Rabu, 07 Desember 2022

langkah duapuluh satu, menuju duapuluh dua

Diposting oleh fuyuhanacherry di 07.32 0 komentar

Halo semuanya, kembali lagi bersama langkah-langkah q

Akhirnya aku bisa nulis ini lagi, walau telat banget. Harusnya kalau sesuai jadwal, aku menulis artikel langkah-langkah ini di setiap petengahan taun, kayak tahun-tahun sebelumnya. Tapi tahun ini aku nggak bisa, ternyata. Pertengahan tahun aku lagi di Tlogosari, Giritontro, Wonogiri, dan lagi sibuk-sibuknya. Hehehe.

Buat yang belum tahu, aku selalu bikin catatan di blog kaya gini setiap setahun sekali. Here we go untuk catatan tahun-tahun sebelumnya

18 menuju 19

19 menuju 20

20 menuju 21

2022 aku sangat kurang menulis. Aku kayanya lebih banyak mengamati, dan melakukan hal-hal baru.

Di tahun ini, aku menjalani KKN-PK, kemudian mengadakan pameran di TBY. Hal-hal itu tentu adalah hal rare, langka, dan kayanya gaakan kutemui lagi besok-besok. Aku merasa aku sudah memanfaatnya dengan sebaik yang aku bisa. Pengalaman baru, pelajaran baru, teman-teman baru, dan menemukan beberapa bagian puzzle diri sendiri yang sempat hilang; semuanya cukup worth it. Walau pas pelaksanaannya aku capek banget. Suka marah-marah, sedih gajelas. Tapi ternyata aku bisa ngelewatinnya. Terima kasih untuk semua orang yang terlibat dalam segala lika liku hidupku di 2022~ Semoga ke depannya kita ketemu lagi dalam suasana dan keadaan yang lebih baik dan berkembang dari sebelumnya

Terus, akhir tahun begini aku jadi banyak merenung. Soalnya aku udah mau tamat kuliah. Udah mulai skripsian. Padahal rasanya baru kemarin aku belajar ngekos dan bosen tiap kali makan ayam geprek. Ternyata udah mau selesai. Ada sedih-sedihnya, ada juga senangnya. Sedih karena era ulya bersenang-senang dan mengeksplorasi diri dengan bebas udah mau abis, senang karena aku ternyata bisa bertahan sampai titik ini. Padahal dulu kukira di umur kepala 2 aku udah tinggal nama, ahahaha

Dipikir-pikir, aku cuma pengen hidup bersama passion-passionku. Sampai aku tua nanti.

Aku masih belum tau gimana caranya bertahan dengan semua itu. Kalo diliat realistisnya ya… emang ga menguntungkan. Aku butuh uang. Sedangkan hidup dengan bahan bakar passion tuh, rasanya untung-untungan aja. Kalo sukses ya sukses banget, kalo engga ya engga banget. Dan aku seumur hidup gaperna ikut ajang judi mana pun. Jadi aku gapunya skillnya. Kalo gapunya skillnya, kemungkinan aku bakal kalah.

Main game gaccha aja aku gapernah. Padahal kadang aku suka visual-visualnya. Aku gatau cara main game. Sampe sekarang, aku cuma bisa main zuma sama feeding frenzy. Kalo di hp cuma pernah main piano tiles sama Sudoku. Kalo pun dikasih tahu cara mainin game baru, butuh waktu lebih lama buat memahami itu, belum lagi buat asah skillnya. Jadi makin luaaaamaaaa. Padahal waktu adalah uang. Harusnya aku bisa cari jalan alternatif. Tapi aku masih belum nemu juga sampai sekarang.

Hidup dengan melukis, bernyanyi, menulis, membaca, berkebun, membuat kue, hal-hal macam itu yang aku inginkan. Tapi kayanya orang-orang susah paham, kalo aku bisa bahagia dengan hal-hal itu. Mereka pikir, itu Cuma hal-hal untuk menghabiskan waktu semata; mereka selalu pakai kata ‘Cuma’, kalo ada orang yang bicara tentang kesukaan mereka.

Mungkin aja mereka nggabisa nggambar, suaranya jelek, nggabisa menulis, dan lain-lain jadi mereka merasa hal-hal semacam itu bukan gambaran ‘bahagia’ yang haqiqi; mungkin aja. Dipikir pikir, aku sendiri udah tau cara membahagiakan diri, tapi masih terombang-ambing dalam realita yang pengennya aku bahagia dengan cara muluk-muluk.

Dipikir pikir lagi, sebenarnya aku gak butuh-butuh amat pangkat dan framing bagus. Toh, aku ga terlalu suka juga dipuji berlebihan dan dianggap ‘keren’—itu semua membebani pikiranku. Aku jadi merasa terdesak buat selalu keren terus, padahal kadang aku juga pengen jadi gak keren dan biasa aja. Aku juga lebih banyak naruh kepercayaan sama passion-passionku daripada cuitan (baik pujian maupun cemoohan) orang-orang mengenai standar kebahagiaan dalam hidup. Aku juga percaya sama orang-orang yang emang udah kenal aku. Yang satu ranah dan selalu rilet dengan segala dilematika passion. Cuma, aku kurang percaya sama gimana aku bisa mempertahankan idealisme yang aku anut sekarang ini. Karena sebenarnya, bukan cuma aku yang layak bahagia, orang-orang di sekitarku juga; keluarga, kerabat, dan teman-teman.

