"lets hold hands and fly
in the air
among the clouds
just you and me" -10
.
.
.
jenuh
semua yang kulakukan selama ribuan hari ini rasanya sedikit sedikit membunuhku. kenapa, ya? padahal mereka bilang kesusahan dan halangan itu adalah hal yang wajar ditemui dalam kehidupan. namun semakin lama, yang kutemukan dalam perjalanan tanpa arah ini hanyalah keinginan besarku untuk mencuri garis start
aku ingin selesai
aku merasa sudah sangat cukup untuk mengakhiri
keadaan ekonomi yang pontang panting sejak ayahku meninggal, kinerjaku yang tidak becus dalam segala hal--karna terlalu banyak berpikir dan mengeluh, mungkin?--tumpukan tanggungjawab yang semakin membebani pundakku sampai rasanya aku ingin seseorang memutilasi tubuhku saja, semuanya terasa sangat pelik
kata mereka "tuhan tidak akan memberikan cobaan yang tidak bisa dilewati oleh hambanya". Namun hingga detik ini, aku masih tidak menemukan faktanya dalam realita. Yang kulihat selama ini, orang-orang bukan melewatinya--justru berjalan memutar, atau lari--mereka tidak benar-benar menghadapi terjalan itu
"Permisi." renunganku di sela-sela waktu kerja sebagai pelayan di salah satu kafe milik temanku dirusak oleh tepukan tangan seseorang di pundak sebelah kiri. Aku menoleh ke arah dengungan suara itu dan ... oh, rupanya aku akan mendapatkan masalah setelah ini.
"Ah, maaf, ada yang bisa saya bantu?"
"Itu, sebenarnya saya sudah memesan sih, tapi boleh tolong fotoin saya?"
Pelanggan kafe memang sangat beragam, dari anak-anak polos yang datang karena mengikuti orang-orang dewasa yang biasa mereka lihat, sampai orang-orang zaman now yang menyeruput kopi sambil menuntut permintaan-permintaan yang aneh. Sebenarnya meminta tolong untuk memfotokannya tidak termasuk dalam permintaan yang aneh sih, jika dibandingkan kejadian minggu lalu ketika ia menghadapi pelanggan yang meminta kertas dan pensil warna untuk menggambar di kafenya. Yang benar saja, dia kira tempat ini taman kanak-kanak? Sayangnya, pelaku dari keduanya adalah orang yang sama. Ya, laki-laki yang selalu datang dengan topi buket warna putih ini.
"Sudah."
"Lagi lagi!! Saya ganti pose dulu. Gimana ya...."
Aku menahan diri agar tidak menghela nafas dan memutar bola mata; tanda bahwa aku keberatan dengan permintaan orang aneh ini.
"Yak, ini yang terakhir..."
Dengan secepat kilat senyum lebar lelaki tersebut langsung sirna ketika ia mulai berakting, menyandarkan dagunya dengan tangan kiri, dengan posisi candid pada kamera.
"Sudah, ya."
"Terimakasih terimakasih!!"
"Sama-sama."
Aku langsung kembali ke kursi dudukku di dekat kasir. Setelah duduk, kuamati laki-laki tadi yang masih melihat-lihat hasil fotonya. Dia tampak tersenyum, seperti puas dengan apa yang dilihatnya. Syukurlah.
Tapi, kalau dipikir-pikir, laki-laki itu terlalu aneh. Dia terlalu tampan untuk menjadi sosok jomlo yang selalu datang ke kafe sendirian dengan kegiatan tidak jelasnya di depan ponsel dan buku-bukunya. Sepertinya dia bukan mahasiswa, dia tidak pernah membawa tas besar atau buku-buku yang biasa dibawa para mahasiswa untuk mengerjakan tugas di kafe. Sejauh ini, kira-kira sudah empat kali laki-laki itu datang, dan dia selalu sendirian di tempatnya selama lebih dari satu jam. Ah, mungkin dia tipe orang yang suka menyendiri? Mungkin dia memang butuh saat-saat 'me time'.
