mari mempererat tali silaturahmi
!>Selasa, 28 Oktober 2025
jerembap
celetukan kausalitas di pojok dapur
selama ini, sebenarnya aku tengah menghadapi konflik batin terhadap sesuatu. bukan mantan, bukan pula perundung di sekolah. mungkin kalian akan menganggapku berlebihan jika mengetahuinya.
aku bermusuhan dengan sebuah
wajan.
wajan kecil, sudah ada di rumah
sejak 10 tahun lalu (bahkan lebih?). entah ibu membelinya dari mana, tapi aku
rasa wajan itu hanya membawa sial bagi hidupku saja.
aku sudah berkali-kali bilang ke
ibu bahwa aku ingin sekali wajan itu hancur, kemudian kubuang di tempat
pembuangan sampah yang paling bau sedunia. kalau perlu dilindas saja
dengan buldoser, tak perlu dikubur karena bukan merupakan benda yang mulia. biar saja luntang lantung sendiri diterpa berbagai cuaca. sebab,
aku sudah semuak itu dengan wajan yang pantatnya sudah hitam legam dan penuh karat itu.
tapi ibu melarangku. dia malah
menggaslight (bahasa anak mudanya, kalian paham kan maksudku?) bahwa
kesialan yang aku alami selama ini berkaitan dengan wajan itu adalah salahku
sendiri. aku cukup tersentak dan tidak terima begitu mendengar ucapan ibu. kok
bisa justru aku yang disalahkan?
katanya, yang punya kontrol dalam
memasak adalah aku, bukan wajannya. wajan dianggap hanya hidup terdiam,
termangu, menunggu manusia menggunakannya, tapi demi tuhan, aku yakin dia tidak
hanya diam. dia sudah salah teknik dalam mengalirkan panas dari api kompor ke bahan makanan
yang aku taruh di atasnya. dia bersalah atas semua kegagalan dalam masakanku.
buktinya, saat aku memasak dengan wajan lain, masih aman-aman saja, tuh. tidak
pernah gagal, selalu sesuai yang diharapkan.
begitu aku menggunakannya (di
saat-saat kepepet, biasanya karena wajan lain sudah terpakai atau belum
dicuci) selalu ada saja masalah pada masakanku. kerapnya sih gosong.
padahal tingkat panasnya sudah kuatur ke yang paling kecil untuk menghindari
kegosongan yang tak diharapkan. tapi tetap saja gosong lagi.
kalau kalian menyarankanku untuk: “ya sudah sih, tinggal pakai wajan yang lain. kenapa dibikin repot?”
kalian salah! bukan itu poinnya!
sudah seharusnya wajan bertugas
untuk membantu manusia, bukannya menyusahkannya, kan? kenapa harus aku yang
menyesuaikan diri pada benda itu. mereka kan diciptakan memang untuk memasak,
bukan untuk menggosongkan. ah, kalian tidak paham ya, rasanya sudah berusaha
sekeras mungkin untuk hati-hati dan telaten dalam menggunakannya, tapi tetap
saja hasilnya nihil?
“memangnya selain kamu yang pakai, masakannya gosong juga?”
nah, ini juga menjadi pertanyaanku. aku tidak begitu mengingat siapa saja yang
pernah menggunakan wajan burik itu. tapi ketika ibuku menggunakannya terakhir
kali, tidak gosong, sih.
tapi aku tidak terima kalau aku
disalahkan! itu pasti karena ibu guru fisika; dia pasti menggunakan
teknik-teknik tertentu dan memperhitungkan rumus berdasarkan ilmu fisika tentang aliran kalor yang
diketahuinya sehingga masakannya tidak gosong. tapi masak aku juga harus
belajar fisika dulu hanya untuk memasak? aku kan anak ips.
kalau dari sudut pandang
khayalanku, mungkin wajan itu punya dendam padaku, semacam masalah personal.
tapi, memangnya aku pernah melakukan apa, ya? aku tidak pernah memukul, atau
membanting, atau mengolok-oloknya? ya, sekarang sih benar kalau aku menjelek-jelekannya,
tapi sebelumnya kan tidak!
apa dia muak dengan aku yang
masak itu-itu saja? tapi kan yang memakan masakanku aku sendiri? kenapa dia
yang muak?
apa karena aku tidak pernah memberinya
hadiah atas jasanya yang telah bekerja keras? loh, dia kan benda mati, kenapa harus diberi hadiah?
atau …
dia jelmaan dari orang
yang pernah aku ghosting beberapa bulan yang lalu karena aku belum siap
menjalin hubungan yang sehat secara emosional?
oh … sepertinya aku sudah mulai gila. sebelum jadi lebih parah, lebih baik aku diam-diam ambil wajan itu dari rak peralatan dapur kemudian membuangnya sejauh mungkin.
setidaknya, setelah itu dia tidak bisa kembali ke rumah dan menyakitiku lagi.
Senin, 13 Oktober 2025
aku menyesalinya, sekaligus berterima kasih karenanya
perkara jatuh cinta, ada kalanya aku merasa rugi dan menyesalinya. aku menyesal telah jatuh cinta. rasanya telah membuang energi dan waktuku secara percuma.
seharusnya, aku bisa memakai energi dan waktu itu untuk lebih mencintai diri sendiri daripada mencintai seseorang yang tidak bisa memberikan cinta yang sepadan.
seharusnya, aku bisa memakai energi dan waktu itu untuk fokus membangun masa depanku sendiri tanpa perlu membayangkan masa depan akan dibersamai oleh sosok yang tidak pasti.
seharusnya, aku tidak perlu merasakan patah.
seharusnya aku tidak perlu menyia-nyiakan literan air mataku.
dan rentetan "seharusnya" lainnya telah terhimpun dalam satu folder dengan nama 'penyesalan.zip'.
meski begitu, di balik segala penyesalan yang telah terhimpun, ada satu hal yang rasanya tidak bisa aku dapatkan jika aku tidak pernah jatuh cinta, yaitu kesadaran bahwasannya jatuh cinta memaksaku untuk berkaca dan melihat sepenuhnya jati diriku yang selama ini tak kasat mata; ia bersembunyi ketika aku sedang tidak dalam kondisi nyaman untuk memberikan cinta kepada orang lain. ia bersembunyi ketika aku masih sibuk dengan diriku sendiri dan menjadi sosok yang tidak begitu mempertimbangkan keberadaan orang lain di sisiku.
