Senin, 23 Oktober 2017

soreku

Diposting oleh fuyuhanacherry di 05.36 0 komentar
Kakiku menginjak tanah dengan rerumputan lembab yang pucuknya tak mencapai mata kakiku. Satu demi satu terus terinjak, tanpa kurasakan perasaan bersalah yang menyelimuti pikiranku. Memang, tak biasanya aku berada di tempat ini; lapangan desa yang berjarak sekitar limapuluh meter dari rumahku, pada suatu sore yang sepi. Biasanya, tempat ini ramai oleh pertandingan sepak bola anak-anak, tapi sepertinya hari di awal minggu bukan merupakan jadwalnya.

Aku terus menggerakkan kakiku sambil menatap awan putih berselimut semburat oranye. Ah, kalau kupikir-pikir, sudah lama sekali aku tidak melihat pemandangan sehangat ini. Aku terus berjalan dengan pandangan yang diarahkan kea rah langit sampai tak kuduga sebelumnya, aku tersandunng sesuatu hingga akhirnya aku menghentikkan langkahku.

Kulihat ke bawah, ternyata batu berdiameter sekitar lima sentimeter.

aku memungutnya, dan melemparnya kea rah sungai kecil yang berada tak jauh dari pinggir lapangan, sehingga menimbulkan bunyi ‘plung’ dan membentuk gelombang lingkaran di atas permukaan air yang mengalir itu.

“Wah, wah, Aurel!”

Sebuah suara mengejutkanku. Tak lama setelah itu, muncul sosok pemuda dengan tinggi yang tak jauh berbeda denganku sudah berada di hadapan mata.

“Ah, lama nggak ketemu.”

Aku melemparkan senyumku semurni mungkin kepada laki-laki itu.

“Tumben kamu keluar rumah … ada apa?”

Ngga-”

“Ah! Pasti mencari inspirasi untuk menggambar, ya? Aku bener ‘kan?”

Aku menggeleng cepat. “Sok tahu, kamu ini.”

Laki-laki berambut agak panjang dengan kaos longgar berwarna putih itu kemudian duduk di atas batu yang berukuran lima kali lipat dari batu yang kulempar tadi. Ia lalu mengisyaratkan agar aku mengikutinya—duduk di atas batu di sebelahnya.

“Sore ini kelihatannya lebih sepi dari sore kemarin, ya.”

Suaranya memecah sorak sorai keheningan yang hanya terisi oleh suara angin yang terus meniupkan dedaunan. Lembut dan manis seperti permen kapas, entah kenapa, suaranya tak pernah gagal membuatku terpana. Apalagi jika dia menggunakannya untuk menyanyi.

“Bagiku tidak juga.”

“Bukan begitu.” Sosok di sebelahku menyangkal tak mengenal jeda, “Sore sebelumnya itu, saat kita masih SD itu. Bermain tembak-tembakan di tempat ini bersama teman-teman, sampai-sampai tak terasa sudah adzan maghrib.”

“Ah, yang itu.” Aku tertawa lirih sambil mengingat-ngingat kejadian tersebut. Ya, memang sudah lama sekali ….

“Ngomong-ngomong, ini aneh, ‘kan. Selama ini walau kita bertetangga, tapi kita jarang bersapaan lagi sejak lulus SD.”

“Iya, karena dunia itu berputar.”

Ucapanku tak segera dibalasnya. Aku pun menambahkan, “Kalau bisa, aku juga ingin terus mengobrol denganmu.”

“Kalau bisa?”

Sekujur tubuhku tiba-tiba saja mendingin, suhunya turun beberapa derajat dari angka normalnya, kukira. Aku tak menyangka kejadian saat ini—pada detik ini, bisa terjadi padaku—maksudku, hei, orang yang sedang berbicara denganku ini Ara, bukan? Laki-laki yang rumahnya tepat di seberang rumahku; yang kadangkala kutemui tengah bermain sepakbola di lapangan ini dengan anak-anak kecil; yang tidak pernah kuharapkan kepergiannya segenting apa pun.