Aku tengok dia lagi. Dia tampak menikmati kesendiriannya. Ah, kelihatannya menyenangkan sekali bisa menikmati kebahagiaan sendiri seperti itu.
"Seo."
Aku melirik seseorang yang berdiri di sebelahku. "Ya?"
"Kau memandanginya terus. Kenapa hayo ...."
"He? Gaada apa-apa, kok. Cuma ngerasa aneh aja."
"Aneh kenapa?"
"Dia selalu sendiri. Dan setiap ke sini, permintaannya selalu aneh-aneh."
"Ya maka dari itu lebih baik kamu temani dia! Dia lumayan, loh."
"Yang benar saja, ini kan tempatku untuk bekerja. Memangnya aku ini gadis penghibur apa."
"Aish, kan siapa tau memang jodoh."
"Ih Yenaaaaa."
Dan aku tidak tau sejak kapan, pemandangan laki-laki itu sudah tidak bisa aku dapatkan dari tempatnya semula. Dia sudah pergi.
Aku jamin, sekitar hari rabu atau sabtu, dia akan datang lagi kemari.
Ah, kenapa aku seperti sangat memperhatikannya?
...
Benar, dua hari berikutnya, dia benar-benar datang, sesuai dugaanku. Namun dia datang tepat ketika aku berganti shift--jam tujuh.
Kami berpapasan di depan pintu masuk. Aku memberi salam sebentar, dia pun membalasnya dengan anggukan dan senyum mengembang.
Kami seperti dua orang yang saling mengenal, padahal nyatanya jauh dari itu. Saling mengetahui nama saja tidak.
Aku melaluinya, mengambil langkah, makin menjauh dari kafe untuk segera menemui kosku yang letaknya nyaris satu kilometer dari sana, melewati lalu lalang pinggiran jalan kota yang sudah mulai redup
hari minggu adalah hari di mana aku benar-benar lepas dari semua pekerjaan selain pekerjaan kos. biasanya aku menghabiskan hari itu dengan bermalas-malasan, tidur, makan, melihat sosial media, dan hal-hal tidak produktif lainnya. dan biasanya, di hari-hari itu juga keinginanku untuk berhenti, meluapluap
dan hari ini aku memutuskan untuk berjalan-jalan keluar sebentar, melihat sekeliling, mencari udara segar dan mencari pemandangan hijau di bukit kecil belakang kos. dulu aku pernah beberapa kali di sana bersama teman-teman untuk piknik, dan sekarang sudah bukan zamannya
Kalau dipikir-pikir, menyedihkan juga, melihat semua temanku sudah berjalan jauh di sana sedangkan aku masih tetap berdiri di sini, sendirian
Ah persetan dengan semua itu. Aku harus mencari kebahagiaanku sendiri sebelum benar-benar harus berakhir
"Eh?"
Sesampainya di puncak bukit, aku mendapati seseorang tengah tertidur di tanah, menghadap langit yang diselimuti awan putih, dengan kedua tangan di belakang kepala dan topi buket putih yang menutupi wajahnya yang terlelap. Aku tau jelas siapa dia, namun tidak dengan namanya
Dia sama sekali tidak bergerak sekalipun tadi aku mengekspresikan keterkejutanku dengan suara
Aku sempat bingung, apa aku harus kembali ke kos saja atau tetap berada di sana. Namun kubulatkan tekat untuk tetap di sana, ini suatu kesempatan juga kan untuk mengenal siapa laki-laki yang selama ini mendatangi kafe itu?
"Permisi."
"...." Sepertinya dia terbangun, dia menyingkirkan topinya dan menatapku dengan matanya yang sangat berbeda dengan biasanya kali ini; membengkak, iris coklatnya berkaca-kaca.
"A...ah..... maaf sudah mengganggu, saya nggak tau kamu di sini."
"Wah kebetulan. Tolong fotoin, ya."
Ah, tidak lagi.
Aku pun lagi-lagi harus menuruti permintaannya. Padahal aku sedang tidak bekerja di kafe!