hal yang terus bersembunyi itu adalah keadaan mentalku yang sesungguhnya; yang tidak begitu aman, tidak begitu ideal untuk jatuh cinta. sejak saat itu, aku baru menyadari bahwa selama ini aku telah hidup dalam 'survival mode'. aku baru menyadari bahwa selama ini aku belum benar-benar berani membuka hati sepenuhnya. oleh karena itu, aku sangat sangat haus akan validasi. aku mudah merasa tidak aman tiap kali ada sesuatu yang tidak biasa--ntah bagaimana instingku begitu kuat sampai hal ganjal sekerdil apapun tetap bisa kujangkau dengan firasat. aku mudah sekali merasa bahwa aku tidak begitu diinginkan. aku mudah sekali merasa terancam tiap kali ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang tidak aku ketahui, sesuatu yang tidak bisa aku kendalikan.
aku selalu ingin tahu dan diyakinkan; sebenarnya aku benar-benar layak untuk dicintai atau tidak.
rupanya, aku tersusun atas ribuan kecemasan yang bertabur ketakutan. kepercayaan adalah alat tukar dari harga diriku selama ini, sehingga ketika sekali salah menaruh kepercayaan kepada seseorang atau sesuatu, rasanya sama seperti meledakkan bom bunuh diri yang membuatku mati tidak syahid. harga diri pun hancur lebur bersamaan dengan jasadku.
pikiranku teracik dari berliter-liter keraguan dan trauma yang membeku, seperti bunga es yang dibiarkan berada di dalam freezer selama 25 tahun. semua itu membuatku sulit merasa 'penuh', dan sulit untuk dicintai dengan bekal pemeliharaan emosional yang rendah. aku sangat sadar terhadap kondisi ini, pun kadang menganggapnya sebagai sebuah penyakit.
tapi aku juga percaya bahwa cinta yang benar akan memudahkanku dalam melawan apa-apa yang sulit dalam diriku, memberikanku kesempatan untuk sembuh dan melepas beban kecemasan, menguatkanku sehingga aku mampu merenggangkan segala kemelekatan dan ketakutan akan ditinggalkan.
sehingga:
- seharusnya, cinta yang benar tidak diisi dengan kata menyerah.
- seharusnya, cinta yang benar membuatku merasa aman untuk tidak merahasiakan sisi 'rapuh'ku ini.
aku harap, cinta yang benar itu betul-betul ada, dan berkenan menjemputku dengan hati-hati; sehingga ketika ia mengetuk, aku masih mampu untuk menggulirkan gagang pintu dan menyambutnya dengan senyum sembari berucap: "selamat datang, silakan masuk dan duduk senyamanmu."
Senin, 06 Oktober 2025
langkah duapuluh empat menuju duapuluh lima
halo semuanya? gimana kabarnya? maap basa basi banget. agak lupa gimana caranya bercerita lewat postingan blog gini wkwk
ya tuhan, sebenernya pas ngetik judulnya ada perih-perihnya hatiku, ngilu, gak nyangka aku udah ada di titik ini.... menuju 25 tahun? sedih banget, berat banget rasanya buat menerima. tapi gak nyangka juga kalau aku diberi umur sampai segini
sebelum lanjut, kalian bisa cek dan ricek jurnal refleksiku dari tahun-tahun sebelumnya di sini:
ternyata bayanganku di masa lalu tentang manusia umur 25 terlalu muluk-muluk. kenapa juga dulu aku ngebayangin diriku sendiri di umur 25 tahun tuh udah settle dalam hal karir dan lainnya? naif amat wkwk padahal aslinya ya... masih gini-gini aja... bahkan aku curiga kalau aku mengalami kemunduran :( adulting is crazy
di umur 24 menuju 25 ini aku mendapatkan pengalaman bekerja yang "formal" untuk pertama kalinya. i guess it is not that bad for the first try. bidangnya masih linier dengan bidang kuliahku, yang sebenernya membosankan juga sih. tapi aku udah nyoba lamar loker-loker di luar bidangku gapernah ada yang nyantol :( yah namanya juga hidup. gajinya pas-pasan. mana merantau lagi. bener-bener mengasah skill survival. dan selama bekerja aku hampir setiap hari masak buat sarapan dan bekal ngantor! suatu kemajuan karena biasanya aku cuma masak pas lagi di rumah, bukan di perantauan. dan karena nggak ada kulkas, aku beli sayur mentahnya tiap pagi :) di depan tempat orang jual sayur komplek biasanya aku diem, merenung lama, bisa sampe setengah jam cuma buat mikirin mau beli apa dan masak apa wkwkwk soalnya aku gapernah bikin mealprep. apa yang aku masak ya berdasarkan apa yang aku beli pagi itu lol
lingkungannya ya xoxo lah, walau aku ngerasa ga punya temen yang bener-bener deket (dan emang gamau sih wkwkw aku selalu memisahkan ranah pribadi dan ranah profesional jadi gak berminat buat berteman sama orang kantor). gak yang strict banget, tapi kadang ada sikut-sikutan :) yaelah dengan gaji yang ga seberapa masih aja begitu heran wkwk
yang jadi pertanyaan, kenapa ya aku balik ke jogja lagi? wkwkwkw
yah walau akhirnya aku bisa kembali menghabiskan waktu dan membuat kenangan baru sama temen-temenku di sana, sih. aku kembali bersua dan bertemu setiap minggu dengan teman-temanku itu! aku kan libur kerja cuma minggu ya, jadi aku cuma bisa main pas hari minggu. dan sejauh ini gak pernah kosong wkwkwk tiap minggu ada aja yang ngajak main, atau aku yang ngajak mereka main. yah emang 6 hari dalam seminggu ngurus kerjaan dan kos doang rasanya suntuk sih. butuh udara segar. mana kadang aku juga masih nerima kerjaan freelance lagi. gini amat yh survive n cari duit
diingat-ingat, padahal dari sekitar 3 taun lalu aku udah bertekad kalau aku gamau balik ke jogja lagi. kalo pun ke sana buat liburan atau main aja bukan untuk hidup. eh malah balik ke sini lagi. menyebalkan.
