iris
///////////////////////
© fuyuhanacherry
***
CHAPTER 2 : kuda di padang pasir
“Ada yang meninggal!”
Aku menggerucutkan bibir. Sebal sekali, kukira berita itu
benar, ternyata hanya lelucon dari seorang anak laki-laki yang terobsesi dengan
ramalan saja. Namanya Rei.
“Tapi itu benar! Dia ada di pinggir sungai!”
Aku melipat kedua tanganku di depan dada. “Sudah jelas semua
orang tak menemukan siapapun di sana. Kenapa kau keras kepala sekali hah,
pembohong!”
Shota yang melihatku terbawa emosi karena telah dibohongi
segera menengahi perselisihan ini. Dia menyuruh kami agar tak saling bertengkar
hanya hal-hal sepele semacam itu.
Sepele? Aku berpikir banyak hal setelah menengar
kebohongannya itu, tau! Apa yang dia sebut sebagai hal yang sepele?
“Sudah. Sabar, Erika. Jika kau melanjutkannya, kau juga tak
akan mendapat apapun, bukan?” Shota menepuk pundakku, dan menatapku hangat,
sembari memasang senyumnya. Aku tak bisa terus terlihat kesal seperti ini di
depannya—aku tak mengijinkan diriku sendiri untuk cemberut dan mengeluh di
depan laki-laki itu. akhirnya, aku pun menghela nafas untuk menenangkan diri.
“Maafkan aku. Aku terlalu menganggap semua ini serius.
Mungkin lain kali aku tak harus mempercayai perkataan-perkataan macam itu. Lagipula,
tidak mungkin ‘kan?”
Shota tak menjawab. Dia lantas melepaskan telapak tangannya
yang sedari tadi membebani pundakku. Lagi-lagi, dia tersenyum. Aku tak tau apa
artinya. Senyumannya itu seperti pelangi di antara dua awan mendung. Senyumnya
adalah penghangat hatiku, penghapus rasa pahit di hatiku, dan melenyapkan
segala emosi negatifku.
Aku tak tau kenapa bisa begini. Di kelas ini, aku hanya
dekat dengan Shota. Mungkin karena itu, aku merasa Shota adalah jiwa yang
sangat berharga, dan aku tak berhak membuatnya cemas ataupun sedih. Kebahagiaan
adalah hal yang sepantasnya diberikan kepada si mata sipit itu.
***
Kali ini, aku membiarkan siapapun memukul punggungku seratus
kali.
Ini bukan kenyataan ‘kan? Tolonglah, siapapun, jangan
mencoba membohongiku lagi. Tariklah semua ucapan kalian! Ini semua … bohong ‘kan?
“Erika!”
Kulihat dari arah koridor sekolah, Shota berlari ke arahku
dengan wajah yang terlihat gelisah. Aku sudah tau pasti, apa yang akan
diceritakannya padaku. Tak salah lagi.
“Rei ditemukan
meninggal di pinggir sungai.”
Dengan ketepatan pengucapan yang tiada bedanya, aku menatap
wajah laki-laki itu yang terkejut.
“Kau sudah tau?”
“Tentu saja, para gadis yang baru saja kutemui di dalam
kelas sangat berisik karena itu, dan menceritakannya padaku,” jawabku dengan
nada datar, dan lirih.
“Pihak sekolah sudah memanggil ambulan dan akan membawanya
ke rumah sakit. Dan … tak ada darah di tubuhnya,” jelas Shota seperti reporter
berita di televisi.
Aku tak menjawab perkataannya, hanya mengangguk, seolah aku
mengerti dan tak memikirkannya. Baiklah, aku bersikap setenang ini bukan karena
aku tak bersimpati pada pemuda yang baru kemarin membuatku marah. Tapi, aku
ingin mendinginkan pikiranku. Karena aku merasa terlibat dalam masalah ini.
Rei, orang yang kemarin berkata sendiri bahwa ada orang yang
meninggal di pinggir sungai, sekarang justru peristiwa itu yang menimpa pada
dirinya sendiri. Apakah pepatah “Perkataan adalah do’a” berlaku di sini? Jika pun
iya, tak mungkin hanya gara-gara ramalan Rei sendiri. Pasti ada sesuatu yang
lain.
“Erika?”
Aku merenung. Kemungkinan lainnya, Rei berusaha bunuh diri
untuk menunjukannya padaku, bahwa ramalan yang dia katakana itu benar. Jadi,
dia mengorbankan dirinya sendiri. Tapi, mengorbankan nyawanya sendiri demi
harga diri itu sangat konyol, bagiku.
“Erika!”
Aku terperanjat, mataku terbelalak. “Ah-oh, maafkan aku,
Shota.”
Laki-laki keturunan Jepang itu meletakkan telapak tangan
kanannya di pundakku, dan sedikit merendahkan badannya agar kedua matanya dapat bertemu lurus dengan kedua
mataku, “Tadi, kau bersikap seperti tak memperdulikannya, tapi kau akhirnya
memikirkannya juga. Jangan bodoh. Jangan pikirkan hal ini terlalu jauh. Kau bukan
siapa-siapa di sini. Cobalah untuk melupakan hari kemarin.”
Aku menunduk, lalu menghembuskan nafas pendek, berusaha
menjernihkan otakku dari pikiran-pikiran semacam itu—yang sudah dapat ditebak
oleh Shota. Baiklah, Erika, yang kemarin itu hanya kebetulan saja Rei
bertengkar denganmu.