Kalau aku mampu, aku mau saja mengikuti apa yang orang-orang terdekat kehendaki. Tapi aku gak yakin kalo aku mampu. Aku selalu mengukur kemampuan diri sebelum memutuskan untuk mengambil tanggungjawab baru. Dan aku rasa, aku saja masih butuh banyak latihan buat membahagiakan diri sendiri. Tapi kalau di film-film, sering ada kata-kata yang kurang lebih berbunyi “orang yang menyayangi kita akan bahagia jika melihat kita bahagia”. Benar nggak, ya? Aku kurang tahu, soalnya. Aku belum pernah bahagia sepenuhnya, dan melihat oranglain bahagia atas bahagiaku. Kurang yakin juga apa aku bisa kayak gitu. Tapi semoga aku bisa.

Jadi ngelantur ke mana-mana, ya. Haha.

Trus yang aku inget, resolusiku di awal tahun buat tahun ini tuh aku pengen jadi Ningning aespa. Tapi ternyata terhitung sampai tanggal 7 desember 2022 ini, aku belum ada perubahan sedikit pun yang mengarah ke ningning. Padahal aku pengen banget. Aku masih gini-gini aja. Aku gak berubah-berubah amat. Masih jadi ulya yang suka anime, ngesimp vtuber, ngikutin perkembangan pop-kultur, nyanyi-nyanyi, nggambar-nggambar, nulis-nulis, baca-baca, pokoknya masih sama. So, aku gaperlu perkenalan diri ulang di awal tahun depan. Kecuali kalo tiba-tiba aku jatuh cinta, mungkin bakal ada yang berubah, barang sedikit. Tapi jatuh cinta tuh susah ya, apa cuma perasaanku aja. Soalnya, buat jatuh cinta sama diri sendiri aja aku butuh waktu 20 tahun. Apalagi sama oranglain

Harapanku, semoga kalian semua sehat dan bisa menemukan bahagianya masing-masing. Aku juga semoga bisa begitu. Dan bonusnya, semoga kita semua bisa dapat uang banyak

Sampai jumpa tahun depan!

 

 

 

Senin, 05 Desember 2022

Di Tanah Lada: Perjuangan Anak-Anak dalam Mencari Kemerdekaan Hidup

Diposting oleh fuyuhanacherry di 16.21 0 komentar



Udah lama gak update tulisan di blogku. Karena akhir-akhir ini aku lagi kembali dengan rutinitas membacaku, jadi sekalian aja deh aku bikin review dari buku-buku yang aku baca belakangan ini (yang menarik untuk diulas)

Yang akan aku ulas di postingan ini adalah buku fiksi karya penulis Indonesia yang berjudul “Di Tanah Lada”. Intermezzo sedikit, aku udah pernah baca karya dari penulisnya, Kak Ziggy, dari zaman aku SMP! Kalo nggak salah, dia nerbitin buku di fantasteen (terbitan Mizan) pas dia masih remaja. Genrenya psikologi-thriller, judulnya Teru Teru Bozu. Aku masih ingat betul dari Teru Teru Bozzu itu aku langsung ngefans sama stilistika dan gaya penceritaan Kak Ziggy, udah ngebatin juga kalau Kak Ziggy ini bakal jadi penulis besar di masa depan. Dan ternyata prediksiku benar. Buku-buku karya Kak Ziggy sekarang banyak jadi perbincangan para pecinta buku di Indonesia. Senang juga aku melihat perkembangannya!

Nah, selain gaya penceritaannya, yang aku suka dari karya-karya Kak Ziggy adalah sense of titling (?) nya!!! Setiap bikin buku, judul-judulnya tuh lucu dan memorable banget!! Dari Jakarta Sebelum Pagi, Di Tanah Lada, Semua Ikan di Langit, sampai Kita Pergi Hari Ini dan yang paling baru adalah Tiga dalam Kayu, semuanya tuh menurutku punya estetika tersendiri. Enak buat disebut. Cover-covernya pun lucu-lucu banget, bahkan gak jarang kak Ziggy menyuguhkan ilustrasi-ilustrasi karya dia sendiri dalam buku-bukunya! What a talented gurl~

Oke kambali ke tanah lada, novel dengan genre realistic fiction ini menceritakan tentang petualangan hidup seorang anak perempuan umur 6 tahun pecandu KBBI bernama Ava. Singkat aja, Ava ini adalah korban broken home dalam keluarganya. Pada suatu hari, dia pindah tempat tinggal ke sebuah rusun yang kumuh bernama Rusun Nero. Di Rusun Nero inilah, dia bertemu dengan teman yang senasib dengannya—sama-sama koban broken home, yang bernama P. Iya, namanya cuma satu huruf. Dari nama saja kelihatan, kan, bagaimana kira-kira orangtuanya memperlakukan P? P ini umurnya 10 tahun, ngomong-ngomong.