bukan gasuka sama tempatnya, tapi aku gasuka sama beberapa kenangan yang ada di dalamnya, dan buat memperpanjang masa hidupku di sini rasanya bikin muak aja. terutama kalau berhubungan sama percintaan. benci banget rasanya
ntah kenapa aku bisa semangkel itu wkwk tapi aku beneran udah capek. kesel. marah. sedih. campur aduk. apalagi di tahun ini rasanya justru banyak pahitnya meski aku udah ga deket romantically sama siapa-siapa (dan ini adalah efek dari pengalaman dari tahun sebelumnya)
katakanlah aku lebay tapi bener-bener sudut pandangku tentang cinta udah banyak berubah sejak hari itu. aku udah paham kalau cinta gak akan jauh-jauh dari luka, tapi hal itu jadi makin menyakitkan ketika aku menyadari bahwa aku ga pernah benar-benar dicintai sesuai yang aku butuhkan. idk. apa keinginanku akan dicintai dengan aman dan tenang itu muluk-muluk, ya? soalnya sejauh ini belum pernah aku dapatkan. selalu ada rasa takut dan curiga yang menghantui. takut ditinggal, takut dikhianati, takut kalau aku bukan benar-benar orang yang dia inginkan dan bisa bikin dia paling bahagia. aku sampai ngerasa apa aku gak layak diperjuangkan dan dipilih, ya? aku ga secantik itu, ya? aku ga sepintar itu, ya? aku ga sebaik itu, ya? aku ga semanis itu, ya? aku ga sedewasa itu, ya? aku ga seberguna itu, ya? apa dia sebegitu cinta sama yang sebelumnya ya sampai aku disia-siakan? dan begitulah ujung ceritanya; aku (kembali) takut jatuh cinta lagi.
suram banget terjebak dalam kondisi itu. sesak. capek. hidup gak tenang dan selalu diliputi perasaan waswas akan dibohongi lagi. i hope that kind of love will never find me again.
terus, taun ini baru muncul keinginan buat sekolah lagi wkwkwk tapi kalo LPDP udah telat, kan. dan taun depan udah gabisa milih kampus & jurusannya sendiri :( ya tapi aku tetep punya keinginan buat sekolah lagi. karena rasanya seperti buku karya roem topatimasang; sekolah itu candu. setelah lulus dari PPG, aku sempat merasa 'lega' karena akhirnya udah nggak sekolah lagi! tapi kok setelah memasuki dunia kerja justru aku kangen kuliah ya wkwkwk kangen berdiskusi, belajar, mengkaji, menganalisis, presentasi, dan mengemukakan pendapat tentang ranah bidangku dengan orang-orang satu rumpun. terus aku pikir-pikir sekarang, memang sebenarnya passionku bukan mengajar, tapi belajar.
ternyata aku suka belajar :( soalnya setelah lepas dari pendidikan formal pun aku tetep punya gairah belajar mandiri, baca-baca jurnal pas gabut, atau ngerjain soal-soal yang gak dinilai sama siapapun. mungkin, bersekolah memang sudah menjadi candu buatku.
dan sejujurnya tahun ini aku ngerasa banyak gagalnya hehe. bukan tahun terbaikku dalam mencintai diri sendiri. aku nyaris jatuh dalam lubang yang sama kayak pas lagi ada di titik terendahku. aku nyaris kembali membenci diri sendiri. apalagi didukung dengan keadaanku di tahun ini yang menurutku cukup kacau; baik dalam aspek karir, romansa, pertemanan, keluarga, dan lainnya. berantakan. tidak sesuai ekspektasi. rasanya tidak ada motivasi dan alasan untuk aku tetap mencintai diri sendiri seperti sedia kala. aku mempertanyakan kapasitasku untuk bertahan hidup lebih lanjut; kira-kira aku masih layak, nggak, ya? dan untuk apa? gimana caranya? sekarang harus ngapain?
mungkin ini yang orang-orang sebut sebagai quarter life crisis, ya? tapi sejujurnya aku sudah pernah kepikiran tentang ini dari lama. mungkin dari awal-awal menginjak usia kepala dua. tapi rasanya semua itu terulang lagi seperti reaksi alergi yang kambuh setelah dipicu sesuatu. dan aku masih tidak punya solusinya. seingatku, dulu aku juga tidak menemukan solusi apa-apa. aku hanya melanjutkan hidup dengan beban pikiran dan ketakutan-ketakutan yang lambat laun tertutup kehangatan dari kehadiran orang-orang di sekitarku.
ah, mungkin itu, ya? apa aku sebenarnya sudah berada di titik membutuhkan pasangan?
di umur segini sepertinya memang sudah tren orang-orang seumuranku menikah dan beranak pinak. tapi sejujurnya, aku saja tidak yakin bahwa aku benar-benar bisa menikah, atau ada seseorang yang akan menikahiku dan yakin untuk hidup menua bersamaku. dan menurutku tidak apa-apa jika aku harus hidup sendirian sampai akhir hayat.
tapi kemudian aku teringat cerita dari salah satu temanku ketika aku berkunjung ke rumahnya di magelang beberapa pekan lalu. dia punya tante (adik dari ibunya) yang masih melajang sampai umur 40-an. usut punya usut, dulu tantenya itu punya karir yang cemerlang, namun lama kelamaan bangkrut, dan tidak punya siapa-siapa selain kakaknya yang masih mau menampung kehadirannya di rumahnya.
tapi dia jadi parasit di rumah temanku itu. tidak berkontribusi apa-apa dan merepotkan. aku takut kalau aku hidup sendiri, aku akan berakhir menjadi orang yang merepotkan seperti itu.
paling tidak, kalau menikah mungkin akan menjadi sesuatu yang transaksional; aku tetap akan merepotkan oranglain (suamiku), tapi dia juga pasti akan merepotkanku, bukan? jadi impas. apalagi kalau atas dasar cinta pasti situasi 'merepotkan dan direpotkan' tidak akan terasa benar-benar semerepotkan itu.
ngomong-ngomong tentang menikah, aku sebal dengan orang-orang yang suka bercanda tentang itu padaku. menurutku pernikahan merupakan hal yang sakral dan bukan sesuatu yang patut dibercandai. walau aku tau mereka hanya iseng mengatakan hal itu (oke, spesifiknya, bilang akan menikahiku dan sejenisnya), aku tetap sebal karena rasanya orang-orang seakan meremehkan posisiku. kalau pun dianggap bercanda, menurutku tidak lucu. apalagi kalo orang itu sudah punya pacar. belum aja w cepuin ke pacar u.
kenapa ya aku sering didekati oleh orang-orang yang sudah punya pasangan? heran. aku tahu mereka cuma bosan dengan pasangan mereka dan melihat aku sebagai sesuatu yang menarik karena tidak pernah mereka temui sebelumnya (atau berkebalikan dengan pasangannya yang sekarang). tidak pernah pula kuanggap serius, tapi lama-lama risih juga sekaligus sedih. kayak, memangnya aku se-PHO-able itu kah? hahaha aku kan juga perempuan, pengen ngerasain diperjuangkan dan diyakinkan sebagai satu-satunya. bukan opsi yang sembarang orang temui saat mereka lengah.
tapi yasudahlah. mungkin belum waktunya aja :) aku hanya perlu menjaga diri dan tidak asal menerima orang yang mengetuk pintu saja, kan? salah-salah menerima, nanti berantakan lagi. repot beresinnya, hehe. risiko dadi wong tulus ^_^
terus apalagi ya heum. mungkin tentang kelanjutan karirku....