Walau salah satu anggota dari kelas 2-F meninggal di hari
itu, pelajaran tetap berlangsung sebagaimana semestinya. Namun, aku tidak dapat
fokus dengan apa yang diajarkan oleh guru.
Aku ketakutan.
***
Hampir satu minggu sejak perginya Rei dari dunia fana ini. Sekarang,
kelas 2-F hanya bersisa 28 orang. Dan walau berkurang satu orang, anak-anak di
kelas ini tetap bersikap sebagaimana biasanya dengan keunikan masing-masing
yang semakin lama, semakin membuatku terbiasa dengan mereka.
Hubunganku dengan Shota juga semakin membaik. Dia kini
selalu mencemaskanku ketika aku terlihat murung, dan aku selalu mencurahkan isi
hatiku ketika sedang buruk maupun senang kepadanya. Aku merasa memiliki seorang
malaikat di sini, malaikat yang mengajakku terbang ke surga. Oh, tuhan, apakah
aku sesenang dan seberuntung ini? Apakah dibalik kebahagiaan yang kurasakan
bersama Shota, akan ada hal buruk yang terjadi?
Ketakutan kembali menyelinap ke dalam hatiku saat ini. Masih
pagi, jam pelajaran belum berlangsung. Namun, aku merasa langit sangatlah
mendung. Lalu, firasat-firasat buruk, pikiran-pikiran menakutkan, dan fantasi
yang mengerikan merasuki diriku.
Ini … sama seperti dulu! Penglihatanku mulai memburam,
mataku tak kuasa menahan rasa kantuk yang muncul secara tiba-tiba. Dan tidak
salah lagi, lagu itu … lagu yang kudengar di hari pertama masuk sekolah kembali
terdengar.
“… dalam masa lalu,
apakah kau masih di sana?”
***
“SHOTA!”
Teriakanku menggugah diriku sendiri ke alam sadar. Ada apa
ini?
Lalu, kufokuskan penglihatanku ke arah sekitar. Ternyata,
aku terbaring di UKS lagi. Kondisi ruangan itu tak jauh berbeda dengan saat aku
di sini sebulan yang lalu.
“Hai, Erika.”
Seorang wanita menyapaku sambil tersenyum. Dia duduk di
samping ranjang tempatku terbaring. Oh, wanita itu yang dulu juga menjagaku di
sini. Dan aku belum tau namanya, mengerikan sekali.
“Apakah yang menimpaku tadi … sama seperti yang dulu itu?”
Wanita itu mengangguk, lalu memberiku segelas air putih yang
sedari tadi sudah digenggam olehnya.
“Minumlah. Kau tetap di sini sampai kau
pulih.”
“Tapi aku tidak sakit apa-apa. Aku hanya pingsan!” teriakku,
meminta agar segera dikembalikan ke kelas.
Wanita itu membelai rambutku, “Memangnya kau pingsan karena
apa? Kau belum tau, ‘kan?”
Aku menatap wanita itu. “Kau siapa?”
“Yuka Yamada.”
Aku pun bernjak duduk setelah mendengar ucapan wanita itu. “Kau
… jangan-jangan ….”
“Ya, aku adalah kakak dari temanmu, Shota.”
Hei, kenapa aku baru menyadarinya? Perempuan ini memang
memiliki kemiripan dengan Shota. Dan lagi, sama-sama keturunan Jepang. Terlambat
sekali aku menyadarinya.
“Kenapa tak memberitahuku dari dulu?”
“Saat itu, kau belum kenal dengan adikku, bukan?”
Aku pun mengangguk, benar juga. saat itu, hari pertama
sekolah dan aku belum mengenal satu pun teman sekelasku. Kurasa, kak Yuka ini
adalah orang yang baik, tak berbeda dengan Shota, jika dilihat dari wajah dan
sikapnya yang ramah.
“Ngomong-ngomong,” kuletakkan gelasku ke meja kecil yang ada
di samping. “bisakah kakak ceritakan kenapa Shota ada di kelas 2-F? Oh, dan
begitu juga aku. Kau pasti sudah lama bekerja di sini bukan?”
“Terlalu terburu-buru, rasa ingin tahu yang tinggi, dan
ceroboh.”
Aku mengernyitkan dahi. Apa hubungannya dengan pertanyaanku?
Pasti dia salah dengar.
“Kau seperti kuda yang merengek kehilangan tuannya. Tersesat
di padang pasir yang gersang, kau tak memiliki arah tanpa tuanmu.”
Aku masih diam, tak mengerti apa yang kak Yuka maksud. Dan tiba-tiba,
suara beberapa orang yang berbincang di luar ruangan menggangguku. Mereka akan
masuk ke mari.
Gagang pintu diputar, lalu ….
“Erika? Kenapa kau bisa pingsan lagi, sayang?”
Bibi Sinta dan Paman Rudi.
Aku pun harus tetap berada di sana sambil mendengar
celotehan mereka yang mengkhawatirkanku. Dan pada akhirnya, aku malah disuruh untuk
pulang dari sekolah.
Aku mulai menyadari. Ternyata, ada banyak sekali orang yang
memperhatikanku dan mencemaskanku.
Dan aku semakin takut dengan rasa senang itu.
***
-TBC-
***
a/n :
oke akhirnya bisa lanjut juga =) <--padahal dia mau ujian
praktek
di chapter ini pendek sekali memang, mood saya mentok
segitu(???)
thanks syudah baca
sign, uul
0 komentar:
Posting Komentar