Jika diibaratkan sebuah sungai, mungkin sekarang Lisa sudah
seperti sungai tanpa air. Kering dengan tanah sebagai dasarnya yang retak,
mengharapkan air jatuh dari langit. Kosong.
Kali ini dia sedang menghadapi masa di mana dirinya seperti
merasa tidak mempunyai apa-apa, tidak merasakan apa-apa—saking monotonnya
kehidupan yang ia jalani selama ini. Bahkan langit yang mendung kala itu tak
juga menyadarkan si gadis bahwa jemuran yang ia jemur di atap belum diangkat.
Sampai pada suatu ketika, seseorang berteriak dari luar rumah.
“Hai nyonya! Cepat angkat jemuranmu!”
Terdengar sangat tua sekali, pikir gadis yang masih berumur
tujuhbelas tahun itu, kemudian dia beranjak dan segera pergi ke atap untuk
mengangkat jemuran yang ia jemur pagi tadi.
Setelah mengangkat seluruh jemuran yang tadinya menggantung
berderet di sebuah tali yang biasa digunakannya untuk menjemur, sekilas Lisa
mengarahkan pandangan pada seseorang yang juga sedang sibuk mengangkat jemuran
di atap rumah sebelah. Sepertinya laki-laki
itu yang tadi berteriak memperingatkanku, batin Lisa.
Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya Lisa melihat orang
tersebut, namun entah kenapa Lisa masih merasa asing dengan orang yang
baru-baru ini pindah rumah di sebelah rumahnya itu. Mereka memang belum sempat
berkenalan satu sama lain, tapi bukan berarti mereka tak pernah berbincang sama
sekali.
Beberapa hari lalu, pernah sekali mereka berbincang walau
hanya beberapa menit saja. Saat itu mereka sama-sama sedang berdiri di atap
rumah masing-masing, menatap langit yang sama dari tempat mereka berdiri. Entah
apa yang sedang dua insan itu pikirkan saat itu, dan secara tiba-tiba si lelaki
menyapa gadis berambut sebahu itu.
“Apa yang sedang kaupikirkan?”
Sempat diliriknya laki-laki itu sebentar, lalu Lisa kembali
menatap langit. “Tidak ada. Aku tidak sedang memikirkan apa-apa.”
“Lantas, kenapa kau menatap langit?”
Si gadis kemudian menghembuskan nafasnya pelan, lalu
menjawab dengan nada suara yang lirih, “Memangnya tidak boleh?”
Belum sempat si lelaki membalas perkataannya, Lisa sudah melangkah
pergi ke dalam rumah. Si pemuda menatap
punggung Lisa yang semakin lama semakin menjauh dari pandangannya, sampai suatu
saat termakan oleh sebuah pintu kayu. Dan tanpa Lisa ketahui, laki-laki itu
sebenarnya sempat tersenyum melihatnya.
Sebaiknya, lupakan saja cerita konyol saat itu.
Karena untuk saat ini, Lisa benar-benar merasa
kosong—setelah mengetahui bahwa si pemuda penghuni rumah sebelah itu adalah
kekasih seniornya di sekolah.
Oh, benar, ini masih belum terlambat untuk melupakan
semuanya. Dia hanya berbincang sekali dengan laki-laki yang sampai saat ini pun
belum ia ketahui namanya itu.
Jadi, kemarin lusa, Lisa tak sengaja melihat pemandangan
dari jendela rumahnya. Di luar sana—tepatnya di halaman rumah sebelah, tampak
Yuna, seniornya tengah berbincang ria dengan sesosok laki-laki yang tak lain
adalah orang yang sudah terlanjur mengambil hati Lisa dengan obrolan singkat
tanpa artinya beberapa hari sebelumnya. Mereka berdua terlihat mesra sekali di
mata si gadis rumahan itu. Secara lisan memang belum dibuktikan bahwa mereka
adalah sepasang kekasih. Tapi Lisa bukan orang yang mudah berharap begitu
saja—tidak jika seseorang itu membuatnya benar-benar jatuh dan tak bisa bangkit
lagi.
—END—
a/n :
sebenernya ini entri pertamaku di acara(?) nulisrandom2015
bulan lalu wkwkwk aku publish ini di note fb, ya mayan lah buat ngisi ngisi
blog
sign,
uul