Perjanjian itu kami sepakati di jam-jam larut,
tepatnya saat itu aku baru saja selesai menipiskan tumpukan tugas kantor yang
sudah menjadi tanggunganku malam itu. Katamu, saat itu kau tidak sedang
melakukan apa-apa. Ingin kutanya untuk apa kau masih terjaga pukul sebelas
malam begini, tapi kuingat kembali kebiasaan teman-teman lelakiku yang memang
mematok begadang sebagai simbol daya tahan mereka dalam menghadapi hidup.
Mungkin ada yang mengisinya dengan hura-hura, atau tipe yang melankolis akan
lebih memilih merenungi segala kejadian sejak sedetik pasca angka 00.00
terpapar di layar ponsel mereka. Tapi rupanya kau tidak termasuk dalam tipe
keduanya.
Kau menelponku secara tiba-tiba, memberi
kejutan, karena memang aku tidak punya ekspektasi bahwa kau akan menghubungiku
semalam ini—bahkan jika pun langit masih cerah, aku tetap tak memiliki
ekspektasi semacam itu.
Sudah beberapa tahun sejak kita benar-benar
bertemu secara tatap muka, dan kau mengajakku untuk bertemu empat mata. Aku
tidak mengerti apa motif ajakanmu itu. Alih-alih mencoba mencairkan kecanggungan,
aku menggodamu dengan berucap, “Kamu kangen, ya?”
Terdengar gelak tawa dari seberang sana. Aku
menyadari lagi, sudah lama sejak terakhir kali aku mendengar tawa yang terukir
di bibir yang memperlihatkan barisan gigimu. Dulu, dua tahun lalu, justru kau
yang menggodaku dengan candaan semacam ini. Namun rupanya aku tak
mendapatkannya lagi malam ini.
Aku menaruh sedikit curiga, sebenarnya. Dua
tahun tidak bertemu secara langsung karena kita sama-sama kembali ke tempat
asal sejak selesai dari studi S1 di kampus yang sama, dan aku sudah menemukan
letak perbedaan dari caramu memperlakukanku dengan ucapan. Memang bukan waktu
yang sebentar, sih, tapi hal ini rupanya sangat menggangguku. Sejak saat itu kita hanya
berkomunikasi lewat teks-teks bisu di atas layar ponsel genggam, tak sedekat dulu yang jikalau salah satu ingin bercerita, sesegera mungkin kita mengadakan
pertemuan di kafe seberang kampus. Ah, masa-masa itu, masa-masa klasik ketika
aku masih bisa menikmati rasa-rasa pahit manis romansa; rindu, cemburu—yang
sampai di akhir kesempatan, aku merasa hanya dimanjakan oleh jawaban yang tidak
pasti. Saat itu, kalau boleh jujur, aku mengharapkan ada hubungan spesial yang
terjalin dari kedekatan yang sudah terjalin sejak masa-masa orientasi, sampai bermuara
pada wisuda bersama. Sepertinya sangat manis, jika hal itu terjadi. Akan sangat
indah bila bisa kuceritakan kepada anak cucu kelak, khayalku, semakin jauh dari
garis realita.
Kembali dengan sambungan telepon, kau
mengatakan bahwa kau sedang berada di kota tempat tinggalku dan mengajakku
bertemu. Aku mengusulkan sebuah kafe yang biasa menjadi tempat langgananku ketika
mengadakan reuni dengan teman-teman SMA. Dan kau menyetujuinya.
“Kita bertemu di sana jam 10, ya.”
“Siap. Jangan biarin aku nunggu lama, loh,
ya.”
“Hahaha iya, iya,” kau terkekeh kecil, “Jadi
inget, dulu aku suka telat kalau kita janjian ke kafe.”
“Inget aja. Beneran kangen, ya?”
“Iya deh iya, bocil.”
Ah, panggilan itu. Hanya dia yang bisa
memanggilku dengan sebutan itu selama kuliah. Dan aku baru menyadari bahwa aku
cukup merindukan hal itu, walau sejatinya dia hanya mengolok-olok fisikku saja
yang berbadan kecil.
Kami menutup perbincangan dengan ucapan
selamat malam satu sama lain. Dan malam itu, tidurku jadi tak senyenyak
biasanya.
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku benar-benar tidak memiliki gambaran apapun
tentang apa yang akan terjadi dengan pertemuan ini. Namun aku mencoba untuk
biasa saja, melupakan rasa-rasa yang dulu pernah ada. Aku memastikan
betul-betul bahwa aku sudah tak menyisakan perasaan apapun. Dan aku merasa
telah mempelajari sesuatu dari masa-masa itu; harapan yang terlalu menukik akan
memberikan bekas luka yang paling sakit.
Intinya, aku tidak ingin terjebak untuk kedua
kalinya.
Namun, rupanya aku belum benar-benar belajar.
Aku masih bisa merasakan kecewa, setelah kudapati bahwa tujuanmu menemuiku
adalah untuk menghancurkan timbunan kenangan kita.
“Sebenernya, aku ketemu kamu di sini sekalian
mau ngasih tahu sesuatu. Jadi, dua bulan lagi aku bakal nikah.”
Kalimatmu tersusun dengan rapi. Nada bicaramu
pun terdengar biasa saja, tak ada kesan takut-takut atau ragu akan
reaksiku—yang entah siapamu.
Tapi, bolehkah aku mengaku, bahwa sebenarnya
dadaku terasa sesak setelah mendengar kata-kata itu?
Aku tidak bisa menjawab perkataanmu dengan
cepat dan spontan, aku masih menelaah apa yang harus aku ucapkan, bagaimana
respon ekspresi yang aku tunjukkan padamu? Otakku sedang benar-benar malfungsi
kala itu. Kemudian aku memilih untuk meminum sedikit kopi yang telah kupesan,
menghirup bau dari kepulan asap di atas wajah cangkirnya, dan baru setelahnya
aku menanggapi, “Wah, ganyangka, udah mau nikah aja temenku.”
Aku butuh seseorang untuk menamparku, karena
rasanya tiap kata yang kulontarkan malah menambah rasa perih dan melukai diriku
sendiri, tapi mau bagaimana lagi. Aku bukan seorang avatar pengendali rasa.
“Tempatnya di Jogja. Jangan lupa dateng, ya. Nanti
undangannya nyusul lewat online aja.”
“Wah, okeoke. Kalau boleh tahu, siapa calon
istrinya?”
“Kamu nggak akan kenal, sih. Dia rekan kerja
di kantor.”
Benar, aku adalah orang yang tidak tahu menahu
tentangnya. Aku adalah orang asing.
“Oalah, semoga langgeng, ya, kalian.”
Aku benar-benar ingin segera mengakhiri sisa-sisa
jam yang ada hari itu. Persetan dengan basa basi busuk ini—yang hanya menyoroti
kebodohanku yang memilih untuk berpura-pura merestui. Aku ingin semuanya
berlalu dan aku kembali dalam keadaan sebelum dia menelponku malam itu.
Aku mengutuk dunia yang telah mempertemukanku
dengannya. Aku mengutuk rasaku padanya yang dengan taktahu malunya terus tumbuh
tanpa meminta izinku. Namun sudahlah, aku pun akhirnya dapat menyimpulkan bahwa
ini adalah akhir dari kisah yang selama bertahun-tahun menggantung, terombangambing,
tak mengerti arah. Dan sebagai gantinya, aku akan menutup hati untuk beberapa
saat.
Aku
tidak ingin memesan rindu yang salah lagi.