Ibu selalu menanyakan satu hal yang khas sekali setiap kali
aku pulang ke rumah. Sampai-sampai nada suara dan intonasinya pun bisa
kuperagakan ulang jikalau ada yang memintanya.
“Mau makan apa?”
Aku baru saja menyeret tas ranselku ke dalam kamar, kemudian
kulepas jaket yang sudah melekat di badanku selama empat jam lebih—sepanjang
perjalananku dengan kereta Joglosemarkerto dari tanah rantau ke kampung
halamanku ini. Biasanya aku akan menjawabnya dengan “mau sayur asam”, namun, aku sudah paham akan reaksi selanjutnya; “nggak ada bahannya” lantas biasanya ibu menawarkan jenis sayuran lain yang tersedia di bilik kulkas—jadi kali
ini aku menjawabnya dengan “terserah, yang ada saja.”
Ibu memberi jeda sejenak sebelum akhirnya membalas
pernyataanku tadi. “Tumben nggak request sayur
asem.”
Aku terkekeh kecil, menyadari bahwa rupanya Ibu juga memprediksi jawabanku sebelum aku mengatakannya. “Biasanya kan nggak ada,
terus ujungnya seadanya.”
“Sekarang ada. Tadi pagi beli di tukang sayur depan komplek.”
“Memang sengaja atau kebetulan?” Aku memastikan, sebab tidak
biasanya ibu menunjukkan perhatiannya pada hal-hal kecil semacam ini; mengingat
makanan favorit, barang favorit, bahkan dia terkadang lupa akan hari kelahiran
anaknya sendiri. Terbiasa tumbuh dengan kondisi yang seperti itu membuatku jadi
skeptis, bahwa memang normal adanya apabila orang-orang tidak memperhatikan
atau mengingat hal-hal tentangku sedetail itu. Lagipula, kalau dipikir-pikir,
sebenarnya tidak begitu penting juga. Toh, dengan mengetahui apa yang aku
sukai, orang-orang itu tidak akan mendapat apa-apa.
Tapi kali ini lain. Ibu sepertinya mulai mengingat jenis
sayur favoritku. Suatu kemajuan kecil dari hal yang kecil pula.
“Ya … sengaja,” sekitar satu menit, dia melanjutkan
ucapannya, sembari memotong sesuatu (aku belum memastikannya, kami berbicara
jarak jauh bersamaan dengan aktivitas masing-masing). “setiap pulang kan
kamu request hal yang sama.”
Aku tertegun, rupanya benar dugaanku, beliau memang
mengingatnya. Kusindirlah sedikit, “Tumben.”
“Kalau sering disinggung ya ingat.”
“Tapi kadang ibu lupa hari ulangtahunku, padahal itu terjadi
setiap tahunnya.”
Setelah selesai meletakan barang bawaan dan membereskannya di
kamar, kusambangi Ibu yang masih sibuk di dapur. Niatnya sih, tidak untuk
membantunya. Sebab rasanya masih cukup lelah sehabis menjadi musafir antar
provinsi.
“Mungkin karena rindu.”
“Maksudnya?”
“Kamu kira, sudah berapa bulan tidak pulang ke rumah?”
Aku menyeringai, memamerkan gigi-gigiku yang tidak
putih-putih amat, sambil mengingat-ngingat--kemudian menyadari bahwa
kepulanganku kali ini terpaut hampir setengah tahun lamanya sejak terakhir kali
aku menginjakkan kaki di lantai rumah. Hal itu tidak seperti biasanya yang
hanya dua atau tiga bulan sekali.
“Memangnya, rindu bisa membuat orang menyadari hal-hal yang
biasanya luput?” Kududukkan diriku di kursi, mengarahkannya ke arah ibu yang
masih sibuk dengan urusan dapurnya, yang bukan sekadar kiasan—melainkan benar-benar 'dapur' secara harfiah.
“Mungkin.” Nadanya terdengar lirih, menandakan bahwa tersemat
keraguan yang ada di dalamnya. “Karena tidak ada informasi lain yang didapat,
jadi secara tidak sadar mengulik-ulik apa yang pernah terjadi sebelumnya,
berkaitan dengan orang itu.”
Masuk akal, pikirku. “Kalau begitu, lebih baik jika aku
merantau lebih lama, dong, biar semuanya diingat.”
“Kalau terlalu lama justru akan terlupakan. Apalagi untuk
orang tua sepertiku.”
"Serba salah, ya."
