Convenience Store Woman atau versi terjemahannya adalah 'Gadis Minimarket' merupakan sebuah novel karya Sayaka Murata, seorang penulis wanita dari negeri sakura. Novel ini sekilas terlihat lucu, sebab penampilannya yang mungil, tipis, dan warna kuning yang mencolok membuat novel ini layaknya irisan cheesecake yang bisa ditemui di toko-toko kue pojok kota. Ringan tapi menggigit; baik kue maupun novel ini memiliki kesamaan tersebut.
Satu kata yang paling menggambarkan buku ini adalah: aneh
Anehnya ini yang menimbulkan pertanyaan bagi yang membaca; sebenarnya aneh itu yang seperti apa sih? yang tidak berjalan wajar? Yang keluar dari batas normal? Terus, normal itu apa sih? Normal itu yang membentuk standarnya siapa? Untuk apa ada sebutan aneh dan normal?
Setidaknya itu yang aku dapat dari novel ini karena yup, novel ini menceritakan tentang kisah seorang perempuan 36 taun yang dianggap ‘aneh’ oleh orang-orang di sekitarnya. Konsep aneh ini seperti penyakit, orang2 di sekitarnya sampai mendoakan ‘kesembuhan’ atas keanehannya itu. Yang dipandang aneh dari orang2 adalah karena pola pikir perempuan tersebut yang memang tidak seperti orang normal pada umumnya (yang penuh ambisi, keinginan mencapai ini itu, mendapat pengakuan ini itu dan dapat terjun dalam tatanan sosial masyarakat dsb). Perempuan itu tidak memiliki itu semua. Di usianya yang sudah tergolong ‘dewasa’, dia masih perawan, tidak pernah memiliki hubungan dengan sesame jenis, seks, menikah, pekerjaan pun tidak tetap. Dia tinggal sendiri di sebuah apartemen kecil dan bisa dikatakan dia ini kalangan bawah. Karena apa yang diharapkan dari seorang perempuan yang tinggal sendiri dan menggantungkan hidupnya dari gaji sebagai pegawai minimarket selama 18 tahun?
Pada intinya perempuan tsb merasa bahwa bekerja sebagai pegawai minimarket adalah zona nyamannya, dia sudah terbiasa dengan ‘topeng’ yang dipakai sebagai pegawai minimarket yang cukup mengcover ‘keanehannya’ agar tidak terekspos publik
Jadi kriteria aneh perempuan tsb antara lain:
- tidak pernah berhubungan dengan lawan jenis romantically
- tidak memiliki pekerjaan tetap
- tidak memiliki keinginan dan ambisi untuk mengubah semua itu
Mungkin yang paling aneh bagi orang-orang adalah yang ketiga, karena perempuan itu tidak merasa bahwa harus ada yang diubah; meski hidup sendiri dengan gaji seadanya, toh dia masih bisa bertahan hidup sampai sekarang tanpa orang lain? Toh dia tidak pernah merepotkan oranglain? Toh dia tidak merugikan oranglain secara material?
Yang jadi masalah, teman-temannya dan keluarganya lah yang merasa direpotkan karena merasa malu memiliki teman/keluarga semacam itu. Akhirnya si perempuan berusaha untuk fit dengan standar masyarakat seperti orang2 pada umumnya. Tapi pada akhirnya tetap tidak bisa, kemudian dia memilih jalannya sendiri.
Menurutku, novel ini tidak diperuntukkan untuk semua orang, karena cukup meninggalkan ‘uneasy feeling’ setelah selesai membacanya. Memang dari awal sudah dijelaskan bahwa tokoh utama dalam novel ini aneh, tapi semakin larut ke dalam ceritanya, pembaca bisa jadi akan semakin bingung dan tidak nyaman (karena novel ini menggunakan sudut pandang orang pertama pelaku utama, jadi menggunakan kata ganti ‘aku’) Pembaca dibawa ke dalam sudut pandang abnormal yang mungkin tidak semuanya bisa relate, itu yang terkadang bikin timbul perasaan ‘nggak nyaman’. Pas liat review-review dari orang lain juga banyak yang merasa begitu dan mereka jengkel haha kalo aku sendiri karena ada beberapa bagian yang cukup relate, jadi aku gak ada masalah dengan ini. atau mungkin orang-orang sudah terbiasa dan dimabuk oleh kehidupan yang dianggap ‘normal’, makanya untuk membaca atau menghadapi sesuatu yang gak biasa tapi mendominasi sesuatu jadi merasa risih hahaha
Buatku pribadi, ada sosok karakter yang mengganggu. Yaitu karakter cowo bernama shirasi, mantan partner kerja tokoh utama yang jadi sampah masyarakat. Dia udah wasweswos ngomongin partiarki dan tetek bengeknya, mengeluh kalo “laki2 tuh tuntutannya banyak!! Gak kayak cewe yang cuma disuruh kawin dan hamil!! Jadi gausa sama2in penderitaan gw sm elu!!” tapi ujung-ujunganya dia gak ngubah nasibnya juga dan tetap jadi sampah LOL gak tau diri. Untung si tokoh utama masih nerima n bantuin dia walau dianggap ‘gak normal’. Padahal laki-laki itu lebih gak normal lagi sih. Gak fit sama standar masyarakat iya, patriarkis iya, benalu juga iya. Kombo banget gak tuh
Ending dari novel ini cukup bikin………. ugh, pie yo, emang gaada konflik yang wow banget jadi penyelesainnya juga datar-datar aja. Si perempuan tetep kukuh dengan zona nyaman dan idealismenya meskipun harus rela jd miskin dan dikucilkan dari masyarakat karena tidak punya pencapaian hidup apa2 sesuai standar pada umumnya. Dan aku sama sekali tidak mempermasalahkannya. Dia udah mencoba ini itu dan keluar dari zona nyaman berkalikali tapi selalu gagal, dan menurutku wajar kalo dia berujung tetap tinggal di zona nyamannya. Toh, dari awal dia emang gapunya ambisi buat mengubah tatananan normal versinya itu. Dia mencoba berubah aja motivasinya karena gamau orang2 disekitarnya merasa terbebani akan keberadaannya (yang sbnrnya sih gak terbebani jg karna si cewe ga minta apa2 dr mrk. Paling membebani harga diri aja sbg yang kenal si cewe), bukan karena keinginannya sendiri. It’s not a bad choice, at least for me
Tapi mungkin buat orang2 ‘normal’ hal kaya gini dianggap gak normal dan justru bikin kesel wkwkwk 4.2/5 sih dari aku!! Silakan dibaca jika kalian tertarik dengan sastra feminis tapi gamau pusing dan mendamba bacaan ringan di tengah padatnya rutinitas~
0 komentar:
Posting Komentar