Laki-laki di sampingku tersenyum lebar, “Terimakasih ya, sudah menemaniku di sini. Semoga lain kali kita bisa bertemu lagi.”

Tunggu.

Tunggu dulu.

Ini semua bohong ‘kan?

Kenapa aku sempat berbicara dengan sosok yang baru saja dikabarkan meninggal karena bunuh diri dengan melompat dari tebing yang berada jauh di ujung desa?

Apa yang sebenarnya terjadi?

“Ara—”

Tubuh yang tadinya teduduk santai di batu sebelah kini sudah tak terlihat lagi. Benar-benar menghilang.

Aku merenung. Pandanganku kosong. Tubuhku terpaku oleh kejadian—atau mungkin hanya fantasiku semata—yang barusan terjadi begitu saja.

Adzan Maghrib berkumandang. Aku segera bangkit dan melangkah pulang, sambil terus mencoba untuk melupakan sosok yang (bisa kubilang) telah menghantuiku itu.


Sore ini memang terlihat lebih sepi dari sore kemarin. Dan sore yang akan dating tidak akan lebih ramai dari sore ini—karena Ara sudah tidak akan pernah mengisi seluruh soreku lagi.

aku mengeluh; dan keadaannya tak berubah

Diposting oleh fuyuhanacherry di 05.32 0 komentar
Ada kalanya, aku menyangka bahwa laki-laki berkacamata itu sudah merasa aman dan akan selamanya bersamaku—menganggap bahwa aku adalah salah seorang yang dibutuhkannya dalam hidup, dan menjadikanku seseorang yang pantas naik ke istana kerajaannya. Aku pernah berpikir bahwa aku sangat beruntung memiliki sahabat sepertinya, namun pada saat yang sama aku merasa aneh jika kebahagiaanku saat ini hanya karena jerat tali ‘persahabatan’ di antara kami.

Pada suatu sore di hari kegiatan eskul baseball berlangsung, aku baru menyadari bahwa semua firasatku sebelumnya hanyalah hal-hal palsu belaka. Aku terlalu jauh membawa perasaanku padanya sampai-sampai tak kuasa menahan nyeri dari sebuah duri yang menusuk di suatu bagian dalam hatiku—melukai separuhnya.

Aku tahu, Kousei menyukai gadis pirang pemain biola itu. Dia memang tidak mengatakannya padaku, namun pemandangan sore ini di ruang musik sudah memperjelas semuanya. Dua orang yang saling menatap satu sama lain dengan tatapan layaknya sebuah pasangan yang tengah berbahagia, dan aku yang mengintip di balik pintu yang terbuka seperenamnya—dua suasana berbeda dalam satu tempat.

Aku tak tahan melihat pemandangan itu lama-lama. Kukurung niatku dalam-dalam untuk mengajak Kousei pulang bersama. Hei, memang tidak apa-apa jika hari ini aku tidak pulang bersamanya. Sendiri itu menyenangkan ‘kan, Tsubaki?

Separuh dari bagian diriku mencoba menghibur diriku yang lain, pura-pura tak mengetahui hancurnya emosiku kala itu. Langkah kakiku terus membawaku menyusuri kotak demi kotak ubin lantai sekolah.

Dan aku tak akan menyadari bahwa air mataku mengalir sebegitu derasnya jika Watari tidak menyapa dan menanyakan keadaanku.

“H-hei, kenapa kau menangis?”

Aku mengusap air mataku dengan telapak tangan kananku, kemudian memberanikan diri menatap ke arah mata laki-laki itu menyorot.

“Kaupikir, apa aku tidak apa-apa?”

Watari adalah salah satu orang yang sudah pasti mengetahui bahwa aku tidak bisa dibuat menangis oleh alasan-alasan yang sepele. Tapi anehnya, kali ini aku berani mengakui kelemahanku ini. Aku tidak tahu pasti, rasanya, dalam situasi yang menyedihkan seperti ini aku sudah tidak kuat lagi untuk berbohong lebih lama.

