kau bisa pingsan lagi, sayang?”

Bibi Sinta dan Paman Rudi.

Aku pun harus tetap berada di sana sambil mendengar celotehan mereka yang mengkhawatirkanku. Dan pada akhirnya, aku malah disuruh untuk pulang dari sekolah.

Aku mulai menyadari. Ternyata, ada banyak sekali orang yang memperhatikanku dan mencemaskanku.

Dan aku semakin takut dengan rasa senang itu.

***

-TBC-

***

a/n :

oke akhirnya bisa lanjut juga =) <--padahal dia mau ujian praktek

di chapter ini pendek sekali memang, mood saya mentok segitu(???)

thanks syudah baca


sign, uul

Jumat, 13 Maret 2015

[original fiction] : angkutan di lubuk senja

Diposting oleh fuyuhanacherry di 18.02 2 komentar
Ditatapnya punggung pemuda berambut hitam tadi, untuk entah keberapa kalinya. Laki-laki yang tengah duduk membelakanginya tengah sibuk dengan teman-teman sepermainannya. Tawanya mengusik seorang gadis yang memiliki sepasang manik coklat tua untuk memandanginya—walau wajahpun tak dapat dipandangnya karena tertutup punggung yang berbalut atasan seragam sekolah putih.

Rasanya menyebalkan sekali ketika kita gagal move on dari seseorang yang sama sekali tidak menyukai kita—melihatpun tidak. Lisa menghela nafas pendek dengan memejamkan matanya.
“Lisa, kau tidak memakan bekalmu?”

Lisa sedikit terkejut mendengar temannya berucap. “O-oh … ya.”

Dirinya sudah terserang virus gagal move on para remaja masa kini. Pikirannya seakan berputar tanpa arah dan hanya tertuju pada orang itu, Arika.
.

.

.


~a original fiction~

angkutan di lubuk senja © fuyuhanacherry

.

.

.

Warning : typo(s), dan beberapa kesalahan lain
.

.

.


Lisa melirik jam tangan rapyak yang terpasang di pergelangan tangan kirinya. Pukul 4 sore. Jam les yang diundur karena suatu hal yang tak dijelaskan oleh guru lesnya membuat waktu pulangpun mundur satu jam dari sebelumnya.

Dia masih berdiri di depan tempat yang biasanya menjadi tempat pemberhentian angkutan, cukup lama sampai akhirnya wajah angkutan jurusan yang menjadi tujuannya tampak di ujung pandangan. Warnanya biru muda, seperti langit pagi hari yang memancarkan semangat di awal hari.
Tanpa Lisa aba-aba, angkutan itu langsung berhenti di hadapannya dan tak lama sesudahnya langkah kaki gadis itu terangkat, memasuki mobil yang menjadi alat transportasi utama bagi para warga di kota itu.

“Sabar ya, Dik. Nunggu penumpangnya lama.”

Walaupun si pak supir sudah berkata seperti itu, Lisa tetap saja kesal harus menunggu sampai beberapa orang memasuki angkutan itu. Masih belum penuh, tapi untunglah angkutan berjalan juga dengan awal yang lirih.

Belum satu kilometer angkutan biru itu berjalan, rodanya sudah berhenti berputar. Lisa mendongak, lalu mengarahkan kedua bola matanya ke arah jendela yang terbuka. Dia terkejut.

Seorang laki-laki seumurannya memasuki angkutan yang ia tumpangi itu. Dirinya yang duduk di ujung kursi penumpang sebelah kiri awalnya memasang wajah seperti seorang yang mendapat sebuah kejutan tak terduga—ya, memang dirinya sedang merasa seperti itu. Laki-laki yang tadi dipandanginya duduk di dekat pintu, dan sesegera mungkin Lisa membuang muka dari orang itu, lalu memandangi pemandangan di luar jendela angkutan seperti biasa.

Hei, kalau dipikir-pikir, Arika itu seperti angkutan yang bekerja di sore hari. Karena menurut bisik-bisik gosip yang ada di sekolah, laki-laki itu sedang menyukai seorang gadis, namanya Karina. Dia sudah lama menyukai gadis berpenampilan ayu itu, namun tidak ada perubahan.

Seperti angkutan di sore hari. Menunggu lama demi pelanggan yang tempat tujuannya bukanlah angkut itu. Sampai kapanpun menunggu, jika penumpang itu bukan pengguna jurusannya, tak mungkin dia menaikinya. Padahal di lain tempat, masih ada orang yang menunggunya. Tapi dia tidak sadar dan hanya berfokus pada tempat yang sedang menjadi tempatnya menunggu.

Satu per satu penumpang turun tanpa Lisa sadari. Sampai ketika di suatu pertigaan, penumpang yang tersisa hanya mereka berdua. Lisa dan Arika. Gadis seketika menjadi itu gugup.