Nah, mereka akhirnya berteman baik dan jadi sangat dekat sekali, karena merasa senasib sepenanggungan dengan kondisi keluarga mereka yang porak poranda. Satu hari, ada suatu peristiwa yang akhirnya mengharuskan mereka untuk kabur dari rusun. Mereka berdua sudah muak dengan keadaan yang mereka terima itu, ceritanya, dan bertekad untuk pergi ke rumah nenek Ava. Rumah nenek Ava terletak di lintas pulau, katanya, tempat itu biasa disebut sebagai “tanah lada” karena menjadi tempat penghasil lada yang lumayan besar. Dari situlah, novel ini mendapat judul “Di Tanah Lada”. Menurutku, ini pemilihan judul yang sangat epik.

Dari awal kita bakal disuguhi dengan berbagai konflik ‘keluarga’ baik dari keluarga Ava maupun keluarga P. Dan, you know, cerita-cerita dengan tema/topik keluarga tuh rasanya selalu sensitif buat diresapi. Baru seperempat baca aja, aku dah mau nangis rasanya. Apalagi tokoh utamanya ini anak-anak. Aku punya rasa empatik yang lebih sama anak-anak, soalnya.

Yang biasanya menjadi faktor kehebohan orang-orang yang membaca novel ini adalah endingnya. Jujur, untuk aku pribadi, aku cukup menyayangkan bagaimana cerita ini berakhir. Aku rasa, banyak hal yang masih bisa dieksplor untuk menjadi closing cerita yang lebih baik. Soalnya nanggung, gitu lho! Mereka udah mau nyampe di ujung, udah nemu secercah cahaya, malah tiba-tiba milih berenti. Greget banget rasanyaaaaa.

Tapi di bagian catatan penulis, Kak Ziggy sendiri menyatakan bahwa dalam buku Di Tanah Lada cetakan kedua ini, yang tertaut 6 tahun dari cetakan pertamanya, dia merasa ada banyak hal yang seharusnya bisa diperbaiki. Tapi kalau harus menyunting ulang semuanya, jadi kayak penulisan ulang dan itu bakal mengkhianati esensi karyanya sendiri yang ditulis pas dia masih ‘muda’. Jadi dia harap pembaca dapat memaklumi kekurangan yang ada dalam novel tersebut. Jadi sepertinya Kak Ziggy juga paham bahwa memang ada beberapa hal yang seharusnya ‘tidak seperti itu’, dan mau gimana lagi, ahahah

Selain ending dengan plottwist yang membagongkan, hal yang aku kira menjadi kekurangan dalam novel ini adalah bagaimana penulis mengembangkan karakter anak-anak. Ava, sebagai seorang anak berumur 6 tahun, menjadi sosok yang kurang realistis dengan umur tersebut. Ava terlalu pintar, walau memang memungkinkan ada anak umur segitu yang dapat menghafal banyak hal dalam ranah kebahasaan, tapi rasanya sulit dipercaya juga. Apalagi Ava dan P ini pemikirannya terlalu ndakik-ndakik, sudah memikirkan masa depan, reikarnasi, dan pemikiran-pemikiran filosofis lainnya. Walaupun memang keadaan yang mendesak mereka untuk mendewasa lebih cepat dari anak normal lainnya, rasanya masih kurang pas aja. Nggatau kenapa. Apalagi Ava dan P ini punya rentang umur berbeda 4 tahun. Tapi mereka malah kayak seumuran secara pemikiran. Jadi kayak ngga ada bedanya. Dan terlalu banyak ugh, romantisasinya? Masih sekecil itu udah banyak tau tentang cinta, sedangkan aq yang 22 tahun masih bodoh tentang cinta :”””( #halach

Tapi secara keseluruhan aku suka banget!!!!!!!! Menurutku sangat heartwarming ketika sudah bisa diresapi seluk beluk ceritanya, walau mengguncangkan juga dan gak anak-broken-home-friendly.  Aku selalu suka sama cerita-cerita yang membahas tentang anak-anak. Memang aku punya ketertarikan tersendiri dalam ranah itu, sih.

Novel Di Tanah Lada ini banyak menunjukkan permasalahan berkaitan dengan susahnya jadi orangtua. Jadi orangtua sepertinya emang lebih susah dari cari jodoh. Zaman sekarang dah ada aplikasi kencan, belum sosial media ini itu yang bisa menghubungkan orang-orang dari seluruh penjuru dunia. Tapi masalah bagaimana tata cara menjadi ayah atau ibu yang baik, nggak bisa didapat cuma dari media-media digital yang berkembang di dunia yang semakin modern semacam itu. Parenting perlu menjadi bahan pembelajaran serius, tradisional. Kalo cuma nyaritau cara ngewa ngewe doang tanpa mikirin gimana hasil dan konsekuensinya mah, buka pornhub gratis juga bisa.

Untuk rate-nya, secara keseluruhan buku ini aku kasih 8.5/10.