aku benar-benar akan meninggalkan yogyakarta haha karena rupanya walau tertolak P3K penuh waktu, aku diusulkan untuk mengisi formasi P3K paruh waktu. walau sebenernya dilematis banget. paruh waktu itu sama aja part time alias gak kerja penuh, gaji juga gak penuh. padahal P3K penuh waktu aja gajinya cuma berapa ancrit, apalagi paruh waktu. masih mending kalau penempatannya di domisili sendiri, ini kagak :) walau masih satu provinsi tapi jauh juga, sekitar 7 jam perjalanan jika ditempuh dengan mobil. tetap saja, merantau! dan gajinya nggak worth it :) tapi ortuku menyuruhku untuk tetap ambil saja, karena kemungkinan tahun depannya akan diangkat penuh waktu. aku sempat mau menolak, tapi aku trauma salah langkah lagi (gara-gara DO dari 151yk yang kemudian aku disalah-salahkan sekeluarga) jadi aku gak punya cukup keberanian buat menolak. toh, masih gak tau juga arah hidupku ini mau ke mana. aku merelakan diri untuk disetir asalkan itu bisa buat orangtuaku lega dan senang :)
dan yah siapapun yang membaca ini, aku gak akan lama lagi akan meninggalkan jogja, dan kemungkinan udah gaakan balik lagi. persiapkan diri kalian, haha
anyway aku senang liat perkembangan teman-temanku, rata-rata dari mereka belum menikah dan fokus karir. im so proud! bener-bener belum ada teman sirkel terdekatku yang udah nikah. makanya aku ngerasa santai-santai aja wkwkw justru aku lebih seneng liat mereka tumbuh dan berkembang mengejar mimpi mereka, berkutat dengan upaya-upaya mereka menaikkan kualitas hidup, dan lain-lain. kalian semua keren! semoga aku bisa keren kayak gitu juga
and despite all of that yang berat-berat, tahun ini akhirnya aku menemukan band favorit baru! yaitu eleventwelfth :3 hehe. genrenya mathrock, midwest emo, kecintaannya wong kalahan. aku gak sengaja nemuin lagu mereka gara-gara mutual X ku ada yang ngeritwit dan bahas tentang band itu. ternyata band lokal, tapi ikut label jepang :o salah satu membernya ada keturunan jepang soalnya. pantes aku cukup mudah nyantol sama musik-musik mereka, mungkin progressi chord dan dinamikanya mengingatkanku sama musik-musik mathrock jepang hahaha. nah, dari eleventwelfth inilah akhirnya aku menjelajahi ranah permathrockan indo lainnya. ternyata cukup banyak juga band-band lokal underground(?) yang mengusung genre tersebut. keren-keren lagi. selain 11/12 aku juga suka murphy radio, beijing connection, liburan di rumah, eastcape, dan colorcode. tapi aku tetep paling suka dan sreg sama 11/12 huhu. terus btw, aku beberapa kali ngetwit tentang 11/12 dan twitku dilike sama akun official mereka T____T norak bet gweh tapi seneng banget. semoga someday bisa kesampean nonton mereka perform secara live!
terussss aku masih suka jkt48 :3 akhirnya setlist ori menjadi kenyataan gusy. DAN LAGU-LAGU ORI BARU MEREKA BAGUS BAGUS BANGET. AKU PALING SUKA SAMA DREAM karna yang buat adalah musisi indo favoritku juga yaitu ISYANA SARASWATI. LOVE IT SO MUCH kayanya kehokianku tahun ini udah abis buat hal ini deh!!!
oiya, tahun ini aku juga menemukan anime keren sedunia yang masuk ke daftar top 3 anime favoritku menggeser ranking sebelumnya. yaitu orb!!!! GILAK KEREN BANGET KALIAN HARUS NONTON! RUGI BANGET KALO SEUMUR HIDUP KALIAN GAK PERNAH NONTON ANIME JENIUS INI. POKOKNYA aku sempat jadi buzzer orb di sosmed dan menargetkan minimal 20 orang untuk ikut terhasut buat nonton orb juga heheheheheheheheh ikz
okay lastly, harapanku untuk langkah-langkah ke depannya:
- aku ingin dilancarkan rezekinya, bisa membuat orangtua bangga
- aku ingin lanjut sekolah lagi dan menimba ilmu lebih banyak lagi
- aku ingin diberikan lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan diri lebih jauh lagi
- aku ingin diberikan kelapangan hati untuk memaafkan semua hal yang sudah membuatku patah dan sakit hati
- aku ingin diberikan keberanian untuk jatuh cinta lagi
- aku ingin orang-orang di sekitarku bahagia dan mendapatkan apa yang pantas mereka dapatkan
- aku ingin aku juga bahagia, dengan cara sesederhana apapun, dengan siapapun, di manapun, dan ingin kebahagiaanku tidak menyakiti orang lain
okay, cukup sekian. entah aku lebih bijak atau lebih kekanak-kanakan dari tahun lalu, aku pun gatau haha tapi itulah!
terima kasih sudah membaca :D
Kamis, 03 Juli 2025
you'll find lovers like you and me
for some reason i remember what
one of my friends once said when we are talking about indonesian music
nowadays: reality club is basically just a normies-core band. yeah sure, their
songs are basically just a bunch of love songs that only gen z people can
understand (maybe?). even me, as a weeb with 0 relationship experience, can
relate to their songs and honestly it makes me feel like ugh how can i possibly
feel that too lol
their latest song titled
"you'll find lovers like you and me" gave me goosebumps. the song
stabbed my heart the first time i heard it, and perhaps brought me to a very personal experience. the song is about the realization that we, as humans with so many
complexities, have no control over the future. even if we love hard, try our best to love to the fullest, it can't
determine how it will work out because in the end; love alone is not enough.
i guess as a 'newbie' (i consider myself a newbie because i have 0 'real' experiences), i just realized it recently. and it's quite nerve-wracking. the fact is: just because i love someone, doesn't mean i can always be with them all the time, doesn't mean we really need each other in the long run. and that's reasonable. i have a lot of things to do. i have my own feelings and principles. i have trauma. i have boundaries. i have all these things that i just realized, can bother me in loving someone properly
maybe i should believe mr. fahrudin faiz, who said that loving someone is setting them free and letting them go with their choice of happiness. maybe their happiness is not me. maybe i just make them worry and uncomfortable. and all those possibilities just make me sad, and somehow tired: from the deepest of my heart, of course i want to be by their side forever. but if i do, i only hurt them, or else, i will hurt myself. so, i think i agree with what is told in this song; you will (or should) find lovers like you and me, or even better :)
in the end i chose to set them
free, and watch them from afar. maybe my love language is not 'staying', maybe
my love language is praying for their happiness in silence. however, loving
someone genuinely is not about me as the subject (that's such a selfish
behavior), but rather about how to support the happiness of the person i love,
right?
but on the other hand, i think we should celebrate it too while it still enjoyable. after all, love is rare, love is luck, and we don't always have the chance to feel it. this reminds me of the song "tunjukkan cintamu" by nosstress:
"karena semua yang kaucinta akan pergi
maka tunjukkan cintamu sebelum terlambat."
