Mika mengernyitkan alis. Di hadapannya saat ini, awan
mendung terbentang luas memenuhi langit yang menjadi atap dunia. Di bawah
lindungan atap halte—yang tak jauh dari sekolah—yang biasa menjadi tempatnya
menunggu bus untuk pulang, gadis berumur limabelas tahun itu berdiri, sambil
berharap, bus yang ia tunggu segera datang sebelum tetesan-tetesan air
hujan menerpa sekeliling.
Tak lama setelah itu, rintik-rintik air jatuh bergantian
menabrak aspal, yang menciptakan bunyi cipratan-cipratan air di telinganya. Benar-benar seperti dugaan. Dan saat ini, gadis itu sendirian.
Tiba-tiba, suara hentakan kaki seseorang mengejutkannya. Ya,
ada seorang laki-laki berkacamata yang berlari ke arah halte dengan sebuah tas
hitam yang ia gunakan untuk berlindung dari serangan air hujan—walau sebenarnya
percuma saja, bajunya tetap basah.
Setelah laki-laki itu sampai di halte, ia menghela nafas
sembari menundukkan wajahnya, lesu. Sampai kemudian dia menyadari keberadaan
Mika di dekatnya yang sedang memandanginya dengan tatapan penasaran.
“Sekarang jam berapa, ya?”
Ada angin dan ada hujan, dan ucapan laki-laki itu sontak
mengejutkan gadis yang masih mengenakan seragam sekolahnya di sana. Dengan segera
Mika mengangkat tangan kirinya, melihat letak jarum jam tengah meunjukkan angka
berapa.
“Jam tiga lebih limabelas menit.”
“Ah, sial.”
“Kenapa?”
“Eh?”
… ah, Mika menyesali dirinya yang bertanya seakan peduli
dengan orang tak di kenal di sebelahnya itu. dipandanginya sekali lagi
laki-laki yang tingginya melebihi tinggi badannya, menggunakan kaos biru muda
dan celana hitam panjang. Jika dilihat dari wajahnya, dapat dipastikan bahwa
umur laki-laki ini lebih dari duapuluh tahun. Mungkin saja.
“Ada apa?”
Laki-laki itu berucap sekali lagi setelah menyadari bahwa
Mika tidak berniat menjawab “Eh?” darinya barusan.
“Tidak. Maaf terkesan ikut campur.”
“Tidak apa-apa, kok. Aku pikir malah bagus jika kamu
bertanya. Kamu dari SMU Teikou, ‘kan?”
Mika mengangguk pelan. Orang itu pasti mengetahuinya dari
seragam yang ia gunakan, pikir Mika.
“Aku seharusnya pergi ke SMU Teikou sekarang, untuk
mengurusi pendaftararanku. Tapi malah hujan dan aku tidak membawa payung.”
Eh?
Sekarang malah Mika yang bingung. Mengurusi pendaftaran? Orang
setua ini?
“Maksudku pendaftaran sebagai guru ahahaha” Seakan tahu akan
kebingungan Mika, laki-laki itu menjelaskan maksud pernyataan sebelumnya.
“Oh … guru, ya.”
Setelah itu hening. Sebenarnya Mika tidak mengerti alasan
laki-laki itu tak melanjutkan perjalanannya ke sekolah, padahal tinggal
berjarak beberapa-ratus-meter saja dari halte itu berada.
Mungkin menunggu hujan reda?
Suara klakson bus dari arah kanan membangunkannya dari
pikiran-pikiran tidak jelas itu. Sesampainya bus itu berhenti tepat di
hadapannya, ia langsung beranjak naik dan duduk di kursi yang masih belum
terisi penumpang.
Bus melanjutkan perjalanannya setelah mendapat satu
penumpang dari halte tadi. Dari jendela, Mika memantau laki-laki berkacamata
tadi yang masih saja berdiri di sana sendirian.
Ya, sendirian saja sampai kemudian seorang perempuan datang
dan berpelukan dengannya.
Yang tadi itu apa?
Rasanya semua ini hanya bunga tidur yang tak dapat ia simpan
terlalu lama dalam otaknya. Semua ini akan segera terlupakan, ‘kan, tuhan? Mika
membatin dalam suasana hati yang redup, ditemani rintik-rintik air hujan yang
tak kunjung usai menjatuhi semua yang ada di atas tanah kota ini.
-END-
a/n :
eheh yeayyy bisa nulis drabble lagi #kokbangga
sign,
ulya
0 komentar:
Posting Komentar