Buat yang suka cerita-cerita sedih tentang keluarga dan anak-anak, buku ini worth untuk masuk wishlist baca kalian. Tapi kalau kalian punya trauma tentang toxic parents, lebih baik jangan baca dulu, atau baca dengan pendampingan.

Trims dah membaca postingan ini. See you in the next post

Selasa, 08 November 2022

Superioritas Warna Kulit dalam Label Pemasaran Produk Kecantikan

Diposting oleh fuyuhanacherry di 08.18 0 komentar


Belakangan ini mulai bermunculan brand kosmetik maupun brand perawatan kulit lokal baru di Indonesia. Produk kecantikan diklaim telah menjadi kebutuhan sekunder bagi kaum wanita untuk memoles dan mempercantik penampilan mereka. Sebabnya, penampilan menjadi hal yang sangat penting bagi setiap orang, terutama wanita untuk meningkatkan rasa kepercayaan dirinya. Tapi apa kalian sadar bahwa sebagian besar dari brand-brand tersebut telah membentuk suatu stigma superioritas warna kulit di Indonesia?

Jika diamati, tidak sedikit perusahaan yang menyisipi label ‘lightening’ atau ‘whitening’ dalam nama brand mereka. Hal itu tentu saja semakin menggiring masyarakat pada persepsi bahwa memiliki kulit putih merupakan sebuah pencapaian tertinggi dalam penampilan seseorang. Produk-produk yang beredar tersebut antara lain mulai dari masker wajah, serum, face wash, body lotion, bahkan dengan munculnya produk perawatan kulit bernama ‘tone up cream’ yang berfungsi untuk menaikkan tingkat kecerahan kulit wajah. 

Tidak bisa munafik, Indonesia memang masih menganut superioritas warna kulit. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya artis berkulit putih bersinar yang sering terlihat di televisi, termasuk model-model majalah, bahkan sampai brand produk kecantikan yang selalu menonjolkan label ‘whitening’ yang bisa ditranslasikan sebagai kata ‘memutihkan’ pada produk-produknya. Hal ini tentu memunculkan berbagai kontra, terutama di kalangan beauty vlogger atau artis yang lebih berpikiran terbuka dalam mendefinisikan ‘kecantikan’, seperti Livjunkie, Shallow Stuff, Chea Nuh, Tara Basro, dan lain-lain.

Standar kecantikan pada dasarnya memang suatu hal yang akan selalu eksis dalam setiap perkembangan zaman. Standar kecantikan setiap daerah pun berbeda-beda. Misal saja, di belahan dunia barat, banyak yang mengagungkan kulit gelap dan banyak yang sengaja membakar kulitnya agar dapat memiliki warna kulit gelap dengan metode ‘tanning’. Sedangkan di asia termasuk Indonesia mengagungkan kulit putih oriental karena dianggap sebagai cerminan dari ‘kebersihan’. Padahal asia tenggara sendiri merupakan wilayah negara tropis yang sebetulnya sangat normal jika penduduknya memiliki warna kulit sawo matang, akibat paparan sinar matahari yang begitu menyengat di wilayah tersebut. Sebenarnya, apa sih yang mendasari terbentuknya standar kecantikan di suatu daerah ini? Padahal jika dilihat secara luas pada dasarnya preferensi tiap orang akan suatu kecantikan atau estetika penampilan itu berbeda-beda. Tapi kenapa bermunculan sebuah standar yang dianut oleh banyak orang? Hal tersebut tidak lepas dari sejarah perkembangan bangsa Indonesia itu sendiri.

Asal muasal standar kecantikan Indonesia berawal dari negara-negara yang telah menjajah Indonesia, antara lain Belanda dan Jepang. Negara tersebut didominasi oleh orang-orang dengan wana kulit terang atau putih. Sebagai bangsa dengan mental terjajah, tentu hal tersebut sangat mempengaruhi cara pandang masyarakat Indonesia. Mereka langsung beranggapan bahwa kecantikan yang sebenarnya tercermin dari kondisi fisik orang-orang dari kedua Negara tersebut. 

Dengan adanya mindset tersebut, mulailah bermunculan produk-produk kecantikan yang mengedepankan efek ‘memutihkan’. Produk-produk yang mulai masuk pada tahun 1970, antara lain Touro Pearl Cream pada tahun 1975, Kelly Pearl Cream pada tahun 1976, Fair lady Cosmetic pada tahun 1980 dan juga iklan sabun Lux.

Pada awal tahun 1980-an, produk kecantikan lokal membawa angin segar dengan menawarkan standar cantik khas Indonesia yang tidak harus putih. Produk tersebut antara lain Viva Cosmetics, Sari Ayu, dan Mustika Ratu. Namun seiring perkembangan jaman dengan masuknya produk kecantikan Vaseline dan Nivea, standar cantik kembali pada kulit yang putih. Bahkan produk Sari Ayu pun mengalami pergeseran penawaran, yang tadinya menawarkan cantik dengan kulit kuning langsat menjadi cantik dengan kulit putih.

Perkembangan standar kecantikan di Indonesia telah mengalami banyak lika-liku dan perubahan. Dan yang masih bertahan sampai sekarang adalah superioritas kulit putih. Tidak perlu mencari bukti terlalu jauh, kita pasti kerap kali menemui orang-orang yang selalu mengomentari fisik oranglain yang dianggap tidak sesuai dengan standar kecantikan umum dengan kata-kata dengan template semacam:

“Kamu gendutan, ya. Diet, dong!”

“Kamu iteman, ya. Perawatan, dong!”

Pernyataan semacam itu seakan-akan menyebutkan bahwa lebih berisi dan lebih gelap merupakan sebuah dosa besar dalam hidup mereka.

Perspektif semacam ini perlu kita ubah karena idealnya setiap orang berhak dan bebas memilih menjadi dirinya sendiri. Entah dengan menjadi hitam atau menjadi putih, menjadi kurus atau menjadi gemuk, bahkan berhidung mancung atau pun pesek. Semua perbedaan itu pada dasarnya tidak bisa mendefinisikan kata ‘cantik’ yang sesungguhnya. Adanya superioritas warna kulit tentu menjadi sebuah ancaman karena sedikit mengarah pada ranah rasisme dan deskriminasi. Orang-orang akan lebih menghargai orang-orang berkulit putih dan meremehkan orang-orang berkulit sawo matang. Bisa dikatakan hal ini juga memicu terbentuknya beauty privilege, bahkan body shaming.

Dengan masih beredarnya produk-produk perawatan kulit dan kosmetik yang memakai label ‘whitening’, persepsi semacam ini akan terus bertahan sebagai pola pikir beracun dalam masyarakat. Selain itu, peran media televisi dan surat kabar juga sangat besar dalam mendukung bertahannya konstruksi standar kecantikan ini. Untuk memutus superioritas warna kulit ini perlu adanya kerjasama dari berbagai pihak terkait, termasuk kita sendiri sebagai objek dan subjek pengendaliannya.


Gadis Minimarket: 'Dewasa' sebagai Polemik Idealisme Masyarakat Dewasa ini

Diposting oleh fuyuhanacherry di 07.56 0 komentar

 


Convenience Store Woman atau versi terjemahannya adalah 'Gadis Minimarket' merupakan sebuah novel karya Sayaka Murata, seorang penulis wanita dari negeri sakura. Novel ini sekilas terlihat lucu, sebab penampilannya yang mungil, tipis, dan warna kuning yang mencolok membuat novel ini layaknya irisan cheesecake yang bisa ditemui di toko-toko kue pojok kota. Ringan tapi menggigit; baik kue maupun novel ini memiliki kesamaan tersebut.

Satu kata yang paling menggambarkan buku ini adalah: aneh

Anehnya ini yang menimbulkan pertanyaan bagi yang membaca; sebenarnya aneh itu yang seperti apa sih? yang tidak berjalan wajar? Yang keluar dari batas normal? Terus, normal itu apa sih? Normal itu yang membentuk standarnya siapa? Untuk apa ada sebutan aneh dan normal?

Setidaknya itu yang aku dapat dari novel ini karena yup, novel ini menceritakan tentang kisah seorang perempuan 36 taun yang dianggap ‘aneh’ oleh orang-orang di sekitarnya. Konsep aneh ini seperti penyakit, orang2 di sekitarnya sampai mendoakan ‘kesembuhan’ atas keanehannya itu. Yang dipandang aneh dari orang2 adalah karena pola pikir perempuan tersebut yang memang tidak seperti orang normal pada umumnya (yang penuh ambisi, keinginan mencapai ini itu, mendapat pengakuan ini itu dan dapat terjun dalam tatanan sosial masyarakat dsb). Perempuan itu tidak memiliki itu semua. Di usianya yang sudah tergolong ‘dewasa’, dia masih perawan, tidak pernah memiliki hubungan dengan sesame jenis, seks, menikah, pekerjaan pun tidak tetap. Dia tinggal sendiri di sebuah apartemen kecil dan bisa dikatakan dia ini kalangan bawah. Karena apa yang diharapkan dari seorang perempuan yang tinggal sendiri dan menggantungkan hidupnya dari gaji sebagai pegawai minimarket selama 18 tahun?

Pada intinya perempuan tsb merasa bahwa bekerja sebagai pegawai minimarket adalah zona nyamannya, dia sudah terbiasa dengan ‘topeng’ yang dipakai sebagai pegawai minimarket yang cukup mengcover ‘keanehannya’ agar tidak terekspos publik


Jadi kriteria aneh perempuan tsb antara lain:

  • tidak pernah berhubungan dengan lawan jenis romantically
  • tidak memiliki pekerjaan tetap
  • tidak memiliki keinginan dan ambisi untuk mengubah semua itu


Mungkin yang paling aneh bagi orang-orang adalah yang ketiga, karena perempuan itu tidak merasa bahwa harus ada yang diubah; meski hidup sendiri dengan gaji seadanya, toh dia masih bisa bertahan hidup sampai sekarang tanpa orang lain? Toh dia tidak pernah merepotkan oranglain? Toh dia tidak merugikan oranglain secara material?

