Belakangan ini mulai bermunculan brand kosmetik maupun brand perawatan kulit lokal baru di Indonesia. Produk kecantikan diklaim telah menjadi kebutuhan sekunder bagi kaum wanita untuk memoles dan mempercantik penampilan mereka. Sebabnya, penampilan menjadi hal yang sangat penting bagi setiap orang, terutama wanita untuk meningkatkan rasa kepercayaan dirinya. Tapi apa kalian sadar bahwa sebagian besar dari brand-brand tersebut telah membentuk suatu stigma superioritas warna kulit di Indonesia?
Jika diamati, tidak sedikit perusahaan yang menyisipi label ‘lightening’ atau ‘whitening’ dalam nama brand mereka. Hal itu tentu saja semakin menggiring masyarakat pada persepsi bahwa memiliki kulit putih merupakan sebuah pencapaian tertinggi dalam penampilan seseorang. Produk-produk yang beredar tersebut antara lain mulai dari masker wajah, serum, face wash, body lotion, bahkan dengan munculnya produk perawatan kulit bernama ‘tone up cream’ yang berfungsi untuk menaikkan tingkat kecerahan kulit wajah.
Tidak bisa munafik, Indonesia memang masih menganut superioritas warna kulit. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya artis berkulit putih bersinar yang sering terlihat di televisi, termasuk model-model majalah, bahkan sampai brand produk kecantikan yang selalu menonjolkan label ‘whitening’ yang bisa ditranslasikan sebagai kata ‘memutihkan’ pada produk-produknya. Hal ini tentu memunculkan berbagai kontra, terutama di kalangan beauty vlogger atau artis yang lebih berpikiran terbuka dalam mendefinisikan ‘kecantikan’, seperti Livjunkie, Shallow Stuff, Chea Nuh, Tara Basro, dan lain-lain.
Standar kecantikan pada dasarnya memang suatu hal yang akan selalu eksis dalam setiap perkembangan zaman. Standar kecantikan setiap daerah pun berbeda-beda. Misal saja, di belahan dunia barat, banyak yang mengagungkan kulit gelap dan banyak yang sengaja membakar kulitnya agar dapat memiliki warna kulit gelap dengan metode ‘tanning’. Sedangkan di asia termasuk Indonesia mengagungkan kulit putih oriental karena dianggap sebagai cerminan dari ‘kebersihan’. Padahal asia tenggara sendiri merupakan wilayah negara tropis yang sebetulnya sangat normal jika penduduknya memiliki warna kulit sawo matang, akibat paparan sinar matahari yang begitu menyengat di wilayah tersebut. Sebenarnya, apa sih yang mendasari terbentuknya standar kecantikan di suatu daerah ini? Padahal jika dilihat secara luas pada dasarnya preferensi tiap orang akan suatu kecantikan atau estetika penampilan itu berbeda-beda. Tapi kenapa bermunculan sebuah standar yang dianut oleh banyak orang? Hal tersebut tidak lepas dari sejarah perkembangan bangsa Indonesia itu sendiri.
Asal muasal standar kecantikan Indonesia berawal dari negara-negara yang telah menjajah Indonesia, antara lain Belanda dan Jepang. Negara tersebut didominasi oleh orang-orang dengan wana kulit terang atau putih. Sebagai bangsa dengan mental terjajah, tentu hal tersebut sangat mempengaruhi cara pandang masyarakat Indonesia. Mereka langsung beranggapan bahwa kecantikan yang sebenarnya tercermin dari kondisi fisik orang-orang dari kedua Negara tersebut.
Dengan adanya mindset tersebut, mulailah bermunculan produk-produk kecantikan yang mengedepankan efek ‘memutihkan’. Produk-produk yang mulai masuk pada tahun 1970, antara lain Touro Pearl Cream pada tahun 1975, Kelly Pearl Cream pada tahun 1976, Fair lady Cosmetic pada tahun 1980 dan juga iklan sabun Lux.
Pada awal tahun 1980-an, produk kecantikan lokal membawa angin segar dengan menawarkan standar cantik khas Indonesia yang tidak harus putih. Produk tersebut antara lain Viva Cosmetics, Sari Ayu, dan Mustika Ratu. Namun seiring perkembangan jaman dengan masuknya produk kecantikan Vaseline dan Nivea, standar cantik kembali pada kulit yang putih. Bahkan produk Sari Ayu pun mengalami pergeseran penawaran, yang tadinya menawarkan cantik dengan kulit kuning langsat menjadi cantik dengan kulit putih.
Perkembangan standar kecantikan di Indonesia telah mengalami banyak lika-liku dan perubahan. Dan yang masih bertahan sampai sekarang adalah superioritas kulit putih. Tidak perlu mencari bukti terlalu jauh, kita pasti kerap kali menemui orang-orang yang selalu mengomentari fisik oranglain yang dianggap tidak sesuai dengan standar kecantikan umum dengan kata-kata dengan template semacam:
“Kamu gendutan, ya. Diet, dong!”
“Kamu iteman, ya. Perawatan, dong!”
Pernyataan semacam itu seakan-akan menyebutkan bahwa lebih berisi dan lebih gelap merupakan sebuah dosa besar dalam hidup mereka.
Perspektif semacam ini perlu kita ubah karena idealnya setiap orang berhak dan bebas memilih menjadi dirinya sendiri. Entah dengan menjadi hitam atau menjadi putih, menjadi kurus atau menjadi gemuk, bahkan berhidung mancung atau pun pesek. Semua perbedaan itu pada dasarnya tidak bisa mendefinisikan kata ‘cantik’ yang sesungguhnya. Adanya superioritas warna kulit tentu menjadi sebuah ancaman karena sedikit mengarah pada ranah rasisme dan deskriminasi. Orang-orang akan lebih menghargai orang-orang berkulit putih dan meremehkan orang-orang berkulit sawo matang. Bisa dikatakan hal ini juga memicu terbentuknya beauty privilege, bahkan body shaming.
Dengan masih beredarnya produk-produk perawatan kulit dan kosmetik yang memakai label ‘whitening’, persepsi semacam ini akan terus bertahan sebagai pola pikir beracun dalam masyarakat. Selain itu, peran media televisi dan surat kabar juga sangat besar dalam mendukung bertahannya konstruksi standar kecantikan ini. Untuk memutus superioritas warna kulit ini perlu adanya kerjasama dari berbagai pihak terkait, termasuk kita sendiri sebagai objek dan subjek pengendaliannya.