"Terimakasih!" Ujarnya antusias setelah aku mengambil beberapa foto untuknya. "Kau tidak mau kufoto juga?"
"Ah buat apa haha lagian tidak akan bagus jika aku jadi objeknya."
Dia tak menjawab apapun setelah aku berbicara demikian, membiarkan suara angin terus berbisik di antara kami. Hei, apakah ada yang salah dari ucapanku?
Tak lama kemudian, dia mengambil lengan kiriku.
"Hei-"
"Pasti lelah, ya."
Aku terdiam, aku tidak tau mengapa dia berbicara demikian. Namun tak lama kemudian aku tersadar. Dengan cepat aku langsung menarik tanganku.
"Kenapa?"
Aku masih tak menjawab.
"Tidak apa-apa, kita sama. Mau lihat?"
Ini situasi yang konyol, aku benar-benar tidak bisa menyuarakan apapun.
"Aku tidak yakin kau berkenan mendengar ceritaku, kenapa aku ada di sini, dan kenapa mataku membengkak. Lagipula itu tidak menarik. Tapi rasanya keberadaanmu membuatku sedikit lebih tenang."
"Karena merasa ada yang senasib?"
"Bukan begitu... karna kau mau menyapaku, meski kau tidak tau namaku."
Aku benar-benar tidak mengerti dengan laki-laki ini.
"Aku juga tidak yakin kau penasaran dengan ceritaku. Tapi tidak apa-apa, kita pasti akan baik-baik saja."
Aku berbicara seakan-akan aku yakin dengan apa yang aku bicarakan. Benar-benar omong kosong.
"Tidak, tidak. Coba lihat awan itu." Ia mengarahkan telunjuknya ke atas. "Keliahatannya lembut dan nyaman sekali, tapi nyatanya, kau tak bisa berjalan atau berbaring di atasnya."
"Maksudmu?"
"Aku ingin terbang."
"Tidak nyambung."
"Nyambung! Aku ingin menerobos awan, karna aku tidak bisa berjalan di atasnya."
"Memangnya ada apa dengan awan?"
"Nggak ada apa-apa. Kamu mau terbang juga, nggak?"
"Apaan sih ...."
"Ah sebentar, aku perlu mengupload foto-foto tadi di akun instagramku."
Laki-laki itu menjelajahi saku celananya dan mengeluarkan handphone silver dari dalam sana.
"Caption nya apa, ya. Ada ide?"
"Aku buruk dalam hal semacam ini, jangan memintaku...."
"Ah seperti ini saja."
Dia mengetik sesuatu dengan cekatan. Kali ini aku melihatnya seperti sosok yang selama ini aku lihat di kursi kafe paling ujung yang biasa ia duduki. Hanya saja, saat ini aku bisa melihat potret wajahnya lebih dekat.
"Oh ya, apa id instagrammu? Biar aku tambahkan dicaption sebagai fotografer."
"Ah, tidak perlu."
"Tidak apa-apa, dengan begitu kita juga bisa saling mengenal, 'kan."
Benar juga, bahkan sampai detik ini, aku masih belum mengetahui siapa namanya.
"at seoyongie27," gumamku lirih, tak ingin terlihat antusias di depannya.
"...."
"Ada apa?"
"Aku merasa tidak asing dengan nama itu, di mana ya ...."
Yang benar saja! Bukan hanya dia yang terkejut, aku juga terbawa suasana karena...ya karena tidak mungkin dia sudah mengenalku sebelumnya! Memangnya kisah drama drama korea yang penuh ketidakrealistisan itu? (Paling tidak, tidak realistis untukku pribadi, sih)
"Sudah kupost!"
Aku langsung segera membuka instagramku yang sebenarnya tidak sering-sering amat kubuka--karna aku akhir-akhir ini lebih sering berkelana di twitter.
Reaksi pertamaku melihat notifikasi adalah : Hah?
Yoaxi, salah satu youtaite yang kuidolakan menandaiku dalam postingannya?
Orang di sebelahku ini--YANG BENAR SAJA?!?!
mari mempererat tali silaturahmi
Senin, 18 Februari 2019
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar