Senin, 23 Oktober 2017

aku mengeluh; dan keadaannya tak berubah

Diposting oleh fuyuhanacherry di 05.32
Ada kalanya, aku menyangka bahwa laki-laki berkacamata itu sudah merasa aman dan akan selamanya bersamaku—menganggap bahwa aku adalah salah seorang yang dibutuhkannya dalam hidup, dan menjadikanku seseorang yang pantas naik ke istana kerajaannya. Aku pernah berpikir bahwa aku sangat beruntung memiliki sahabat sepertinya, namun pada saat yang sama aku merasa aneh jika kebahagiaanku saat ini hanya karena jerat tali ‘persahabatan’ di antara kami.

Pada suatu sore di hari kegiatan eskul baseball berlangsung, aku baru menyadari bahwa semua firasatku sebelumnya hanyalah hal-hal palsu belaka. Aku terlalu jauh membawa perasaanku padanya sampai-sampai tak kuasa menahan nyeri dari sebuah duri yang menusuk di suatu bagian dalam hatiku—melukai separuhnya.

Aku tahu, Kousei menyukai gadis pirang pemain biola itu. Dia memang tidak mengatakannya padaku, namun pemandangan sore ini di ruang musik sudah memperjelas semuanya. Dua orang yang saling menatap satu sama lain dengan tatapan layaknya sebuah pasangan yang tengah berbahagia, dan aku yang mengintip di balik pintu yang terbuka seperenamnya—dua suasana berbeda dalam satu tempat.

Aku tak tahan melihat pemandangan itu lama-lama. Kukurung niatku dalam-dalam untuk mengajak Kousei pulang bersama. Hei, memang tidak apa-apa jika hari ini aku tidak pulang bersamanya. Sendiri itu menyenangkan ‘kan, Tsubaki?

Separuh dari bagian diriku mencoba menghibur diriku yang lain, pura-pura tak mengetahui hancurnya emosiku kala itu. Langkah kakiku terus membawaku menyusuri kotak demi kotak ubin lantai sekolah.

Dan aku tak akan menyadari bahwa air mataku mengalir sebegitu derasnya jika Watari tidak menyapa dan menanyakan keadaanku.

“H-hei, kenapa kau menangis?”

Aku mengusap air mataku dengan telapak tangan kananku, kemudian memberanikan diri menatap ke arah mata laki-laki itu menyorot.

“Kaupikir, apa aku tidak apa-apa?”

Watari adalah salah satu orang yang sudah pasti mengetahui bahwa aku tidak bisa dibuat menangis oleh alasan-alasan yang sepele. Tapi anehnya, kali ini aku berani mengakui kelemahanku ini. Aku tidak tahu pasti, rasanya, dalam situasi yang menyedihkan seperti ini aku sudah tidak kuat lagi untuk berbohong lebih lama.

Ah, aku baru ingat. Watari juga akan sedih jika mendengar cerita tentang apa yang baru saja membuatku menangis. Jadi, rasanya sah-sah saja bukan menunjukkan kelemahanku?

Lagipula aku tidak ingin merasa begitu bodoh dengan bersedih sendirian.

“Kousei dan Kaori saling menyukai ‘kan, Watari?”

Laki-laki di hadapanku tak mengubah ekspresinya. Nampaknya, dia sudah dapat menebak apa yang baru saja terjadi.

“Aku tahu.”

“Jangan sedih seperti aku, ya.”

“Tidak akan.”

Aku menatapnya dengan tatapan kesal, “Kau berbohong.”

Watari terdiam, menunjukkan senyum kepurapuraannya dengan bangga kepadaku.

Ah, tentu saja, siapa pula yang bisa menahan kesedihan setelah patah hati?

“Aku ingin ke kedai kopi. Mau ikut?”

“Kau ini ahahaha.” Tawaku meledak dengan lirih, tak seperti biasanya yang terdengar seperti orang gila di tengah kerumunan. “Baiklah. Traktir, ya?”

Watari memasang wajah kesal. Aku menepuk pundaknya dan tertawa tanpa mengerti apa yang sebenarnya kuketawai darinya.


Setidaknya, dengan merayakan sakit hati bersama orang lain, aku akan merasa lebih terbantu untuk bangkit, bukan begitu?

0 komentar:

Posting Komentar

 

home sweet dream Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review