Ia ingin sekali berbicara dengan teman sekelasnya itu—karena sebelumnya tidak pernah. Lisa hanya mengaguminya dalam diam. Hatinya berteriak ‘suka!’ tapi bibirnya terkunci rapat. Bahkan dari sikapnya pun tak seorang pun dapat mengira bahwa gadis itu menyukai Arika. Sangat terencana sekali, dan tersembunyi.

Jarak rumahnya masih sekitar 2 kilometer lagi. Dia harus menunggu sebentar untuk keluar dari sana. Sedangkan Arika masih duduk di dekat pintu, mengarahkan pandangannya pada pemandangan di luar pintu yang sangat dekat dengannya.

Lisa menghembuskan nafas sekali lagi untuk membuang rasa gugupnya. Tidak, seharusnya saat ini dia sudah melupakan laki-laki itu. Tapi … kenapa?

Lisa melirik sekilas spion mobil yang ada di bagian depan, dekat dengan tempat supir berkendara. Dan dia amat tak percaya setelah menyadari bahwa Arika tengah memandanginya dari kaca itu. Dan bukan hanya sedetik dua detik. Lebih dari itu. Sampai-sampai setiap Lisa mencuri pandangnya kea rah kaca spion itu, dua mata masih mengintainya dari sana. Kenapa? Kenapa seperti ini?

“Kiri!” Tiba-tiba, pemuda itu berucap sambil sedikit menyerongkan duduknya ke arah supir. Dan mobil pun berhenti.

“Sampai jumpa, Lisa.”

… apa yang barusan pemuda itu ucapkan?

Laki-laki itu tak menghadap ke arah Lisa sekalipun, tapi Lisa berani bersumpah, bahwa dia mendengar Arika berkata seperti itu. Hei, ada apa gerangan?

Arika sudah turun dari angkutannya. Kini, tinggal gadis itu seorang sampai pada akhirnya, ia pun harus keluar dan turun dari kendaraan beroda empat itu.

Sedetik tatapan, rusaklah move on sebelangga. Mungkin jika diibaratkan dengan apa yang telah Lisa alami, begitulah bunyi pepatah. Tapi, apa-apaan itu? Apakah gossip tentang Arika yang menyukai Karina sudah tidak berlaku? Apakah dia kini sudah menjadi angkutan senja yang mengetahui bahwa ada orang yang tengah menunggunya di lain tempat?

Ah, harapan konyol kembali terulang di benak Lisa. Dia pun berpikir, “Jika dia bukan untukku, sampai kapan harapan ini akan bertahan?”

.

.

.

-END-

.

.

.


a/n :

ugh mood nulis pas lagi ujian emang the best! Selalu lancar padahal lagi sibuk huhuhuhu
orifict ini terinspirasi dari twit monica yuliana anggraeni walaupun pada akhirnya kacaw dan melenceng dari isi twitnya H4H4H4H4H4 maaf nik orzzzzz


sign, uul

[original fiction] iris

Diposting oleh fuyuhanacherry di 11.36 0 komentar
iris
© fuyuhanacherry
***
CHAPTER 1 : 2-F

Kedatanganku di sebuah kelompok orang-orang aneh yang mereka sebut dengan 'kelas' itu membuatku berpikir banyak hal. Kenapa aku di sini, dan kenapa kelasku ini berbeda dari yang lainnya.

Saat pertama kali kakiku menginjak lantai kelas yang berwarna sewarna dengan cat dindingnya, dapat kurasakan aura-aura tak biasa. Di samping semua anak di dalam sana yang berisik, ada sebuah lagu yang merasuk ke dalam pikiranku saat itu senada dengan langkah kakiku yang makin bertambah. Suara bising anak-anak masih dapat kudeteksi, namun suara nyanyian itu terdengar samar-samar—tidak terlalu jelas tapi sangat mengganggu pikiranku. Takut. Aku pun mempercepat langkahku sembari menutup kedua telingaku. Nyanyian itu semakin lama semakin membuatku tak bisa berpikir jernih. Sampai-sampai, aku dapat mendengarnya dengan jelas, liriknya pun aku dapat memastikannya.


—Senja menghampiri
Pelangi satu perempat, terkibas angin
Hilang tertelan awan
Mencari jejak kaki yang tertinggal
dalam masa lalu, apakah kau masih di sana?—


“Lisa!”

Teriakan menyambut terbukanya ke dua kelopak mataku.

Apa itu barusan? Apa yang terjadi?

“Syukurlah … kami sangat mengkhawatirkanmu.” Kulihat sosok yang tampaknya sangat mencemaskanku—jika dilihat dari nada suaranya yang memecah rasa takut. Penglihatanku masih samar, namun dapat kupastikan orang itu adalah bibiku, bibi Shinta.

