Minggu, 22 Maret 2015

[original fiction] : iris chapter 2

Diposting oleh fuyuhanacherry di 12.11
iris
///////////////////////
© fuyuhanacherry

***

CHAPTER 2 : kuda di padang pasir

“Ada yang meninggal!”

Aku menggerucutkan bibir. Sebal sekali, kukira berita itu benar, ternyata hanya lelucon dari seorang anak laki-laki yang terobsesi dengan ramalan saja. Namanya Rei.

“Tapi itu benar! Dia ada di pinggir sungai!”

Aku melipat kedua tanganku di depan dada. “Sudah jelas semua orang tak menemukan siapapun di sana. Kenapa kau keras kepala sekali hah, pembohong!”

Shota yang melihatku terbawa emosi karena telah dibohongi segera menengahi perselisihan ini. Dia menyuruh kami agar tak saling bertengkar hanya hal-hal sepele semacam itu.
Sepele? Aku berpikir banyak hal setelah menengar kebohongannya itu, tau! Apa yang dia sebut sebagai hal yang sepele?

“Sudah. Sabar, Erika. Jika kau melanjutkannya, kau juga tak akan mendapat apapun, bukan?” Shota menepuk pundakku, dan menatapku hangat, sembari memasang senyumnya. Aku tak bisa terus terlihat kesal seperti ini di depannya—aku tak mengijinkan diriku sendiri untuk cemberut dan mengeluh di depan laki-laki itu. akhirnya, aku pun menghela nafas untuk menenangkan diri.

“Maafkan aku. Aku terlalu menganggap semua ini serius. Mungkin lain kali aku tak harus mempercayai perkataan-perkataan macam itu. Lagipula, tidak mungkin ‘kan?”

Shota tak menjawab. Dia lantas melepaskan telapak tangannya yang sedari tadi membebani pundakku. Lagi-lagi, dia tersenyum. Aku tak tau apa artinya. Senyumannya itu seperti pelangi di antara dua awan mendung. Senyumnya adalah penghangat hatiku, penghapus rasa pahit di hatiku, dan melenyapkan segala emosi negatifku.

Aku tak tau kenapa bisa begini. Di kelas ini, aku hanya dekat dengan Shota. Mungkin karena itu, aku merasa Shota adalah jiwa yang sangat berharga, dan aku tak berhak membuatnya cemas ataupun sedih. Kebahagiaan adalah hal yang sepantasnya diberikan kepada si mata sipit itu.

***

Kali ini, aku membiarkan siapapun memukul punggungku seratus kali.

Ini bukan kenyataan ‘kan? Tolonglah, siapapun, jangan mencoba membohongiku lagi. Tariklah semua ucapan kalian! Ini semua … bohong ‘kan?

“Erika!”

Kulihat dari arah koridor sekolah, Shota berlari ke arahku dengan wajah yang terlihat gelisah. Aku sudah tau pasti, apa yang akan diceritakannya padaku. Tak salah lagi.

Rei ditemukan meninggal di pinggir sungai.”

Dengan ketepatan pengucapan yang tiada bedanya, aku menatap wajah laki-laki itu yang terkejut.

“Kau sudah tau?”

“Tentu saja, para gadis yang baru saja kutemui di dalam kelas sangat berisik karena itu, dan menceritakannya padaku,” jawabku dengan nada datar, dan lirih.

“Pihak sekolah sudah memanggil ambulan dan akan membawanya ke rumah sakit. Dan … tak ada darah di tubuhnya,” jelas Shota seperti reporter berita di televisi.

Aku tak menjawab perkataannya, hanya mengangguk, seolah aku mengerti dan tak memikirkannya. Baiklah, aku bersikap setenang ini bukan karena aku tak bersimpati pada pemuda yang baru kemarin membuatku marah. Tapi, aku ingin mendinginkan pikiranku. Karena aku merasa terlibat dalam masalah ini.

Rei, orang yang kemarin berkata sendiri bahwa ada orang yang meninggal di pinggir sungai, sekarang justru peristiwa itu yang menimpa pada dirinya sendiri. Apakah pepatah “Perkataan adalah do’a” berlaku di sini? Jika pun iya, tak mungkin hanya gara-gara ramalan Rei sendiri. Pasti ada sesuatu yang lain.

“Erika?”

Aku merenung. Kemungkinan lainnya, Rei berusaha bunuh diri untuk menunjukannya padaku, bahwa ramalan yang dia katakana itu benar. Jadi, dia mengorbankan dirinya sendiri. Tapi, mengorbankan nyawanya sendiri demi harga diri itu sangat konyol, bagiku.

“Erika!”

Aku terperanjat, mataku terbelalak. “Ah-oh, maafkan aku, Shota.”

Laki-laki keturunan Jepang itu meletakkan telapak tangan kanannya di pundakku, dan sedikit merendahkan badannya agar kedua  matanya dapat bertemu lurus dengan kedua mataku, “Tadi, kau bersikap seperti tak memperdulikannya, tapi kau akhirnya memikirkannya juga. Jangan bodoh. Jangan pikirkan hal ini terlalu jauh. Kau bukan siapa-siapa di sini. Cobalah untuk melupakan hari kemarin.”

Aku menunduk, lalu menghembuskan nafas pendek, berusaha menjernihkan otakku dari pikiran-pikiran semacam itu—yang sudah dapat ditebak oleh Shota. Baiklah, Erika, yang kemarin itu hanya kebetulan saja Rei bertengkar denganmu.