Ah, aku baru ingat. Watari juga akan sedih jika mendengar cerita tentang apa yang baru saja membuatku menangis. Jadi, rasanya sah-sah saja bukan menunjukkan kelemahanku?

Lagipula aku tidak ingin merasa begitu bodoh dengan bersedih sendirian.

“Kousei dan Kaori saling menyukai ‘kan, Watari?”

Laki-laki di hadapanku tak mengubah ekspresinya. Nampaknya, dia sudah dapat menebak apa yang baru saja terjadi.

“Aku tahu.”

“Jangan sedih seperti aku, ya.”

“Tidak akan.”

Aku menatapnya dengan tatapan kesal, “Kau berbohong.”

Watari terdiam, menunjukkan senyum kepurapuraannya dengan bangga kepadaku.

Ah, tentu saja, siapa pula yang bisa menahan kesedihan setelah patah hati?

“Aku ingin ke kedai kopi. Mau ikut?”

“Kau ini ahahaha.” Tawaku meledak dengan lirih, tak seperti biasanya yang terdengar seperti orang gila di tengah kerumunan. “Baiklah. Traktir, ya?”

Watari memasang wajah kesal. Aku menepuk pundaknya dan tertawa tanpa mengerti apa yang sebenarnya kuketawai darinya.


Setidaknya, dengan merayakan sakit hati bersama orang lain, aku akan merasa lebih terbantu untuk bangkit, bukan begitu?

Kamis, 05 Januari 2017

[drabbles] flow

Diposting oleh fuyuhanacherry di 16.35 0 komentar
*SEMpRIT pELUIT* yayyaaayyy akhirnya ini aku bisa nulis lagi huhuh ;;;;;;;;;;;;;;;;;; padahal kupikir kemampuanku buat nulis uda kosong melompong karna lama bat ngga diasah (dan malah dianggurin). 

Sekarang lagi senengnya nyanyi-nyanyian sih jadi nulis rada terbengkalai(???) cuma tadi pas denger lagu-lagunya keeno kek ada motivasi tersendiri buat nulis gitu huhuhu keeno is my favorite producer btw huhuhu lavlav <3 

Ini sub judul(???) aku ambil dari judul-judul lagunya keeno yg kudenger gitu wwww tapi bukan songfict kok soalnya ak sebenernya gatau juga arti dari lagu-lagunya keeno #GUBRAG jadi ini emang dasarnya ngarang, Cuma ngambil prompt dari judul aja uwu 

Maaf ini aku makin tua nulisnya makin kaku alay aja hiks terus ini gaaku koreksi setelah bikin jd langsung publish jd maap klo byk typo dan salah eyd #YHA. *nggelundung  *tutupmuka
.

.

.



.

.

.


# in the rain

Kau tengah memegang tangkai payung kelabumu ketika langkah kakiku tak sengaja membawaku ke dalam jarak lima meter dari tanah tempatmu berdiri. Orang-orang ramai dengan jamur yang mereka gunakan untuk melindungi seluruh bagian dari pucuk kepala mereka, melalui jalanan di sekitarmu dengan riang, meninggalkan batas antara sekolah dan lingkungan luar yang ditandai oleh gerbang baja yang tingginya sekitar dua meter. Lonceng sudah berbunyi sejak sekitar sepuluh menit yang lalu, bukan hal yang aneh ketika aku melihat banyaknya orang yang berseragam sama denganku melangkahkan kaki meninggalkan sekolah. Tidak seperti dirimu yang sedari tadi masih terlihat berdiri diam di samping gerbang yang telah terbuka. Matamu menjelajah secara cermat ke arah kerumunan orang di depanmu—nampaknya, tengah mencari sesuatu, lebih tepatnya seseorang.