Senin, 26 Mei 2025
break up
Sabtu, 17 Mei 2025
rasa-rasanya
jujur aku capek
aku bingung
aku ngerasa gak berdaya
aku ngerasa gagal
aku ngerasa salah
aku ngerasa gak berguna
aku ngerasa bodoh
aku ngerasa ceroboh
aku ngerasa buntu
aku ngerasa ruyam
aku ngerasa gak pantas
aku ngerasa sulit
aku ngerasa berat
aku ngerasa mundur
aku ngerasa stuk
aku ngerasa sakit
Kamis, 15 Mei 2025
titik nol
kembali menyusuri jalan
yang sudah pernah terlewat
di belakang
bukan mundur
tetap maju, tapi balik kanan
dan di situ aku ambil
rasa-rasa dan pemikiran
yang sempat tertinggal
dengan hati-hati, kumasukkan ke keranjang
sambil menata dengan rapi dan bahagia
kembali ke titik nol
memperlambat kemajuan
tetapi juga
memperbaiki kerusakan
Rabu, 14 Mei 2025
dari aku untuk aku
just another break up with life
Selasa, 13 Mei 2025
tempe goreng
Sabtu, 10 Mei 2025
check list refleksi dari chatgpt
Kerangka Refleksi Standar Hubungan Sehat (untuk diri sendiri)
__________________________________________________________
1. Nilai Inti yang Paling Aku Junjung (Non-Negotiables)
Hal-hal yang tidak bisa ditawar dalam hubungan.
📌 Aku gak bisa menjalani hubungan jika...
- Orang tersebut belum selesai sama dirinya sendiri
- Orang tersebut belum selesai sama masa lalunya
- Orang tersebut tidak menghargai batasan-batasan yang aku miliki
__________________________________________________________
Sering kali ini adalah bentuk effort yang mungkin sederhana tapi bermakna buatmu.
📌 Aku merasa paling dihargai ketika pasangan...
- Mengingat hal-hal kecil tentangku dan berusaha mengenal hal-hal yang aku sukai
- Menanyakan bagaimana perasaanku sebelum memutuskan melakukan sesuatu
- Memberi aku ruang untuk berpendapat/memberikan masukan
__________________________________________________________
Hal-hal kecil atau besar yang pernah bikin kamu terluka, gak nyaman, atau merasa diabaikan.
📌 Pengalaman buruk yang tidak ingin aku ulangi adalah...
- Dijadikan opsi, cadangan, tempat singgah, tidak diprioritaskan, you name it
- Tidak didukung/dikecilkan keinginan dan mimpi-mimpinya
- Disepelekan perasaannya, tidak dilindungi secara emosional ketika ada yang mengusik
__________________________________________________________
Kamu low maintenance, tapi bukan berarti gak ingin diperjuangkan. Coba definisikan versi effort-mu sendiri.
📌 Effort dari pasangan yang membuatku merasa aman bukan yang besar-besar, tapi...
- Didengarkan dengan baik saat berkeluh kesah atau menyatakan ketidaknyamanan (tidak dibalas defensif, atau membanding-bandingkan)
- Tetap ditemani saat suka maupun duka, saat di titik terendah maupun tertinggi
- Diajak masuk ke dunianya, tidak disembunyikan
__________________________________________________________
Ini bisa jadi hal kecil yang bermakna buatmu. Standar spiritual, emosional, bahkan eksistensial.
📌 Diam-diam, aku ingin hubungan yang...
- Aku ingin cinta yang tenang, tidak banyak drama yang tak perlu, penuh refleksi dan rasa hormat
- Aku ingin cinta yang tetap menjaga identitas diri masing-masing, tidak saling mengubah satu sama lain
- Aku ingin merasa berharga dan dicintai, tanpa perlu diumbar ke seluruh dunia
__________________________________________________________
6. In conclusion, sifat apa yang kamu butuhkan dari pasanganmu nanti
Dari pengalamanmu selama ini, pasti ada kesimpulan yang didapat mengenai kriteria sifat yang harus dimiliki oleh pasanganmu untuk menghindari atau meminimalisir konflik.
📌Aku ingin punya pasangan yang....
- jujur, terbuka, tidak menutup-nutupi apapun.
- tegas, bertanggungjawab, bisa mengambil keputusan dan menjadi pemimpin.
- pantang menyerah, tidak mudah putus asa ketika menemui jalan buntu.
Senin, 14 April 2025
jatuh cinta cuma akal-akalan hormon
"jatuh cinta cuma akal-akalan hormon"
Saya meyakini pernyataan tersebut sejak dipatahkan hatinya oleh seseorang — yang kalau saya pikir sekarang sih, sebenarnya belum layak-layak amat untuk hidup dan bersanding di bawah atap yang sama dengan saya — sebab, belum cukup teruji ini-itu. Padahal, rasa-rasanya, di masa itu justru saya yang merasa tidak layak bersanding dengan beliau. Hanya saja saya betah denial dan selalu melihat orang itu dalam kacamata yang berbeda. Betul, beginilah salah satu contoh pembodohan dan bukti bahwa cinta cuma akal-akalan hormon.
Kejadian
tersebut bukan terjadi saat saya belia atau abg labil, saya bisa mengklaim
bahwa saya sudah cukup dewasa saat itu secara akal sehat dan tindakan. Jadi
tidak ada alasan untuk melempar kesalahan pada kenaifan masa muda saya. Saya
juga sudah banyak mewanti-wanti diri saya sendiri untuk tidak terlalu terbawa
perasaan jika ada orang iseng—tidak jelas intensinya—yang mengetuk pintu. Tapi
rupanya yang namanya hormon, sulit untuk benar-benar mengendalikannya.
Terkadang, kedatangan perasaan berdebar dan gundah gulana itu pun tidak dapat
diprediksi, jadi saya tidak begitu waspada dan tidak pernah siap untuk
menyambutnya. Dan begitulah, saya pun jatuh cinta lagi, berharap lagi, lalu
sakit hati lagi.
