*SEMpRIT pELUIT* yayyaaayyy akhirnya ini aku bisa nulis lagi
huhuh ;;;;;;;;;;;;;;;;;; padahal kupikir kemampuanku buat nulis uda kosong
melompong karna lama bat ngga diasah (dan malah dianggurin).
Sekarang lagi
senengnya nyanyi-nyanyian sih jadi nulis rada terbengkalai(???) cuma tadi pas
denger lagu-lagunya keeno kek ada motivasi tersendiri buat nulis gitu huhuhu
keeno is my favorite producer btw huhuhu lavlav <3
Ini sub judul(???) aku ambil dari judul-judul lagunya keeno yg
kudenger gitu wwww tapi bukan songfict kok soalnya ak sebenernya gatau juga
arti dari lagu-lagunya keeno #GUBRAG jadi ini emang dasarnya ngarang, Cuma ngambil
prompt dari judul aja uwu
Maaf ini aku makin tua nulisnya makin kaku alay aja hiks terus ini gaaku koreksi setelah bikin jd langsung publish jd maap klo byk typo dan salah eyd #YHA. *nggelundung *tutupmuka
.
.
.
.
# in the rain
Kau tengah memegang tangkai payung kelabumu ketika langkah
kakiku tak sengaja membawaku ke dalam jarak lima meter dari tanah tempatmu
berdiri. Orang-orang ramai dengan jamur yang mereka gunakan untuk melindungi seluruh
bagian dari pucuk kepala mereka, melalui jalanan di sekitarmu dengan riang,
meninggalkan batas antara sekolah dan lingkungan luar yang ditandai oleh
gerbang baja yang tingginya sekitar dua meter. Lonceng sudah berbunyi sejak
sekitar sepuluh menit yang lalu, bukan hal yang aneh ketika aku melihat
banyaknya orang yang berseragam sama denganku melangkahkan kaki meninggalkan
sekolah. Tidak seperti dirimu yang sedari tadi masih terlihat berdiri diam di
samping gerbang yang telah terbuka. Matamu menjelajah secara cermat ke arah
kerumunan orang di depanmu—nampaknya, tengah mencari sesuatu, lebih tepatnya
seseorang.
Ah, mungkin kau ada janji dengan temanmu dari kelas yang
berbeda untuk pergi ke suatu tempat? Atau justru, menunggu kekasihmu untuk
berkencan sepulang sekolah? Otakku meraba-raba semua kemungkinan yang memiliki potensi
dalam wujud nyata. Aku terlalu memikirkan hal itu sampai-sampai melupakan momen
ketika langkah kakiku telah berada sejajar dengan kakimu yang menghadap
horizontal. Hal tersebut sudah berlalu, beberapa detik yang lalu.
Aku sudah benar-benar berada di luar sekolah, sedangkan kau
masih dengan penungguanmu di sana. Kuharap, kau cepat menemukan orang yang kau
cari. Tapi ngomong-ngomong, apa yang akan kaulakukan di kala hujan seperti ini?
Aku mulai menebak-nebak hal yang bukan urusanku lagi sampai hujan mulai
berganti menjadi gerimis kecil dengan tempo yang meneduhkan kalbu.
.
# glow
Bukanlah kesengajaanku saat aku pergi menuju perpustakaan
seorang diri dan menemukan sosokmu di lapangan futsal bersama teman-temanmu. Suara
gelak tawa sesungguhnya sangat mencuri perhatianku, namun apa boleh buat, aku
tak mungkin menolehkan wajahku kea rah kerumunan laki-laki kelas sebelah hanya
untuk itu.
Aku sangat yakin dari tawaan yang baru saja kudengar, terdapat
suaramu yang ikut menyelip di sana. Suara tawa yang sangat puas, apalagi jika
saat itu aku melihat ekspresi wajahmu. Mulut yang membentuk huruf ‘D’ kapital dengan
kemiringan 90°, mata yang menyipit ke atas dan membentuk seraut garis di bawah
kelopak mata. Aku dapat membayangkannya.
Dan tiba-tiba saja suara seseorang menghentikan langkahku yang
sudah mencapai ujung lapangan.
“Rin, mau ke mana?”
“Perpustakaan. Kenapa?”
“Boleh minta tolong untuk perpajang buku pinjamanku?”
Aku mengangguk. Orang yang menjadi lawan bicaraku
menunjukkan ibu jari tangan kanannya ke padaku, “Thank you!”
Dia berlari kembali ke tempat asalnya. Dan aku baru sadar
jika barusan orang itu membuatku menjadi center
of interest di sana.
Dasar Barney yang menyebalkan! Apa dia melupakan
karakteristikku yang sangat tidak ingin diperhatikan ini?
Ah, apa saat itu kau juga memperhatikankku? Aku anggap iya, dan aku akan
menyalahkan teman masa kecilku yang payah itu atas kejadian tersebut.
(Walau sesungguhnya, bunga-bunga yang tumbuh di dalam diriku
berkilauan ketika membayangkan sorot matamu membidik ke arahku)
.