Aku mengangkat punggungku dan membiarkanku duduk di atas ranjang. Kulihat sekeliling, ternyata di ruang UKS.

“Apa yang terjadi, Bi?”

“Kamu tadi pingsang di kelas. Wali kelasmu memanggil bibi, tadi,” jelasnya lirih. “Istirahat dulu agar segera pulih.”

Aku hanya mengangguk lemah menuruti perkataan wanita yang berprofesi sebagai ibu pedagang cathering itu. Jika pun aku bertanya yang macam-macam, dia tak akan tau jawabannya karena hanya diberi kabar oleh wali kelasku.

Aku harus bertanya pada anak-anak di kelas saat itu.

“Ngomong-ngomong, aku juga sudah memberitahu ibumu tentang kejadian ini,” ucap bibi tiba-tiba.
“Terimakasih …,” ujarku sebelum kulihat seseorang memasuki ruangan ini.

Seorang wanita, bertubuh tinggi dan berkulit putih. Wajahnya seperti orang Jepang. Atau mungkin dia memang keturunan Jepang?

“Bagaimana keadaanmu, Lisa?”

Dia tahu namaku. Aku pun menjawab dengan segera, “Aku baik-baik saja. Sungguh, tak ada rasa sakit di mana pun.”

“Kau berkata seperti itu karena ingin segera kembali ke kelas, bukan?”

Sial, dia dapat menebak pikiranku. Tiba-tiba, bunyi ringtone handphone milik bibi Shinta berdering. Dia pun mengangkatnya dan untuk beberapa saat berbincang dengan suara yang ada di seberang sana.
Sampai setelah dia menyudahi sambungan teleponnya, dia berkata, “Aku harus pulang. Ada pelanggan yang akan datang ke rumah.”

Dan berlalulah ia seakan tak pernah bertemu. Aku menghembuskan nafas perlahan, kemudian menatap wanita yang duduk di kursi yang sebelumnya menjadi tempat singgah bibi Shinta. “Tadi itu … aku kenapa?”

“Entahlah, mungkin hanya pingsan karena kelelahan. Teman-teman sekelasmu yang lebih tahu.” Wanita yang belum kuketahui namanya itu tersenyum. “Ngomong-ngomong, kau anak pindahan itu ‘kan?”

Aku mengangguk pelan, kemudian meratapi tubuh lemahku yang bagian perut sampai telapak kakinya berselimut kain putih hangat. Aku tidak sakit, dan tidak memiliki gangguan apa-apa dalam kesehatanku. Kelelahan? Mungkin, tapi kelelahan saat baru memasuki kelas itu rasanya—aneh.
Tunggu dulu, aku sekarang ingat satu hal. Nyanyian itu, nyanyian misterius yang terngiang-ngiang di telingaku. Aku yakin itulah penyebabnya. Tapi, aku tetap harus mengetahui apa yang terjadi ketika aku pingsan.

Sejak itulah aku sadar, kelasku bukan hanya berbeda dari segi penduduknya, namun juga hal-hal lain—yang menjerumus ke hal-hal mistis. Atau mungkin, aku hanya terlalu paranoid terhadap semua yang baru saja terjadi ini? Apakah aku dapat melalui hari-hariku berikutnya dengan tenang?
Sepertinya, tuhan tak menjamin itu.

***
Hari pertama di sekolah baru yang mengerikan. Jauh dari ekspektasi yang hanya sekedar menembus epidermis nyata.

Biar kujelaskan lagi. Kelas 2-F ini adalah kelas yang tak jauh dari kata ‘aneh’. Tidak ada yang memberitahuku tentang hal itu memang. Tapi aku dapat memastikannya setelah mengalami hari-hari yang terasa panjang di kelas ini.

Hampir semua murid di sini memiliki sifat yang tak selayaknya siswa SMP kelas 2—ya, karena ada satu orang yang masuk kategori normal. Orang normal itu adalah Shota Yamada. Ya, kalian dapat mengerti bahwa laki-laki itu keturunan Jepang. Setelah berbincang sebentar, sekarang aku tahu penyebab dia tinggal di sini—orangtuanya bercerai. Shota kini tinggal bersama ibu dan kakak perempuannya. Dan menurut kabar, dia juga termasuk siswa terpintar di sekolah. Tapi, kenapa dia ditempatkan di sini? Tempat orang-orang dengan kebiasaan unik berkumpul. Dan juga … kenapa aku dimasukkan di kelas ini? Apakah karena aku siswa pindahan? Atau karena aku juga orang aneh?
“Lisa, apakah kau punya sesuatu yang kau sukai? Semacam … kegemaran atau hobi?” tanya Shota dalam mode‘pause’ yang terasa dalam obrolan kami. Dia orang yang ramah dan menyenangkan diajak ngobrol—namun susah ditebak apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Dia orang yang penuh teka teki.