Ah, mungkin kau ada janji dengan temanmu dari kelas yang berbeda untuk pergi ke suatu tempat? Atau justru, menunggu kekasihmu untuk berkencan sepulang sekolah? Otakku meraba-raba semua kemungkinan yang memiliki potensi dalam wujud nyata. Aku terlalu memikirkan hal itu sampai-sampai melupakan momen ketika langkah kakiku telah berada sejajar dengan kakimu yang menghadap horizontal. Hal tersebut sudah berlalu, beberapa detik yang lalu.

Aku sudah benar-benar berada di luar sekolah, sedangkan kau masih dengan penungguanmu di sana. Kuharap, kau cepat menemukan orang yang kau cari. Tapi ngomong-ngomong, apa yang akan kaulakukan di kala hujan seperti ini? Aku mulai menebak-nebak hal yang bukan urusanku lagi sampai hujan mulai berganti menjadi gerimis kecil dengan tempo yang meneduhkan kalbu.

.

# glow

Bukanlah kesengajaanku saat aku pergi menuju perpustakaan seorang diri dan menemukan sosokmu di lapangan futsal bersama teman-temanmu. Suara gelak tawa sesungguhnya sangat mencuri perhatianku, namun apa boleh buat, aku tak mungkin menolehkan wajahku kea rah kerumunan laki-laki kelas sebelah hanya untuk itu.

Aku sangat yakin dari tawaan yang baru saja kudengar, terdapat suaramu yang ikut menyelip di sana. Suara tawa yang sangat puas, apalagi jika saat itu aku melihat ekspresi wajahmu. Mulut yang membentuk huruf ‘D’ kapital dengan kemiringan 90°, mata yang menyipit ke atas dan membentuk seraut garis di bawah kelopak mata. Aku dapat membayangkannya.

Dan tiba-tiba saja suara seseorang menghentikan langkahku yang sudah mencapai ujung lapangan.
“Rin, mau ke mana?”

“Perpustakaan. Kenapa?”

“Boleh minta tolong untuk perpajang buku pinjamanku?”

Aku mengangguk. Orang yang menjadi lawan bicaraku menunjukkan ibu jari tangan kanannya ke padaku, “Thank you!”

Dia berlari kembali ke tempat asalnya. Dan aku baru sadar jika barusan orang itu membuatku menjadi center of interest di sana.

Dasar Barney yang menyebalkan! Apa dia melupakan karakteristikku yang sangat tidak ingin diperhatikan ini?

Ah, apa saat itu kau juga memperhatikankku? Aku anggap iya, dan aku akan menyalahkan teman masa kecilku yang payah itu atas kejadian tersebut.

(Walau sesungguhnya, bunga-bunga yang tumbuh di dalam diriku berkilauan ketika membayangkan sorot matamu membidik ke arahku)

.

# drop

Pentas seni yang diselenggarakan di lapangan tengah tumpah ruah dengan keberadaan masyarakat sekolah. Terlalu sungkan untuk ikut terjun dalam ke ramaian, aku lebih memilih untuk tetap berada di kelasku, di lantai atas. Menonton pertunjukkan seni dari atas walau tidak dapat memantaunya dengan cukup jelas karena jarak antara bangunan kelas dan panggung pentas seni agak jauh. Tanganku mencengkeram pagar besi yang terpasang di sepanjang pinggiran koridor, berdiri dengan tatapan yang tidak bersemangat—karena memang tidak terlalu tertarik dengan hal-hal yang justru menyenangkan bagi orang lain semacam ini. Mungkin karena aku terlalu bodoh dalam menutup diri.

Saat itu kupikir hanya aku seoranglah yang masih berada di koridor, namun setelah mataku menangkap bayangan jauh dari arah kanan, aku menyadarinya. Kau juga berada di sini, di koridor yang sama denganku. Satu ruangan kelas menjadi ukuran jarak di antara kita. dan lagi-lagi, kupikir hanya ada aku dank au. Ternyata masih ada satu orang lagi. berada di sampingmu. Berdiri berjajar di sana dengan pucuk kepalanya yang hanya mencapai bahumu yang kokoh. Berbincang bersamamu, tertawa sesekali, terlihat menyenangkan sekali.

