Kakiku menginjak tanah dengan rerumputan lembab yang pucuknya
tak mencapai mata kakiku. Satu demi satu terus terinjak, tanpa kurasakan
perasaan bersalah yang menyelimuti pikiranku. Memang, tak biasanya aku berada
di tempat ini; lapangan desa yang berjarak sekitar limapuluh meter dari
rumahku, pada suatu sore yang sepi. Biasanya, tempat ini ramai oleh
pertandingan sepak bola anak-anak, tapi sepertinya hari di awal minggu bukan
merupakan jadwalnya.
Aku terus menggerakkan kakiku sambil menatap awan putih
berselimut semburat oranye. Ah, kalau kupikir-pikir, sudah lama sekali aku
tidak melihat pemandangan sehangat ini. Aku terus berjalan dengan pandangan
yang diarahkan kea rah langit sampai tak kuduga sebelumnya, aku tersandunng
sesuatu hingga akhirnya aku menghentikkan langkahku.
Kulihat ke bawah, ternyata batu berdiameter sekitar lima
sentimeter.
aku memungutnya, dan melemparnya kea rah sungai kecil yang
berada tak jauh dari pinggir lapangan, sehingga menimbulkan bunyi ‘plung’ dan
membentuk gelombang lingkaran di atas permukaan air yang mengalir itu.
“Wah, wah, Aurel!”
Sebuah suara mengejutkanku. Tak lama setelah itu, muncul
sosok pemuda dengan tinggi yang tak jauh berbeda denganku sudah berada di
hadapan mata.
“Ah, lama nggak
ketemu.”
Aku melemparkan senyumku semurni mungkin kepada laki-laki
itu.
“Tumben kamu keluar rumah … ada apa?”
“Ngga-”
“Ah! Pasti mencari inspirasi untuk menggambar, ya? Aku bener
‘kan?”
Aku menggeleng cepat. “Sok tahu, kamu ini.”
Laki-laki berambut agak panjang dengan kaos longgar berwarna
putih itu kemudian duduk di atas batu yang berukuran lima kali lipat dari batu
yang kulempar tadi. Ia lalu mengisyaratkan agar aku mengikutinya—duduk di atas
batu di sebelahnya.
“Sore ini kelihatannya lebih sepi dari sore kemarin, ya.”
Suaranya memecah sorak sorai keheningan yang hanya terisi
oleh suara angin yang terus meniupkan dedaunan. Lembut dan manis seperti permen
kapas, entah kenapa, suaranya tak pernah gagal membuatku terpana. Apalagi jika
dia menggunakannya untuk menyanyi.
“Bagiku tidak juga.”
“Bukan begitu.” Sosok di sebelahku menyangkal tak mengenal
jeda, “Sore sebelumnya itu, saat kita masih SD itu. Bermain tembak-tembakan di
tempat ini bersama teman-teman, sampai-sampai tak terasa sudah adzan maghrib.”
“Ah, yang itu.” Aku tertawa lirih sambil mengingat-ngingat
kejadian tersebut. Ya, memang sudah lama sekali ….
“Ngomong-ngomong, ini aneh, ‘kan. Selama ini walau kita
bertetangga, tapi kita jarang bersapaan lagi sejak lulus SD.”
“Iya, karena dunia itu berputar.”
Ucapanku tak segera dibalasnya. Aku pun menambahkan, “Kalau
bisa, aku juga ingin terus mengobrol denganmu.”
“Kalau bisa?”
Sekujur tubuhku tiba-tiba saja mendingin, suhunya turun
beberapa derajat dari angka normalnya, kukira. Aku tak menyangka kejadian saat
ini—pada detik ini, bisa terjadi padaku—maksudku, hei, orang yang sedang
berbicara denganku ini Ara, bukan? Laki-laki yang rumahnya tepat di seberang
rumahku; yang kadangkala kutemui tengah bermain sepakbola di lapangan ini
dengan anak-anak kecil; yang tidak pernah kuharapkan kepergiannya segenting apa
pun.
Laki-laki di sampingku tersenyum lebar, “Terimakasih ya,
sudah menemaniku di sini. Semoga lain kali kita bisa bertemu lagi.”
Tunggu.
Tunggu dulu.
Ini semua bohong ‘kan?
Kenapa aku sempat berbicara dengan sosok yang baru saja
dikabarkan meninggal karena bunuh diri dengan melompat dari tebing yang berada
jauh di ujung desa?
Apa yang sebenarnya terjadi?
“Ara—”
Tubuh yang tadinya teduduk santai di batu sebelah kini sudah
tak terlihat lagi. Benar-benar menghilang.
Aku merenung. Pandanganku kosong. Tubuhku terpaku oleh
kejadian—atau mungkin hanya fantasiku semata—yang barusan terjadi begitu saja.
Adzan Maghrib berkumandang. Aku segera bangkit dan melangkah
pulang, sambil terus mencoba untuk melupakan sosok yang (bisa kubilang) telah menghantuiku
itu.
Sore ini memang terlihat lebih sepi dari sore kemarin. Dan
sore yang akan dating tidak akan lebih ramai dari sore ini—karena Ara sudah
tidak akan pernah mengisi seluruh soreku lagi.