Aku yang melihat ibu sibuk mengisi panci dengan air keran,
tergugah untuk ikut turun tangan. Melihat bahan-bahan yang ada di meja,
sepertinya sudah semuanya terpotong, dan siap untuk dimasak. Tapi kemudian aku
menyadari ada sesuatu yang belum tampak di pandangan mata.
“Aku mau sayur asam yang ala ala warung dekat pasar kota itu!
Yang kuahnya merah, kayaknya mereka pakai cabai yang diblender, kan?”
“Wah, nggak dari tadi. Tambah tomat juga,
kalau begitu.”
Aku menyeringai lagi. “Kali ini aku yang siapkan. Jangan dulu
dinyalakan kompornya.”
Ibu menggantikan posisiku yang semula duduk, dan kini
berganti aku yang berurusan dengan bahan makanan. Saat suara mesin blender
mulai menyerusuk ke dalam telinga, ibu membuka pembicaraan baru.
“Kamu terlihat kurus.”
“Dari dulu juga sudah kurus, kan. Perasaan Ibu saja.”
Walau bicara begitu, aku yakin, Ibu tidak asal berkomentar.
Mungkin dia memang merasa ada sesuatu yang tidak beres dalam diriku. Sebab,
selama ini Ibu selalu peka jika ada sesuatu yang terjadi, bahkan ketika dia
tidak bertemu langsung denganku sekalipun.
Beberapa kali dia menelponku ketika aku sedang berada pada
kondisi yang kurang beruntung; terjatuh dari motor, kehilangan uang, dimarahi
atasan, dan sejenisnya. Sejak saat itu aku percaya bahwa koneksi batin antara
ibu dan anak memang seajaib itu. Soalnya, tidak masuk akal kebetulan-kebetulan
semacam itu terus terjadi jika bukan karena hubungan spiritual khusus.
"Sesuatu terjadi?"
Blender masih menyala, sampai selang beberapa menit kemudian aku
menghentikannya, sambil menjawab pertanyaan dari wanita paruh baya itu. "Mungkin, tapi
sudah aman, kok."
Hasil dari blender tadi kutuangkan ke dalam mangkok kecil
yang sudah kusediakan sebelumnya. Kemudian kunyalakan kompor yang sudah
menunggu sejak tadi. Api menyala, begitu juga dengan gejolak batinku setelah
menjawab pertanyaan ibu barusan.
Ya, memang benar, kok. Ada yang telah terjadi, tapi sudah
tidak menjadi masalah lagi. Dan kurasa Ibu tidak perlu tahu, karena anaknya ini
sudah dewasa. 24 tahun sudah bukan umur yang muda lagi, akan sangat memalukan
apabila aku menceritakan sesuatu yang sudah seharusnya bisa kuatasi sendiri.
Apalagi masalah hati, sungguh, di keluarga yang serba kaku
dan dingin ini, membicarakan perasaan sudah seperti sebuah aib yang
memalukan untuk didengar. Entah karena dianggap sebagai hal yang terlalu privasi, atau memang
dianggap tidak penting, aku pun kurang tahu. Tapi mengungkapkan emosi dan
menunjukkan kerentanan di rumah ini terasa begitu tabu bagiku.
"Baguslah."
Reaksi yang benar-benar sangat 'Ibu' sekali, pikirku. Ibu memang bukan orang yang ekspresif, tapi aku tahu, dia sebenarnya berusaha keras
untuk menunjukkan perhatian dengan caranya sendiri. Dan aku tidak merasa bahwa ini adalah hal yang buruk,
sebab aku jadi terbiasa juga ketika mendapat perlakuan sejenis dari orang lain;
menjadi lazim.
Semua bahan kumasukkan ke dalam panci sup
setelah air di dalamnya menunjukkan titik didih. Setelahnya, aku mulai mengaduk dengan sendok
sayur secara perlahan.
Sambil menunggu matang, aku membuka pintu kulkas, memeriksa apa saja yang masih tersisa di dalamnya. "Ada tempe dan ikan asin,
kugoreng saja, ya?"
Ibu mengangguk, pertanda setuju. "Tumben semangat
memasak begini. Seperti sudah siap jadi istri orang saja."
Loh loh loh, tidak biasanya ibu menyinggung hal ini?
Apa memang sudah saatnya aku memikirkan masalah jodoh? Tapi, umur 24 tahun
masih terlalu muda, bagiku. Tapi kenapa ibu tiba-tiba menyinggungnya?