Siklus
pembodohan diri semacam itu terus saja menimpa saya yang cukup fakir dalam
pengalaman asmara. Paling tidak, mungkin sudah 3 kali saya mengalami situasi
serupa. Sehabis dipatahkan, biasanya saya mengamuk pada diri saya sendiri,
kemudian berjanji untuk tidak mengulanginya lagi, tapi selang beberapa waktu
setelah dirasa cukup lama memberi jeda bagi perasaan saya untuk ‘hidup’
kembali, terjeratlah saya pada rasa bosan. Kemudian sedikit-sedikit saya mulai
membuka pintu; lagi.
Kemudian jatuh
lagi, dan babak akhirnya tentu sudah dapat diprediksi; kecewa lagi. Saya
sendiri heran, seperti ada yang salah dalam cara otak saya bekerja. Sejauh ini,
saya cukup rasional jika berkaitan dengan hal-hal profesional dan pengambilan
keputusan penting. Tapi soal cinta, rasanya mau dievaluasi berapa kali pun akan
tetap begitu-begitu saja; sudah seperti sesi evaluasi tahunan dalam acara
kepanitiaan-kepanitiaan kampus yang tiap tahun kemajuannya nyaris nihil. Mau
dihadapi dengan berbagai himbauan dan strategi sesiap siaga apa pun, sepertinya
tidak akan pernah ada manusia yang benar-benar siap untuk patah hati.
Lalu saya sadar, bahwa seberapa kali pun seseorang jatuh cinta, dia tetaplah akan menjadi pemula. Sungguh, di dunia ini tidak ada yang namanya suhu atau si paling dokter cinta, semuanya sama — pada intinya, akan membuatmu menjadi bodoh, tolol, dan celaka. Kalau belum bodoh, bisa dipertanyakan validitasnya. Dalam imajinasi saya, saat kita memilih untuk merasakan bahagianya jatuh cinta, kita harus menukarkan salah satu hal yang kita punya — kewarasan. Sudah seperti bertransaksi dengan iblis.
Duh, kok saya bisa seskeptis itu, ya? Tapi memangnya, di usia saya sekarang—25 tahun—apakah masih pantas berpikir bahwa jatuh cinta adalah suatu hal yang menyenangkan, berbunga-bunga, dan penuh kegembiraan? Menurut saya sih, naif.
Sampai di suatu titik, secara tidak sengaja saya bertemu dengan cinta yang baru, lagi. Kesempatan untuk mempelajari dan mengulik hakikat tentang 'cinta' kembali lagi. Entah kenapa saya bisa dengan yakin menyebut itu sebagai ‘cinta’. Yang jelas, ini bukan tipikal ‘pandangan pertama’. Saya telah mengenalnya sejak berada di bangku SMA, dia teman lama. Di sini, saya belum benar-benar yakin, sehingga saya tidak menaruh curiga terhadap kemungkinan buruk yang akan terjadi seperti yang sebelum-sebelumnya. Anggap saja nothing to lose.
Kami bertemu secara tidak sengaja saat sama-sama sedang menunggu kereta di stasiun kecil yang ada kampung halaman kami. Stasiun itu cukup jarang dijadikan titik pemberhentian, seringkali kereta hanya sekadar numpang lewat untuk menebus jarak menuju stasiun berikutnya (yang lebih besar). Jadi bisa dipastikan kereta ini cukup sepi, terutama jika bukan hari libur nasional. Sebelum menyapa, dia tersenyum dari kejauhan--senyum yang sama seperti yang saya kenali darinya sejak zaman SMA. Tangannya melambai ke arah saya, kemudian langkah kakinya mulai mendekat, sedang saya masih berdiri di tempat dengan tas dan koper yang saya bawa.
"Safira? Lama gak ketemu!"
"Iya ... long time no see, San," jawabku, dan ikut menyambut senyumnya.
Kami pun mencari tempat duduk yang tak jauh dari situ, kemudian mengobrol sedikit, orang-orang zaman sekarang menyebutnya
‘update kehidupan’. Dengan waktu sekitar limabelas menit yang
tersisa sebelum akhirnya kereta yang saya tunggu datang, saya sudah bisa
mendapat beberapa informasi tentang dia; 1) Hasan, nama panggilannya, saat ini
menjadi seorang akuntan di salah satu BUMN cabang Semarang; 2) dia sudah lama
tidak pulang kampung karena kesibukannya di kota; 3) dia sedang menyandang
status ‘lajang’, baru putus dengan mantan kekasihnya akhir tahun lalu.
Sependek itu
saja informasi yang saya dapatkan. Tapi, yang bersangkutan meminta nomor
whatsapp saya, karena kami memang sudah tidak punya kontak satu sama lain lagi
sejak lulus SMA. Saya keluar grup kelas karena hanya memandang pertemanan kelas
sebagai interaksi transaksional, dan dia sempat ganti nomor pula.
Di kereta, saya
renungi sejenak pertemuan tak disengaja tadi. Kok bisa ya, tiba-tiba bertemu?
Apakah ini pertanda? Saya punya banyak pertanyaan yang menjurus pada
pengandaian; terbayang skenario dari A-Z seperti di film-film.
Menurut
pandangan saya, Hasan yang seperti itu bisa dikategorikan sebagai orang yang
cukup mapan untuk usianya. Saat kami SMA, dia memang tergolong orang yang
pintar, selalu menduduki peringkat 5 besar di kelas kami yang tergolong kelas
unggulan. Jadi saat mengetahui dia bekerja di instansi pemerintah (yang
biasanya diidam idamkan mertua) saya tidak begitu kaget, cukup sesuai dengan
kemampuannya yang saya tahu.
Sedangkan saya
orang yang konsisten menjadi ‘orang biasa’ sejak SMA. Saya yakin, dia pun tidak
terkejut ketika mengetahui bahwa saya bekerja sebagai bagian administrasi di
kantor swasta dengan gaji UMR Yogyakarta lebih sedikit. Tidak ada yang special
dari saya, sejak dulu. Jadi saya pun sebenarnya tidak pernah muluk-muluk dalam
urusan jodoh, kriteria yang saya punya sekadar: seiman, sehat, dan mencintai
saya saja.
Baru saja
20menit kereta berjalan, saya mendapat pesan di aplikasi hijau dari sosok yang
baru saja mampir di pikiranku barusan.
[ Saf,
ini nomerku yaa :) ]
Kalau menurut
standar tiktok, gaya ketikan orang ini pasti sudah dianggap sebagai ‘typing ganteng’.