Yang jadi masalah, teman-temannya dan keluarganya lah yang merasa direpotkan karena merasa malu memiliki teman/keluarga semacam itu. Akhirnya si perempuan berusaha untuk fit dengan standar masyarakat seperti orang2 pada umumnya. Tapi pada akhirnya tetap tidak bisa, kemudian dia memilih jalannya sendiri.

Menurutku, novel ini tidak diperuntukkan untuk semua orang, karena cukup meninggalkan ‘uneasy feeling’ setelah selesai membacanya. Memang dari awal sudah dijelaskan bahwa tokoh utama dalam novel ini aneh, tapi semakin larut ke dalam ceritanya, pembaca bisa jadi akan semakin bingung dan tidak nyaman (karena novel ini menggunakan sudut pandang orang pertama pelaku utama, jadi menggunakan kata ganti ‘aku’) Pembaca dibawa ke dalam sudut pandang abnormal yang mungkin tidak semuanya bisa relate, itu yang terkadang bikin timbul perasaan ‘nggak nyaman’. Pas liat review-review dari orang lain juga banyak yang merasa begitu dan mereka jengkel haha kalo aku sendiri karena ada beberapa bagian yang cukup relate, jadi aku gak ada masalah dengan ini. atau mungkin orang-orang sudah terbiasa dan dimabuk oleh kehidupan yang dianggap ‘normal’, makanya untuk membaca atau menghadapi sesuatu yang gak biasa tapi mendominasi sesuatu jadi merasa risih hahaha

Buatku pribadi, ada sosok karakter yang mengganggu. Yaitu karakter cowo bernama shirasi, mantan partner kerja tokoh utama yang jadi sampah masyarakat. Dia udah wasweswos ngomongin partiarki dan tetek bengeknya, mengeluh kalo “laki2 tuh tuntutannya banyak!! Gak kayak cewe yang cuma disuruh kawin dan hamil!! Jadi gausa sama2in penderitaan gw sm elu!!” tapi ujung-ujunganya dia gak ngubah nasibnya juga dan tetap jadi sampah LOL gak tau diri. Untung si tokoh utama masih nerima n bantuin dia walau dianggap ‘gak normal’. Padahal laki-laki itu lebih gak normal lagi sih. Gak fit sama standar masyarakat iya, patriarkis iya, benalu juga iya. Kombo banget gak tuh

Ending dari novel ini cukup bikin………. ugh, pie yo, emang gaada konflik yang wow banget jadi penyelesainnya juga datar-datar aja. Si perempuan tetep kukuh dengan zona nyaman dan idealismenya meskipun harus rela jd miskin dan dikucilkan dari masyarakat karena tidak punya pencapaian hidup apa2 sesuai standar pada umumnya. Dan aku sama sekali tidak mempermasalahkannya. Dia udah mencoba ini itu dan keluar dari zona nyaman berkalikali tapi selalu gagal, dan menurutku wajar kalo dia berujung tetap tinggal di zona nyamannya. Toh, dari awal dia emang gapunya ambisi buat mengubah tatananan normal versinya itu. Dia mencoba berubah aja motivasinya karena gamau orang2 disekitarnya merasa terbebani akan keberadaannya (yang sbnrnya sih gak terbebani jg karna si cewe ga minta apa2 dr mrk. Paling membebani harga diri aja sbg yang kenal si cewe), bukan karena keinginannya sendiri. It’s not a bad choice, at least for me

Tapi mungkin buat orang2 ‘normal’ hal kaya gini dianggap gak normal dan justru bikin kesel wkwkwk 4.2/5 sih dari aku!! Silakan dibaca jika kalian tertarik dengan sastra feminis tapi gamau pusing dan mendamba bacaan ringan di tengah padatnya rutinitas~


Pesona Pemuda Tampan dari Studio Ghibli yang Tak Lekang Oleh Waktu

Diposting oleh fuyuhanacherry di 07.49 0 komentar

 Banyak yang mengaku jika perempuan zaman sekarang lebih suka dengan cowok bad boy, atau cowok yang susah diprediksi daripada cowok baik-baik yang lurus-lurus aja. Kira-kira apa sih penyebabnya? Sebetulnya, tayangan-tayangan dan sinema hiburan yang mereka tonton atau konsumsi bisa menjadi jawabannya, lo!

Romantisasi karakter cowok brengsek yang digandrungi wanita telah beredar luas di mana-mana, ntah itu film, novel, sinetron, drama korea, bahkan anime. Hal itu menyebabkan banyak dari mereka yang memiliki obsesi atau fantasi tersendiri mengenai pribadi seseorang yang sebenarnya buruk; bahwa mereka masih bisa mengubah dan menghapus keburukan tersebut seperti main character di tayangan-tayangan yang telah mereka tonton. Singkat kata, terlalu huznudzon dan halu. Biasanya sih slogan populernya adalah “i cAn f1X HiM” atau “cowok baik-baik itu ngebosenin….”