Ada perasaan yang bercampur di dalam hatiku saat itu. Aku senang bisa mendengar ‘secuil’ nyaring tawamu yang melewati udara dari kejauhan, dan di sisi lain aku merasakan ada yang salah. Ada yang tak bisa kuterima.

Mungkin, aku iri dengan perempuan yang ada di dekatmu itu? Ah, entahlah. Yang jelas saat itu pula aku membayangkan bagaimana jadinya jika yang ada di sisimu itu adalah aku. Pasti akan berbeda. 

Pasti kau tak akan tertawa seperti ini. mungkin aku memang tidak dituntut untuk mengenalmu oleh takdir. Selama ini mungkin yang kurasakan hanya murni keegoisanku. Aku menertawakan perasaanku sebelumnya yang berkata ‘ada yang salah’, padahal jelas aku lah yang salah dalam kasus ini.

Aku mulai mencoba melupakan segala hal ‘tentangmu’ mulai dari detik itu; detik ketika kulihat kau mulai berjalan menjauhi tempat asalmu bersama perempuan itu, menuruni tangga berdua, dan larut dalam keramaian di bawah sana.

.

# fix

Kupikir melupakan sesuatu yang sudah mengisi pikiranku selama beberapa hari bukan merupakan hal yang sulit. Apalagi pada dasarnya aku memang belum mengenal orang yang aku pikirkan tersebut. Namun ekspektasiku melanggar batas nyata, hal tersebut jauh dari realita.

Hari-hari berikutnya, aku masih memikirkanmu, mencari keberadaanmu di setiap penjuru sudut pandangku—dan aku selalu menemukannya. Kau yang diam; kau yang tertawa; kau yang berisik; kau yang marah, kau yang tersenyum; semuanya kini sudah kukoleksi secara illegal di kepala sampai kapasitas memoriku nyaris penuh. Pada akhirnya aku memilih untuk menjalaninya seperti air yang mengalir melewati celah-celah benda tahan air.

Namun tak begitu berhasil. Semakin lama, perasaan aneh ini semakin tak terbendung.

Entah mengapa rasanya sudah tak ada yang bisa memperbaiki kerusakan ini. Dan mungkin saja memang sudah ditakdirkan begitu.  Kau datang untuk merusak pikiran normalku, membutakan mata hatiku seakan kaulah yang paling kubutuhkan—padahal pada kenyataannya tak pernah ada interaksi sedikitpun di antara kita. Apakah aku adalah korban? Bukan. Kau juga bukanlah seorang pelaku kejahatan yang secara sengaja merusak pikiran seorang gadis berumur tujuhbelas tahun.

Pada akhirnya aku hanya bisa menyerah. Dan ketika aku menyerah, dewi keajaiban menemuiku begitu tanpa kuundang. Suatu hari di penghujung tahun, kau menuju ke kelasku dan mencariku. Aku bahkan terkejut ketika mengetahui bahwa kau mengetahui namaku. Dengan gugup aku menemuimu yang tengah menunggu di luar pintu kelas, dan memikirkan apa yang akan kaukatakan dan apa akan terjadi selanjutnya.

“Tadi Barney memintaku untuk mengembalikannya padamu. Dia sedang diberi tugas guru untuk membersihkan toilet, sekarang.”

“Toilet—m-maksudku, okay, terimakasih.”

CD dengan cover salah satu idolaku sampai di tanganku dengan singkat, kemudian kau berlalu begitu saja.


Dan begitulah akhir dari segala penantianku hanya untuk sekedar melakukan obrolan singkat denganmu. Sejujurnya, ini lebih dari cukup untuk memperbaiki kekacauan dalam diriku yang tak beralasan. Dan aku tahu benar, perasaanku memang masih belum sepenuhnya terobati; justru dengan akhir yang seperti itu, menjadikan aku semakin ingin melanjutkannya lagi, dan lagi, sampai pada level yang layak untuk dikatakan ‘jatuh cinta’.
 

home sweet dream Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review