Saya tidak mengerti apa urgensinya orang-orang penghuni aplikasi yang sangat
saya skeptiskan dan sering disebut sebagai aplikasi kandang monyet itu membuat
standar-standar tertentu dalam segala lini perilaku orang. Yang seperti ini
dianggap ‘typing ganteng’ karena sesuai ejaan, dan kata terakhir menggunakan
dua huruf vokal berulang, katanya. Mungkin lawan dari itu—typing jelek
ditandai dengan penulisan yang tidak sesuai ejaan atau dikurang-kurangi dari
yang seharusnya? Saya kurang tahu tentang itu.
Begitu menemukan
stiker yang pas untuk menjawab pesannya, saya segera kirimkan, kemudian diikuti
dengan ucapan lain.
[ keretamu
udah berangkat san? ]
Tak perlu
menunggu lama, pesan itu sudah mendapat balasannya kembali.
[ Udah
nih. Ttdj yaa, kapan-kapan, kita ngobrol lagi ]
Saya kembali
mengirimkan stiker, kali ini berbentuk hutao yang sedang mengacungkan jempol.
Saya mendapatkan stiker itu dari kawan saya yang otaku, dan saya rasa lucu saja
bentuknya sehingga saya pilih stiker itu untuk dikirim.
Setelah itu,
saya kira pesan akan berhenti begitu saja, namun rupanya ada satu bubble yang
kembali masuk.
[ Wait,
kamu main Genshin Impact? ]
***
Beberapa hari setelah pertemuan itu, saya kerap saling berbalas stori Whatsapp dengan Hasan. Tentu kami tidak mabar Genshin Impact, soalnya saya memang bukan pemain gim kikir itu. Stiker hutao itu semata-mata saya simpan karena lucu saja, bukan karena saya paham dan kenal dengan karakternya. Tapi siapa sangka setelah mengirim stiker iseng itu Hasan malah banyak bicara tentang kebiasaannya bermain Genshin Impact dua tahun terakhir ini? Saya kurang paham, tapi berusaha menyimak. Bukan kali pertama pula saya berada di posisi ini—kawan saya yang mengirimkan stiker itu pada saya juga kerap sambat perihal dunia gaming yang saya tidak begitu bisa memahaminya itu. Tapi saya selalu senang setiap mendengar dia bercerita tentang hal-hal yang dia sukai.
Akhir-akhir ini,
obrolan kami seputar apa yang kami bagikan di story Whatsapp,
kadang saya mengunggah foto makanan yang saya beli, atau potret suasana yang
ada di hadapan saya. Sedangkan Hasan terkadang memposting fotonya saat bersama
dengan teman-temannya, atau berita-berita politik yang hangat akhir-akhir ini.
Tentu, dia bukan tipe orang yang minim pergaulan seperti saya. Dari zaman
sekolah, dia memang cukup dikenal aktif dan mudah bergaul, jadi saya tidak
heran jika dia sering memposting kegiatannya bersama dengan orang-orang di
sekitarnya.
Hanya saja terkait dengan politik, saya agak gusar sedikit. Hasan ternyata pendukung omke gas.
Dia terang-terangan beberapa kali membuat story terkait
presiden yang terpilih tersebut, dan setelah saya bertanya, dia pun mengatakan
bahwa si gendut punya kapasitas yang bagus dalam memimpin negara, dengan latar
belakang militer dan kegigihannya mencalonkan diri berkali-kali.
Saya menanggapi
beberapa balasan pesan dari Hasan dengan mengerutkan dahi berkali-kali,
kemudian termenung sebentar. Saya menyadari ada sesuatu yang berbeda dalam
momen jatuh cinta saya kali ini—saya tidak merasakan patah hati seperti yang sebelum-sebelumnya. Rasanya biasa saja, walau ada rasa kecewa sedikit yang entah muncul dari mana. Rupanya, jatuh cinta di umur ‘dewasa’ tidak
sepenuhnya murni, ya? Bahkan perbedaan pandangan politik pun cukup berpengaruh
terhadap perasaan. Padahal dia sudah cukup melebihi kriteria yang saya pasang untuk diri saya sendiri; cerdas
(walau sekarang saya cukup skeptis juga), mapan, wajahnya manis, tinggi, ramah
dan hangat. Atau sebenarnya, ini belum benar-benar jatuh cinta? Hanya perasaan
senang dan nyaman sesaat saja?
Setelah saya
pikirkan lebih dalam, sebenarnya wajar saja. Toh, jatuh cinta itu cuma
akal-akalan hormon, bisa naik bisa turun. Di usia dewasa, rupanya cinta saja
memang tidak cukup—yang membedakannya dengan jatuh cinta pada masa yang lebih
muda; jatuh cinta di usia dewasa perlu ada komitmen dan tanggungjawab untuk
membuatnya tetap bekerja; oleh karena itu, banyak syarat dan pertimbangannya.
Tapi dengan begitu, paling tidak kalaupun disakiti sewaktu-waktu, bisa lebih
menenangkan diri dengan "paling tidak, orang yang menyakitiku ini sesuai
dengan kriteria, jadi sakitnya tidak dua kali lipat" karena bayangkan
saja apabila sudah menolerir kekurangannya dan menjadi permisif meski tidak
sesuai kriteria, tapi masih juga disakiti? Tidak ada satu pun produk asuransi
yang bisa menanggung kerusakannya.
Lagipula, menurut saya, jatuh cinta sebenarnya tidak perlu diperlakukan sebagai sesuatu yang seekslusif itu. Tidak perlu pula menjadi sesuatu yang berlaku sekali seumur hidup--bisa saja berkali-kali, dan itu valid-valid saja. Sejatinya, cukup dijadikan bumbu kehidupan yang kesenangannya mungkin saja hanya dipanen di beberapa musim tertentu saja. Jika berpikir seperti itu, maka ekspektasi kita tentang ‘jatuh cinta’ tidak akan setinggi menara nasional yang sepadan dengan rasa sakitnya (apabila terjatuh). Bukan berarti jatuh cinta seperti ala ala film romantis itu mustahil dan sepenuhnya imajinatif, melainkan agak ‘overrated’ saja, kalau menurut bahasanya para sinefil.
Selagi kita
dapat menikmatinya walau sementara, walau diakhiri dengan tangisan, paling
tidak cukup memberikan ruang bagi hati kita untuk bisa merasakan energi yang
hangat, jadi tidak perlu lama-lama juga tidak apa-apa.
