Kamis, 27 Februari 2020

temu lepas rindu

Diposting oleh fuyuhanacherry di 06.33 0 komentar

Perjanjian itu kami sepakati di jam-jam larut, tepatnya saat itu aku baru saja selesai menipiskan tumpukan tugas kantor yang sudah menjadi tanggunganku malam itu. Katamu, saat itu kau tidak sedang melakukan apa-apa. Ingin kutanya untuk apa kau masih terjaga pukul sebelas malam begini, tapi kuingat kembali kebiasaan teman-teman lelakiku yang memang mematok begadang sebagai simbol daya tahan mereka dalam menghadapi hidup. Mungkin ada yang mengisinya dengan hura-hura, atau tipe yang melankolis akan lebih memilih merenungi segala kejadian sejak sedetik pasca angka 00.00 terpapar di layar ponsel mereka. Tapi rupanya kau tidak termasuk dalam tipe keduanya.

Kau menelponku secara tiba-tiba, memberi kejutan, karena memang aku tidak punya ekspektasi bahwa kau akan menghubungiku semalam ini—bahkan jika pun langit masih cerah, aku tetap tak memiliki ekspektasi semacam itu.

Sudah beberapa tahun sejak kita benar-benar bertemu secara tatap muka, dan kau mengajakku untuk bertemu empat mata. Aku tidak mengerti apa motif ajakanmu itu. Alih-alih mencoba mencairkan kecanggungan, aku menggodamu dengan berucap, “Kamu kangen, ya?”

Terdengar gelak tawa dari seberang sana. Aku menyadari lagi, sudah lama sejak terakhir kali aku mendengar tawa yang terukir di bibir yang memperlihatkan barisan gigimu. Dulu, dua tahun lalu, justru kau yang menggodaku dengan candaan semacam ini. Namun rupanya aku tak mendapatkannya lagi malam ini.

Aku menaruh sedikit curiga, sebenarnya. Dua tahun tidak bertemu secara langsung karena kita sama-sama kembali ke tempat asal sejak selesai dari studi S1 di kampus yang sama, dan aku sudah menemukan letak perbedaan dari caramu memperlakukanku dengan ucapan. Memang bukan waktu yang sebentar, sih, tapi hal ini rupanya sangat menggangguku. Sejak saat itu kita hanya berkomunikasi lewat teks-teks bisu di atas layar ponsel genggam, tak sedekat dulu yang jikalau salah satu ingin bercerita, sesegera mungkin kita mengadakan pertemuan di kafe seberang kampus. Ah, masa-masa itu, masa-masa klasik ketika aku masih bisa menikmati rasa-rasa pahit manis romansa; rindu, cemburu—yang sampai di akhir kesempatan, aku merasa hanya dimanjakan oleh jawaban yang tidak pasti. Saat itu, kalau boleh jujur, aku mengharapkan ada hubungan spesial yang terjalin dari kedekatan yang sudah terjalin sejak masa-masa orientasi, sampai bermuara pada wisuda bersama. Sepertinya sangat manis, jika hal itu terjadi. Akan sangat indah bila bisa kuceritakan kepada anak cucu kelak, khayalku, semakin jauh dari garis realita.

Kembali dengan sambungan telepon, kau mengatakan bahwa kau sedang berada di kota tempat tinggalku dan mengajakku bertemu. Aku mengusulkan sebuah kafe yang biasa menjadi tempat langgananku ketika mengadakan reuni dengan teman-teman SMA. Dan kau menyetujuinya.

“Kita bertemu di sana jam 10, ya.”

“Siap. Jangan biarin aku nunggu lama, loh, ya.”

“Hahaha iya, iya,” kau terkekeh kecil, “Jadi inget, dulu aku suka telat kalau kita janjian ke kafe.”

“Inget aja. Beneran kangen, ya?”

“Iya deh iya, bocil.”

Ah, panggilan itu. Hanya dia yang bisa memanggilku dengan sebutan itu selama kuliah. Dan aku baru menyadari bahwa aku cukup merindukan hal itu, walau sejatinya dia hanya mengolok-olok fisikku saja yang berbadan kecil.

Kami menutup perbincangan dengan ucapan selamat malam satu sama lain. Dan malam itu, tidurku jadi tak senyenyak biasanya.
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku benar-benar tidak memiliki gambaran apapun tentang apa yang akan terjadi dengan pertemuan ini. Namun aku mencoba untuk biasa saja, melupakan rasa-rasa yang dulu pernah ada. Aku memastikan betul-betul bahwa aku sudah tak menyisakan perasaan apapun. Dan aku merasa telah mempelajari sesuatu dari masa-masa itu; harapan yang terlalu menukik akan memberikan bekas luka yang paling sakit.

Intinya, aku tidak ingin terjebak untuk kedua kalinya.

Namun, rupanya aku belum benar-benar belajar. Aku masih bisa merasakan kecewa, setelah kudapati bahwa tujuanmu menemuiku adalah untuk menghancurkan timbunan kenangan kita.

“Sebenernya, aku ketemu kamu di sini sekalian mau ngasih tahu sesuatu. Jadi, dua bulan lagi aku bakal nikah.”