Tanpa diduga, aku cukup panik mendengar pernyataan Ibu barusan,
sampai-sampai hampir lupa untuk memeriksa keadaan sayur asam yang masih
termasak dengan santai di atas kompor. Dengan segera kuicip sedikit kuah serta
potongan buah labu siam dari dalam panci, memastikan apakah sudah benar-benar matang dan
siap santap. "Sepertinya sudah matang."
Di sisi lain, Ibu sudah memotong balok tempe yang sebelumnya
kukeluarkan dari dalam kulkas. Aku mencari bumbu racik dan melarutkannya ke
dalam semangkok air, sambil menunggu Ibu selesai memotong.
“Ahh!”
Suara teriakan sontak membuatku memutar badan. Ibu terlihat
memegang salah satu jari di tangan kirinya, meratapinya dengan ekspresi kesakitan.
Jari telunjuknya berdarah, terkena pisau.
“Sebentar, kucarikan obat merah.”
Secepat kilat aku meninggalkan dapur, mencari kotak P3K yang tersimpan di
dekat garasi, dan mengambil sebotol obat merah dan kapas putih, kemudian kembali
ke dapur dengan Ibu yang masih merintih kesakitan.
“Hati-hati, lho.” Kutempelkan kapas ke bagian jari yang
terluka, membersihkannya, lalu meneteskan beberapa tetes obat merah. Kupastikan bahwa urusan luka tersebut selesai teratasi, kemudian berkata, “sudah, setelah
ini aku saja yang urus.”
Aku melanjutkan kegiatan potong memotong tempe yang telah
memakan korban itu, dan melanjutkan langkah-langkah selanjutnya, sampai ke
tahap penggorengan
Ibu masih terlihat kesakitan. Aku tidak mengajaknya bicara
dan fokus menggoreng, membelakanginya yang tengah merintih nyeri. Dalam
keheningan itu, kuingat-ingat lagi perkataan dari sosok berbalut daster batik
jingga itu.
Memasak, dan menikah? Apa korelasinya? Memangnya kesiapan Perempuan
untuk menikah dilihat dari kemampuan memasaknya? Atau bagaimana?
“Biasanya kalau kejadian begini, ada hal buruk yang akan
terjadi.” Ibu tiba-tiba membuka suara, memecah keheningan.
“Jangan begitu, dong! Berpikir positif saja, ah.”
Ibu tertawa kecil. “Becanda,” sesaat, dia menjeda ucapannya. “Anggap
saja, luka adalah portofolio. Tandanya kita pernah menghadapi atau mengusahakan
sesuatu, tapi gagal. Ya sudah, berhenti dan pulihkan dulu saja. Portofolio tidak
harus yang bagus-bagus, kan.”
Menurutku, Ibu sedang cukup aneh hari ini. Bisa-bisanya
sedang kesakitan malah mengeluarkan kata-kata bijak begitu? Sangat tidak biasa.
Tapi, perkataan tersebut memicu pikiranku untuk membuat kilas
balik tentang apa yang telah menjadi masalahku di perantauan, sebelum aku
pulang. Hal yang membuat Ibu berpikir bahwa aku ‘kurusan’ itu sebenarnya sama
saja seperti apa yang telah ibu alami; terluka. Mungkin itu juga portofolioku.
Kalau diingat, rasanya masih agak menyayangkan hal tersebut terjadi. Pengalaman
tidak menyenangkan tentu tidak akan mudah untuk dilupakan; akan meninggalkan bekas barang sedikit pun. Tapi, sejak mendengar
ibu yang berkata bahwa luka adalah portofolio, kupikir aku bisa mulai mengikuti jejaknya. Paling tidak, walau rasanya tidak enak, luka tersebut adalah tanda
bahwa aku pernah menghadapi sesuatu yang tidak mudah. Cukup sampai di situ saja
penafsirannya.
Setelah 10 menit menggoreng, aku mengangkat dan meniriskannya,
kemudian menata lauk pauk tersebut ke piring saji yang sudah disiapkan.
Rupanya, ada rasa bangga tersendiri ketika melihat semua masakan
tersaji rapi di atas meja makan. Rasa lelah setelah perjalanan jauh entah
mengapa sirna, tertutup dengan rasa bangga itu.
Aku dan Ibu mengambil piring, bergantian mengambil nasi, lauk,
serta sayur asam yang sudah kami masak bersama, sambil meredakan ‘luka’
masing-masing. Entah mengapa, makan siang kali ini terasa lebih manis dari agenda
makan biasanya; seperti sedang merayakan sesuatu yang biasanya terasa tidak
cukup layak untuk dirayakan.