Walau salah satu anggota dari kelas 2-F meninggal di hari itu, pelajaran tetap berlangsung sebagaimana semestinya. Namun, aku tidak dapat fokus dengan apa yang diajarkan oleh guru.

Aku ketakutan.
***
Hampir satu minggu sejak perginya Rei dari dunia fana ini. Sekarang, kelas 2-F hanya bersisa 28 orang. Dan walau berkurang satu orang, anak-anak di kelas ini tetap bersikap sebagaimana biasanya dengan keunikan masing-masing yang semakin lama, semakin membuatku terbiasa dengan mereka.
Hubunganku dengan Shota juga semakin membaik. Dia kini selalu mencemaskanku ketika aku terlihat murung, dan aku selalu mencurahkan isi hatiku ketika sedang buruk maupun senang kepadanya. Aku merasa memiliki seorang malaikat di sini, malaikat yang mengajakku terbang ke surga. Oh, tuhan, apakah aku sesenang dan seberuntung ini? Apakah dibalik kebahagiaan yang kurasakan bersama Shota, akan ada hal buruk yang terjadi?

Ketakutan kembali menyelinap ke dalam hatiku saat ini. Masih pagi, jam pelajaran belum berlangsung. Namun, aku merasa langit sangatlah mendung. Lalu, firasat-firasat buruk, pikiran-pikiran menakutkan, dan fantasi yang mengerikan merasuki diriku.

Ini … sama seperti dulu! Penglihatanku mulai memburam, mataku tak kuasa menahan rasa kantuk yang muncul secara tiba-tiba. Dan tidak salah lagi, lagu itu … lagu yang kudengar di hari pertama masuk sekolah kembali terdengar.

“… dalam masa lalu, apakah kau masih di sana?”

***

“SHOTA!”

Teriakanku menggugah diriku sendiri ke alam sadar. Ada apa ini?

Lalu, kufokuskan penglihatanku ke arah sekitar. Ternyata, aku terbaring di UKS lagi. Kondisi ruangan itu tak jauh berbeda dengan saat aku di sini sebulan yang lalu.

“Hai, Erika.”

Seorang wanita menyapaku sambil tersenyum. Dia duduk di samping ranjang tempatku terbaring. Oh, wanita itu yang dulu juga menjagaku di sini. Dan aku belum tau namanya, mengerikan sekali.
“Apakah yang menimpaku tadi … sama seperti yang dulu itu?”

Wanita itu mengangguk, lalu memberiku segelas air putih yang sedari tadi sudah digenggam olehnya.
“Minumlah. Kau tetap di sini sampai kau pulih.”

“Tapi aku tidak sakit apa-apa. Aku hanya pingsan!” teriakku, meminta agar segera dikembalikan ke kelas.

Wanita itu membelai rambutku, “Memangnya kau pingsan karena apa? Kau belum tau, ‘kan?”
Aku menatap wanita itu. “Kau siapa?”

“Yuka Yamada.”

Aku pun bernjak duduk setelah mendengar ucapan wanita itu. “Kau … jangan-jangan ….”

“Ya, aku adalah kakak dari temanmu, Shota.”

Hei, kenapa aku baru menyadarinya? Perempuan ini memang memiliki kemiripan dengan Shota. Dan lagi, sama-sama keturunan Jepang. Terlambat sekali aku menyadarinya.

“Kenapa tak memberitahuku dari dulu?”

“Saat itu, kau belum kenal dengan adikku, bukan?”

Aku pun mengangguk, benar juga. saat itu, hari pertama sekolah dan aku belum mengenal satu pun teman sekelasku. Kurasa, kak Yuka ini adalah orang yang baik, tak berbeda dengan Shota, jika dilihat dari wajah dan sikapnya yang ramah.

“Ngomong-ngomong,” kuletakkan gelasku ke meja kecil yang ada di samping. “bisakah kakak ceritakan kenapa Shota ada di kelas 2-F? Oh, dan begitu juga aku. Kau pasti sudah lama bekerja di sini bukan?”

“Terlalu terburu-buru, rasa ingin tahu yang tinggi, dan ceroboh.”

Aku mengernyitkan dahi. Apa hubungannya dengan pertanyaanku? Pasti dia salah dengar.

“Kau seperti kuda yang merengek kehilangan tuannya. Tersesat di padang pasir yang gersang, kau tak memiliki arah tanpa tuanmu.”

Aku masih diam, tak mengerti apa yang kak Yuka maksud. Dan tiba-tiba, suara beberapa orang yang berbincang di luar ruangan menggangguku. Mereka akan masuk ke mari.

Gagang pintu diputar, lalu ….

“Erika? Kenapa kau bisa pingsan lagi, sayang?”

Bibi Sinta dan Paman Rudi.

Aku pun harus tetap berada di sana sambil mendengar celotehan mereka yang mengkhawatirkanku. Dan pada akhirnya, aku malah disuruh untuk pulang dari sekolah.

Aku mulai menyadari. Ternyata, ada banyak sekali orang yang memperhatikanku dan mencemaskanku.

Dan aku semakin takut dengan rasa senang itu.

***

-TBC-

***

a/n :

oke akhirnya bisa lanjut juga =) <--padahal dia mau ujian praktek

di chapter ini pendek sekali memang, mood saya mentok segitu(???)

thanks syudah baca


sign, uul

0 komentar:

Posting Komentar

 

home sweet dream Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review