Ada kalanya, aku menyangka bahwa laki-laki berkacamata itu
sudah merasa aman dan akan selamanya bersamaku—menganggap bahwa aku adalah
salah seorang yang dibutuhkannya dalam hidup, dan menjadikanku seseorang yang
pantas naik ke istana kerajaannya. Aku pernah berpikir bahwa aku sangat
beruntung memiliki sahabat sepertinya, namun pada saat yang sama aku merasa
aneh jika kebahagiaanku saat ini hanya karena jerat tali ‘persahabatan’ di
antara kami.
Pada suatu sore di hari kegiatan eskul baseball berlangsung,
aku baru menyadari bahwa semua firasatku sebelumnya hanyalah hal-hal palsu
belaka. Aku terlalu jauh membawa perasaanku padanya sampai-sampai tak kuasa
menahan nyeri dari sebuah duri yang menusuk di suatu bagian dalam hatiku—melukai
separuhnya.
Aku tahu, Kousei menyukai gadis pirang pemain biola itu. Dia
memang tidak mengatakannya padaku, namun pemandangan sore ini di ruang musik
sudah memperjelas semuanya. Dua orang yang saling menatap satu sama lain dengan
tatapan layaknya sebuah pasangan yang tengah berbahagia, dan aku yang mengintip
di balik pintu yang terbuka seperenamnya—dua suasana berbeda dalam satu tempat.
Aku tak tahan melihat pemandangan itu lama-lama. Kukurung
niatku dalam-dalam untuk mengajak Kousei pulang bersama. Hei, memang tidak
apa-apa jika hari ini aku tidak pulang bersamanya. Sendiri itu menyenangkan
‘kan, Tsubaki?
Separuh dari bagian diriku mencoba menghibur diriku yang
lain, pura-pura tak mengetahui hancurnya emosiku kala itu. Langkah kakiku terus
membawaku menyusuri kotak demi kotak ubin lantai sekolah.
Dan aku tak akan menyadari bahwa air mataku mengalir
sebegitu derasnya jika Watari tidak menyapa dan menanyakan keadaanku.
“H-hei, kenapa kau menangis?”
Aku mengusap air mataku dengan telapak tangan kananku,
kemudian memberanikan diri menatap ke arah mata laki-laki itu menyorot.
“Kaupikir, apa aku tidak apa-apa?”
Watari adalah salah satu orang yang sudah pasti mengetahui
bahwa aku tidak bisa dibuat menangis oleh alasan-alasan yang sepele. Tapi
anehnya, kali ini aku berani mengakui kelemahanku ini. Aku tidak tahu pasti,
rasanya, dalam situasi yang menyedihkan seperti ini aku sudah tidak kuat lagi
untuk berbohong lebih lama.
Ah, aku baru ingat. Watari juga akan sedih jika mendengar
cerita tentang apa yang baru saja membuatku menangis. Jadi, rasanya sah-sah
saja bukan menunjukkan kelemahanku?
Lagipula aku tidak ingin merasa begitu bodoh dengan bersedih
sendirian.
“Kousei dan Kaori saling menyukai ‘kan, Watari?”
Laki-laki di hadapanku tak mengubah ekspresinya. Nampaknya,
dia sudah dapat menebak apa yang baru saja terjadi.
“Aku tahu.”
“Jangan sedih seperti aku, ya.”
“Tidak akan.”
Aku menatapnya dengan tatapan kesal, “Kau berbohong.”
Watari terdiam, menunjukkan senyum kepurapuraannya dengan
bangga kepadaku.
Ah, tentu saja, siapa pula yang bisa menahan kesedihan
setelah patah hati?
“Aku ingin ke kedai kopi. Mau ikut?”
“Kau ini ahahaha.” Tawaku meledak dengan lirih, tak seperti
biasanya yang terdengar seperti orang gila di tengah kerumunan. “Baiklah.
Traktir, ya?”
Watari memasang wajah kesal. Aku menepuk pundaknya dan tertawa
tanpa mengerti apa yang sebenarnya kuketawai darinya.
Setidaknya, dengan merayakan sakit hati bersama orang lain,
aku akan merasa lebih terbantu untuk bangkit, bukan begitu?
0 komentar:
Posting Komentar