“Um ….” Aku mengerutkan dahi, berpikir. “Mungkin membaca komik? Aku suka komik-komik Jepang, lho.”

“Benarkah? Aku juga suka. Saat masih di Jepang, aku berlangganan komik dari shonen jump untuk koleksiku. Sedikit otaku, namun sekarang sudah tidak lagi, sih.”

Aku tersenyum, senang sekali mendengar cerita dari orang-orang yang penuh pengalaman seperti Shota. Semakin lama aku mengobrol, semakin menyenangkan bagiku berada di sini. Walau kelas 2-F bukan kelas yang normal, aku senang di sini ada seseorang yang dapat membuat hariku tak seburuk kelihatannya.

Istirahat kala itu kuhabiskan seluruhnya dengan berbincang bersama Shota. Sambil melihat orang-orang aneh melakukan kegiatannya di depan pandangan, aku berpikir, “Bagaimana jika aku mempelajari mereka dan membuat kelas ini tak dipandang sebelah mata?”

***
“Erika?”

“Hu’um,” Gadis berambut sebahu yang sedang sibuk memainkan alat-alat tulisnya mengangguk. Matanya masih belum beralih dari pensil-pensil dan penghapus yang dia susun menjadi sebuah bentuk yang ada dalam imajinasinya.

Erika Riski. Gadis 14 tahun yang lumayan tinggi dan mempunyai sepasang mata bulat berwarna coklat tua merupakan salah satu siswi di kelas ini. Keunikan yang ada dalam dirinya adalah moodnya seperti ayunan—dia bisa senang dan sedih secara tiba-tiba, dan dia juga bisa menjadi banyak omong ataupun pendiam dalam waktu yang tak terduga. Dia kelihatannya anak yang baik. Karena itulah aku mulai berpikir untuk mendekatkan diriku dengan orang-orang di kelas ini. Walaupun kepribadian mereka beraneka ragam dan mungkin sulit bagiku untuk memahami mereka.

Contoh lainnya … Aldi. Dia kelihatannya biasa saja, seperti anak laki-laki normal lainnya. Tapi, dia terobsesi dengan pisau dan benda-benda tajam. Sekali melihat benda-benda itu, dia langsung memainkannya seperti seorang pembunuh jahat yang ada di film-film kartun.

Lalu Rika. Dia gadis yang dingin dan tak pernah kulihat dia berbicara dengan orang lain. Seakan orang bisu yang hanya dapat mendengar suara-suara dari mulut orang lain. Rambutnya pendek, dengan poni yang rapi. Sebenarnya dia gadis yang cantik, jika saja ada senyuman yang terhias di wajahnya.

Oh, ya, dan ada lagi yang paling membuatku takjub. Namanya Kinan Hanabi. Dia imut, rambutnya panjang sepunggung dengan poni samping dan jepitang ungu yang selalu dipakainya setiap hari. Dia yang paling mencolok di kelas karena merupakan siswi yang aktif. Namun sayangnya, dia suka makan bunga. Seseorang berkata bahwa gadis itu sangat menyukai bunga, namun karena terlalu terobsesi dengan itu, membuat ia memiliki kebiasaan yang aneh.

Dan masih banyak lagi. Jumlah siswa di kelas ini adalah 29. Berbeda dengan kelas lain yang berjumlah 30. Aku sempat berpikir, kenapa bisa berbeda? Namun akhirnya aku tau—orang aneh tak sebanyak orang normal.

Dan ya, ‘aneh’ yang kumaksud di sini bukan dalam artian menjijikkan atau merendahkan. Hanya saja, aneh karena kuanggap tidak sewajarnya.

Awal-awal berada di sini rasanya biasa saja—selain peristiwa saat aku pingsan itu. Walau orang-orang di sini berbeda, pembelajaran tetap dilakukan seperti kelas normal lainnya. Hanya saja, pada suatu saat, sesuatu menggugah pertanyaan-pertanyaan konyol itu kembali datang.

“Ada anak yang meninggal!”

Kenapa aku di sini ….

“Dia ada pinggir sungai dekat sekolah!”

Kenapa orang seperti Shota di sini ….

“Sepertinya, ada seseorang yang mencoba membunuhnya.”

Sebenarnya, ada apakah di kelas ini?

***

a/n :

ulya kesambet sesuatu sampe ngetik horror (gagal) gini yampon padahal lagi pra-us pelis deh ul :’( /boboan/
chapter 2 nya mungkin bakal lama, karena ini juga cuma sekedar nulis apa yang lagi ada di otak


sign, uul
 

home sweet dream Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review