Oleh sebab itu, sebagai perempuan perlu memperluas referensi tontonannya agar bisa menilai baik-buruknya seseorang dengan baik. Apalagi untuk memilih pasangan, pacar, kekasih, atau suami/istri. Bahaya kan kalau-kalau terjebak dalam toxic relationship yang menguras energi lahir batin? Salah satu yang bisa menjadi referensi dalam memilih pasangan adalah karakter cowok yang ada di film-film Studio Ghibli.

Studi Ghibli adalah salah satu studio yang memproduksi film-film animasi dari Jepang. Ciri khas dari ghibli sendiri adalah ceritanya yang seringkali memadukan unsur imajinatif dan emosional. Tak sedikit dari film-film tersebut yang menggunakan tema ‘slice of life’ dengan taburan bumbu romantis tipis-tipis di dalamnya. Visual dan animasinya yang super ciamik juga sangat memanjakan mata. Tidak heran, film-film dari Studio Ghibli sangat populer di antara wibu maupun non-wibu sekalipun karena yang disajikan sangat normies-friendly.

Berikut adalah beberapa karakter cowok dari Studio Ghibli yang patut menjadi idaman dan figure ‘boyfriend goals bangetttzzz’ karena pesona dan karismanya yang nggak kaleng-kaleng

 

1.     Haku (Spirited Away, 2001)




Siapa yang belum nonton Spirited Away? Kalau ada, berarti anda termasuk golongan manusia yang merugi. Spirited Away adalah salah satu film yang paling populer dari Studio Ghibli. Bahkan menjadi satu-satunya animasi jepang yang mendapatkan penghargaan oscar, lo!

Film ini menceritakan tentang seorang gadis remaja, Chihiro, yang tersesat di sebuah tempat asing di mana makhluk supranatural beristirahat dari alam duniawi. Langsung aja daripada spoiler, di tempat tersebut Chihiro bertemu dengan laki-laki bernama Haku. Visual Haku sendiri adalah cowok tampan dengan mata teduh dan rambut yang mirip Dora, untungnya dia bukan karakter yang kepo dan banyak nanya. Repot kalo Chihiro lagi pusing-pusing tersesat malah ditanya “apakah kamu melihat bukit teka teki?”

Haku digambarkan sebagai sosok yang kalem, namun juga penuh perhatian pada Chihiro. Haku juga sangat patuh terhadap aturan, hal tersebut terbukti dengan momen saat Chihiro harus pergi meninggalkan tempat asing itu dan Haku memilih untuk tetap menetap di tempat tinggalnya. Sekilas, vibesnya mirip-mirip Neji Hyuuga dari anime Naruto. Beruntungnya, yang satu ini nggak ikutan mati konyol. 

Haku sangat boyfriend material mengingat sifatnya yang gentleman, kuat, perhatian, bijaksana, rela berkorban, bertanggungjawab, dan dapat dipercaya. Udah kayak dasadarma pramuka nggak tuh. Pasti mau dong punya pacar yang bisa seberkarisma itu. Masa mau sih bertahan sama yang boro-boro nolong pas lagi susah, ngasih perhatian aja cuma kalo inget, ups hehe.

 

2.     Seiji Amasawa (Whisper of The Heart, 1995)



Whisper of The Heart merupakan film animasi dengan genre slice of life, school life, romance yang menceritakan tentang seorang gadis remaja bernama Shizuku dengan segala lika-liku kehidupan SMP nya yang cukup ajaib dan penuh kepolosan. Walau dinamika percintaan dalam film Whisper of The Heart ini bisa dikatakan slowburn, hal tersebut tidak menghilangkan sisi romantis dari sosok Seiji Amasawa sebagai tokoh utama laki-laki nya.

Secara pribadi, Seiji adalah karakter yang paling penulis favoritkan dari semua cogan-cogan Studio Ghibli. Gimana enggak? Masalah ganteng jangan ditanya. Kalo nggak ganteng nggak akan saya tulis juga dalam daftar ini. Seiji juga sangat passionate terhadap bidang yang ditekuninya yaitu membuat biola, pintar, humoris, pekerja keras, serta setia dan sangat berdedikasi pada pasangan. Kurang apalagi coba?

Menjadikan Seiji sebagai figur pasangan ideal juga bisa menjadi motivasi untuk terus bekerja keras dan tidak menyerah pada impian kita. Karena di dalam film, Seiji sendiri telah mencontohkan betapa ia sangat serius mengejar mimpinya tanpa melupakan kecintaannya terhadap Shizuku. Jadi kalau mau bucin, jangan sampai lupa kehidupan, karena cinta juga butuh duit, bos! Nggak ada tuh yang bisa dibanggakan dengan cinta-cinta murni tanpa logika yang bikin lupa dengan impian. Yang ada malah diroasting kawan setongkrongan~

 

3.     Shun Kazama (From Up on a Poppy Hill, 2011)



Dari semua film Studio Ghibli, From Up on a Poppy Hill merupakan salah satu film dengan alur cerita yang cantik dan berkesan karena plot twist nya yang tak terduga-duga. Menceritakan tentang kisah kasih di sekolah sepasang muda mudi dari ekskul jurnalistik. Keduanya saling mencintai, namun mengalami dilema dalam melanjutkan hubungan mereka karena berbagai lika-likunya.