Kalimatmu tersusun dengan rapi. Nada bicaramu pun terdengar biasa saja, tak ada kesan takut-takut atau ragu akan reaksiku—yang entah siapamu.

Tapi, bolehkah aku mengaku, bahwa sebenarnya dadaku terasa sesak setelah mendengar kata-kata itu?

Aku tidak bisa menjawab perkataanmu dengan cepat dan spontan, aku masih menelaah apa yang harus aku ucapkan, bagaimana respon ekspresi yang aku tunjukkan padamu? Otakku sedang benar-benar malfungsi kala itu. Kemudian aku memilih untuk meminum sedikit kopi yang telah kupesan, menghirup bau dari kepulan asap di atas wajah cangkirnya, dan baru setelahnya aku menanggapi, “Wah, ganyangka, udah mau nikah aja temenku.”

Aku butuh seseorang untuk menamparku, karena rasanya tiap kata yang kulontarkan malah menambah rasa perih dan melukai diriku sendiri, tapi mau bagaimana lagi. Aku bukan seorang avatar pengendali rasa.

“Tempatnya di Jogja. Jangan lupa dateng, ya. Nanti undangannya nyusul lewat online aja.”

“Wah, okeoke. Kalau boleh tahu, siapa calon istrinya?”

“Kamu nggak akan kenal, sih. Dia rekan kerja di kantor.”

Benar, aku adalah orang yang tidak tahu menahu tentangnya. Aku adalah orang asing.

“Oalah, semoga langgeng, ya, kalian.”

Aku benar-benar ingin segera mengakhiri sisa-sisa jam yang ada hari itu. Persetan dengan basa basi busuk ini—yang hanya menyoroti kebodohanku yang memilih untuk berpura-pura merestui. Aku ingin semuanya berlalu dan aku kembali dalam keadaan sebelum dia menelponku malam itu.

Aku mengutuk dunia yang telah mempertemukanku dengannya. Aku mengutuk rasaku padanya yang dengan taktahu malunya terus tumbuh tanpa meminta izinku. Namun sudahlah, aku pun akhirnya dapat menyimpulkan bahwa ini adalah akhir dari kisah yang selama bertahun-tahun menggantung, terombangambing, tak mengerti arah. Dan sebagai gantinya, aku akan menutup hati untuk beberapa saat.

            Aku tidak ingin memesan rindu yang salah lagi.

tentang kamu yang pernah bermimpi

Diposting oleh fuyuhanacherry di 04.24 0 komentar
kamu pernah bermimpi
tapi kamu lupa
lantas untuk apa meminta kabul?

kamu pernah bermimpi
tapi sudah usang
lantas untuk apa meminta ganti?

kamu pernah bermimpi
tapi tidak yakin
lantas untuk apa meminta lebih?

alih-alih meminta keringanan
kamu membuat semesta bingung
sebab tiada noda yang kamu tinggal
--di dalam mimpi itu

dua tahun setelah kamu tenggelam
dinyalakanlah lampu sorot ungu itu
mereka menyinari namamu
memberi keabadian pada seutas benang merah
yang sempat kauputus


[ didedikasikan untuk Ten Chittaphon Leechaiyaponrkul yang berulangtahun tepat di hari ini, 27 Februari 2020, yang ke-24. selamat mengulang hari lahir, kesayangan ]

Senin, 24 Februari 2020

jatuh (yang tak meminta bangun)

Diposting oleh fuyuhanacherry di 14.44 0 komentar

ada yang jatuh di kejauhan
namun tiada pengajuan pinta
ia terlelap dalam kenikmatan luka
yang tergores di atas sepasang lapisan berbulu;
sayap-sayap yang pernah menopang asanya di udara

kini, semuanya lepas
melarikan diri
mencipta sepi
di tengah hilir mudik dandelion
yang terbang tanpa pernah meminta henti
tatkala angin membawanya sembunyi



x

Jumat, 21 Februari 2020

asal usul noda di lantai

Diposting oleh fuyuhanacherry di 03.36 0 komentar

kubiarkan eskrim dalam kerucut itu mencair
sampai lelehannya membanjiri setiap lekuk lantai
ia mengantarku kepada ombak
yang berisik, meminta hati
dan terus bersahutan
menantang langit yang sibuk bergerilya
menjelajah sudut-sudut bumi

pelan-pelan, lelehan eskrim itu lenyap
menguap, naik bersama awan
menyisakan jejak kotor
yang terinjak kaki-kaki buta
lalu terpatri abadi

dengung angin kemarau

Diposting oleh fuyuhanacherry di 03.36 0 komentar


rinduku padamu seperti angin
yang tak tahu menahu bertiup ke mana
dan untuk apa ia dihembuskan

tak peduli desas desus rengek pepohonan
ia menyapu helai-helai rasa
yang meranggas dalam kemalut hangatnya kemarau

tak peduli dengan interupsi burung-burung gereja
ia meluluhlantakkan susunan debu;
yang merebah di atas tanah;
yang semula geming


 

home sweet dream Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review