# drop
Pentas seni yang diselenggarakan di lapangan tengah tumpah
ruah dengan keberadaan masyarakat sekolah. Terlalu sungkan untuk ikut terjun
dalam ke ramaian, aku lebih memilih untuk tetap berada di kelasku, di lantai
atas. Menonton pertunjukkan seni dari atas walau tidak dapat memantaunya dengan
cukup jelas karena jarak antara bangunan kelas dan panggung pentas seni agak
jauh. Tanganku mencengkeram pagar besi yang terpasang di sepanjang pinggiran
koridor, berdiri dengan tatapan yang tidak bersemangat—karena memang tidak
terlalu tertarik dengan hal-hal yang justru menyenangkan bagi orang lain
semacam ini. Mungkin karena aku terlalu bodoh dalam menutup diri.
Saat itu kupikir hanya aku seoranglah yang masih berada di
koridor, namun setelah mataku menangkap bayangan jauh dari arah kanan, aku
menyadarinya. Kau juga berada di sini, di koridor yang sama denganku. Satu ruangan
kelas menjadi ukuran jarak di antara kita. dan lagi-lagi, kupikir hanya ada aku
dank au. Ternyata masih ada satu orang lagi. berada di sampingmu. Berdiri berjajar
di sana dengan pucuk kepalanya yang hanya mencapai bahumu yang kokoh. Berbincang
bersamamu, tertawa sesekali, terlihat menyenangkan sekali.
Ada perasaan yang bercampur di dalam hatiku saat itu. Aku
senang bisa mendengar ‘secuil’ nyaring tawamu yang melewati udara dari
kejauhan, dan di sisi lain aku merasakan ada yang salah. Ada yang tak bisa
kuterima.
Mungkin, aku iri dengan perempuan yang ada di dekatmu itu? Ah,
entahlah. Yang jelas saat itu pula aku membayangkan bagaimana jadinya jika yang
ada di sisimu itu adalah aku. Pasti akan berbeda.
Pasti kau tak akan tertawa seperti
ini. mungkin aku memang tidak dituntut untuk mengenalmu oleh takdir. Selama ini
mungkin yang kurasakan hanya murni keegoisanku. Aku menertawakan perasaanku
sebelumnya yang berkata ‘ada yang salah’, padahal jelas aku lah yang salah
dalam kasus ini.
Aku mulai mencoba melupakan segala hal ‘tentangmu’ mulai dari
detik itu; detik ketika kulihat kau mulai berjalan menjauhi tempat asalmu
bersama perempuan itu, menuruni tangga berdua, dan larut dalam keramaian di
bawah sana.
.
# fix
Kupikir melupakan sesuatu yang sudah mengisi pikiranku
selama beberapa hari bukan merupakan hal yang sulit. Apalagi pada dasarnya aku
memang belum mengenal orang yang aku pikirkan tersebut. Namun ekspektasiku
melanggar batas nyata, hal tersebut jauh dari realita.
Hari-hari berikutnya, aku masih memikirkanmu, mencari
keberadaanmu di setiap penjuru sudut pandangku—dan aku selalu menemukannya. Kau
yang diam; kau yang tertawa; kau yang berisik; kau yang marah, kau yang
tersenyum; semuanya kini sudah kukoleksi secara illegal di kepala sampai kapasitas
memoriku nyaris penuh. Pada akhirnya aku memilih untuk menjalaninya seperti air
yang mengalir melewati celah-celah benda tahan air.
Namun tak begitu berhasil. Semakin lama, perasaan aneh ini
semakin tak terbendung.
Entah mengapa rasanya sudah tak ada yang bisa memperbaiki
kerusakan ini. Dan mungkin saja memang sudah ditakdirkan begitu. Kau datang untuk merusak pikiran normalku,
membutakan mata hatiku seakan kaulah yang paling kubutuhkan—padahal pada
kenyataannya tak pernah ada interaksi sedikitpun di antara kita. Apakah aku
adalah korban? Bukan. Kau juga bukanlah seorang pelaku kejahatan yang secara
sengaja merusak pikiran seorang gadis berumur tujuhbelas tahun.
Pada akhirnya aku hanya bisa menyerah. Dan ketika aku
menyerah, dewi keajaiban menemuiku begitu tanpa kuundang. Suatu hari di penghujung
tahun, kau menuju ke kelasku dan mencariku. Aku bahkan terkejut ketika
mengetahui bahwa kau mengetahui namaku. Dengan gugup aku menemuimu yang tengah
menunggu di luar pintu kelas, dan memikirkan apa yang akan kaukatakan dan apa
akan terjadi selanjutnya.
“Tadi Barney memintaku untuk mengembalikannya padamu. Dia sedang
diberi tugas guru untuk membersihkan toilet, sekarang.”
“Toilet—m-maksudku, okay,
terimakasih.”
CD dengan cover salah satu idolaku sampai di tanganku dengan
singkat, kemudian kau berlalu begitu saja.
Dan begitulah akhir dari segala penantianku hanya untuk
sekedar melakukan obrolan singkat denganmu. Sejujurnya, ini lebih dari cukup
untuk memperbaiki kekacauan dalam diriku yang tak beralasan. Dan aku tahu
benar, perasaanku memang masih belum sepenuhnya terobati; justru dengan akhir
yang seperti itu, menjadikan aku semakin ingin melanjutkannya lagi, dan lagi,
sampai pada level yang layak untuk dikatakan ‘jatuh cinta’.