Seperti halnya kereta
yang melaju melewati stasiun-stasiun kecil di pelosok itu, cinta kadang hanya
numpang lewat untuk menebus jarak menuju pemberhentian selanjutnya, di stasiun
yang lebih besar sebagai tujuan akhirnya.
tukar
aku tidak pernah dijaga
pun aku tidak meminta siapapun
tapi kalau memang tidak bisa
jangan meminta aku sesuatu juga
manusia itu transaksional, sadar tidak sadar
kalau kamu tidak bisa memberikan kenyamanan
aku juga tidak akan memberikan hal yang sama
jadi, mari kita sama-sama tidak nyaman saja
sampai lelah sendiri,
dan tersadar kalau kesempatan
telah kita buang sia-sia
Kamis, 10 April 2025
i swear you will never read this letter
aku harap kamu gak baca postingan ini soalnya cuma unek-unek pribadi dan biar lega aja
tapi kalau ternyata baca, yaudah sih, anggap saja ini hadiah kecil wqwq
.
.
.
aku sering berpikir kalau pernyataan 'orang yang tepat di waktu yang salah' itu hanya omong kosong belaka. orang-orang hanya terlalu meromantisasi keadaan mereka yang dirasa tidak ideal dan menyalahkan takdir.
menurutku, kalau memang tepat, tidak akan mungkin salah tempat dan salah waktu--dulu, dan aku bersikukuh sekali tentang hal itu.
tapi setelah kualami sendiri, rupanya sulit juga untuk mengimani kalimat yang pernah kugenggam erat itu.
ternyata, hal semacam itu memang mungkin terjadi, ya, di kehidupan yang kompleks ini?
seperti yang kamu bilang, mungkin waktu kita ketemu aja yang gak tepat. tapi aku nggak setuju dengan penggunaan kata 'aja'. menurutku, 'waktu' bukanlah sesuatu yang kecil; ia tak ternilai harganya. jadi kalau waktunya nggak tepat, itu justru isu yang tidak bisa disepelekan.
kalau saja kita bertemu saat aku sudah siap membuka hati sepenuhnya; tanpa isu kepercayaan dan kecemasan berlebihan,
kalau saja kita bertemu saat kamu sudah benar-benar selesai dan tidak terjebak di zona nyaman masa lalumu (ini jahat, dari kacamata apapun. aku merasa dibohongi :) ),
kalau saja kita bertemu saat berada di satu titik tetap tanpa ada jarak yang membentang (tentu, aku punya mimpi yang harus kukejar sendiri, demikian juga kamu),
kalau saja kita bertemu saat aku maupun kamu sudah siap semuanya, lahir dan batin, bebas dari beban emosional dan tanggungjawab moral, dan lain sebagainya
--mungkin cinta tidak akan terasa serumit ini.
saat kamu ngasih tau perasaanmu dan menanyakan bagaimana perasaanku, dalam hati aku mau teriak "dih kocak"
soalnya, tanpa dinyatakan juga kita sudah sama-sama tahu, nggak, sih? kecuali kamu memang punya penyakit gak peka kronis; dan ternyata memang iya. bisa-bisanya selama ini kamu nggak nyadar perasaanmu terbalas? setelah setahun lamanya? aneh. tapi sebenarnya penasaran juga, emangnya perlu banget ya buat tau perasaanku ke kamu gimana padahal kamu aja belum siap berkomitmen? bener katamu, cukup lancang pertanyaannya, haha. tapi aku apresiasi keberaniannya untuk confess dan terbuka
memang, sih, perlu ada validasi verbal agar tidak ada pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut. setidaknya, kita jadi tau kalau perasaan ini saling berbalas, tidak jomplang, tidak bertepuk sebelah tangan--secara 'proper', tanpa saling menebak, dan tidak bisa diganggu gugat oleh asumsi-asumsi oranglain; selain kita sebagai yang merasakan.
tapi rupanya cinta saja tidak cukup, aku perlu menekankan hal ini secara berkala--sebab, biasanya, aku mudah terjebak dalam pemikiran orang-orang era post-romantisme semacam "cinta bisa memperbaiki dan membangun semuanya"
padahal kenyataannya, cinta saja tidak cukup.
aku seneng kok bisa kenal dan deket. kaya yang pernah aku bilang pas perpisahan ninggalin jogja dulu, its such an enjoyable time to be one of your friends. saling cerita-cerita, bertukar pikiran, hunting miayam, main game bareng, dengerin musik bareng, ke pameran & bazzar, nonton film, nonton anime, belajar bahasa jepang di duolingo, call discord dan caturan sampai pagi, diskusi buku, tukar hadiah, saling baca tulisan satu sama lain, menurutku menyenangkan! tapi kalo kondisi kaya gini dibiarin terus rasanya nyesek juga, kan? we are not ready at all
jadi, dalam jeda yang sudah diputuskan ini, aku tidak terlalu berharap banyak;
kalau memang nanti masih bisa bertemu dengan perasaan yang sama, dengan kondisi yang lebih baik (seperti harapanmu), aku harap kita bisa melanjutkan hidup dengan lebih baik, berdua--eh, bersama-sama (seperti yang pernah kamu bilang saat canggung menyebut kata 'berdua' dalam sambungan telfon tengah malam, haha, aku masih ingat karena cukup lucu)
tapi apapun yang terjadi nanti, aku ingin kita berdua hidup sebaik-baiknya saja, setentram-tentramnya. tidak perlu meninggalkan frasa 'what if(s)' di benak masing-masing (dan tidak menjadi 'the biggest what if' bagi satu sama lain).
kalaupun tidak untuk bersama, aku harap kebahagiaan selalu menyertaimu,
dan semoga selalu ada berbagai varian mie ayam yang siap menemani langkahmu, walau tidak ada aku di sana
Rabu, 09 April 2025
titik temu
Sabtu, 05 April 2025
kalau kalau
Selasa, 25 Maret 2025
kapan
tapi kapan ya
bisa mencintai tanpa diuntit rasa takut
tak muluk-muluk,
bukan tentang takut ekspektasi patah
melainkan, bagaimana kalau aku tak lagi diberi ruang
untuk jatuh sedalam ini?
tapi mungkin ini bukan titik terdalam
jadi mungkin: kapan-kapan
Senin, 03 Februari 2025
kelola
bilamana kusimpan sendiri,
sesak menyiksa
bilamana kuperlihatkan sedikit,
penasaran menyerbu
bilamana kuperlihatkan banyak,
penasaran menyingkir
bilamana kutunjukkan pada dunia,
jejaknya mengabadi--dalam ingatan yang peduli
Sabtu, 25 Januari 2025
ruang tunggu di ujung stasiun
ke sana ke mari
terhubung tersekat
menyeka merana
hanya untuk menunggu
yang datang dan perginya
sudah ditetapkan
tapi aku tetap kewalahan
sebab, kereta yang kutunggu
tidak menungguku
tepat pada waktunya