Shun Kazama sebagai karakter utama laki-laki dalam film ini bisa dikatakan merupakan salah satu aktivis sekolah. Ia menentang kebijakan sekolah yang berencana untuk mengganti gedung student-center mereka dengan gedung yang baru. Dari sini bisa dilihat bahwa Shun merupakan sosok yang pemberani, juga memiliki prinsip yang kuat. Di balik sifat kritisnya, dia juga sangat perhatian dan sopan terhadap Umi Matsuzaki, gadis yang ia sukai. Ia sering mengantar gadis itu pulang ke rumah atau ke pasar, bahkan dekat dengan keluarganya. Shun tidak memanfaatkan kecerdasannya itu untuk memanipulasi Umi, dan hal tersebut merupakan karakter yang patut diidamkan. Karena di era revolusi industri 4.0 seperti sekarang ini tak jarang dijumpai laki-laki dengan pendidikan dan kecerdasan yang tinggi namun menyalahgunakan kemampuannya itu untuk memanipulasi dan istilah kekiniannya meng-ghaslight pasangannya. Tidak heran jika Shun Kazama menjadi salah satu sosok yang memenuhi kriteria boyfriendable.   

 

4.     Howl (Howl’s Moving Castle, 2004)


Howl’s Moving Castle juga merupakan salah satu film animasi fantasi dari Studio Ghibli yang cukup populer. Film ini menceritakan tentang seorang perempuan pengrajin topi bernama Sophie yang bertemu dengan penyihir ganteng bernama Howl. Yang paling ikonik dari film ini adalah keberadaan kastil bergerak milik Howl yang menjadi judul dalam film ini sendiri. Karena genrenya fantasi, penggambaran dalam film ini cenderung sangat imajinatif dan penuh dengan keajaiban seperti negeri dongeng.

Laki-laki dengan rambut pirang gondrong ini udah kayak mas-mas fakultas seni rupa versi lulus tepat waktu, dari segi penampilannya. Howl memiliki karakter layaknya pangeran yang penuh dengan karisma, namun kadang suka tebar pesona sehingga tersuudzoni punya potensi menjadi f*kboy. Dia tipikal cowok yang asik untuk diajak bersenang-senang namun juga sangat professional jika harus menghadapi situasi serius. Balance sekali konsepnya. Ketampanannya yang paripurna, kekayaannya yang bergelimang, dan kepribadiannya yang nyaris tanpa celah menjadikan Howl terasa tidak nyata. Walau beliau memang karakter yang tidak nyata, sih. Tapi  tak ada yang mustahil di dunia ini katanya, asal kita berikhtiar dan tawakal. Lagipula nggak dosa juga kan, punya cita-cita dapat suami kayak Howl. Yang dosa tuh kalo ngerebut Mas Aris dari Mbak Kinan. Betul?

 

5.     Jiro Horikoshi (The Wind Rises, 2013)



Dibanding film-film dari Studio Ghibli yang lain, The Wind Rises lebih mengedepankan unsur realis di dalamnya meskipun tidak menghilangkan bumbu-bumbu fantasi layaknya film-film garapan Ghibli pada umumnya. The Wind Rises menceritakan tentang seorang pemuda bernama Jiro yang memiliki cita-cita sebagai desainer pesawat. Bisa dikatakan bahwa dia ini adalah Habibie versi Jepang. Petualangan Jiro dalam meraih mimpinya dalam film ini diiringi dengan kisah percintaannya dengan seorang gadis bernama Naoko yang merupakan salah satu korban gempa di Kanto yang ia selamatkan.

Jiro sebagai tokoh utama dalam film ini merupakan seorang laki-laki yang sangat menekuni bidang keteknikan karena impian besarnya menjadi seorang pembuat pesawat. Jadi sudah dipastikan bahwa dia tergolong dalam kategori pria jenius. Namun dengan berbagai kelebihan intelektualnya itu tak lantas membuat Jiro besar kepala. Dia tetap menjadi seorang yang ringan tangan dan suka menolong orang dengan ketulusan hatinya. Such a down to earth person sekaligus down to my heart, eaaa. Sudah begitu, Jiro bisa menjadi sangat romantis kepada Naoko dan pandai berkata manis. Sekilas terdengar cukup dongengable karena dalam realita biasanya orang akan berbuat baik kalau ada maunya saja, iya kan? Maka dari itu Jiro Horikoshi layak untuk masuk ke dalam daftar cowok idaman versi on the spo- eh, imagination.

 

Gimana, apakah husbando kamu ada dalam daftar di atas? Atau sudahkah tercerahkan dan menemukan tipe ideal baru untuk pasangan? Atau justru jadi tertarik untuk menonton film-film Ghibli? Cus langsung tonton aja di Netflix dan rasakan sensasinya berkhayal dan bergumam ‘kapan yha’ melihat so sweet nya cowok-cowok tampan titisan Studio Ghibli ini~

 

home sweet dream Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review