Senin, 14 April 2025

jatuh cinta cuma akal-akalan hormon

Diposting oleh fuyuhanacherry di 16.01 0 komentar



"jatuh cinta cuma akal-akalan hormon"

Saya meyakini pernyataan tersebut sejak dipatahkan hatinya oleh seseorang — yang kalau saya pikir sekarang sih, sebenarnya belum layak-layak amat untuk hidup dan bersanding di bawah atap yang sama dengan saya — sebab, belum cukup teruji ini-itu. Padahal, rasa-rasanya, di masa itu justru saya yang merasa tidak layak bersanding dengan beliau. Hanya saja saya betah denial dan selalu melihat orang itu dalam kacamata yang berbeda. Betul, beginilah salah satu contoh pembodohan dan bukti bahwa cinta cuma akal-akalan hormon.

Kejadian tersebut bukan terjadi saat saya belia atau abg labil, saya bisa mengklaim bahwa saya sudah cukup dewasa saat itu secara akal sehat dan tindakan. Jadi tidak ada alasan untuk melempar kesalahan pada kenaifan masa muda saya. Saya juga sudah banyak mewanti-wanti diri saya sendiri untuk tidak terlalu terbawa perasaan jika ada orang iseng—tidak jelas intensinya—yang mengetuk pintu. Tapi rupanya yang namanya hormon, sulit untuk benar-benar mengendalikannya. Terkadang, kedatangan perasaan berdebar dan gundah gulana itu pun tidak dapat diprediksi, jadi saya tidak begitu waspada dan tidak pernah siap untuk menyambutnya. Dan begitulah, saya pun jatuh cinta lagi, berharap lagi, lalu sakit hati lagi.

Siklus pembodohan diri semacam itu terus saja menimpa saya yang cukup fakir dalam pengalaman asmara. Paling tidak, mungkin sudah 3 kali saya mengalami situasi serupa. Sehabis dipatahkan, biasanya saya mengamuk pada diri saya sendiri, kemudian berjanji untuk tidak mengulanginya lagi, tapi selang beberapa waktu setelah dirasa cukup lama memberi jeda bagi perasaan saya untuk ‘hidup’ kembali, terjeratlah saya pada rasa bosan. Kemudian sedikit-sedikit saya mulai membuka pintu; lagi.

Kemudian jatuh lagi, dan babak akhirnya tentu sudah dapat diprediksi; kecewa lagi. Saya sendiri heran, seperti ada yang salah dalam cara otak saya bekerja. Sejauh ini, saya cukup rasional jika berkaitan dengan hal-hal profesional dan pengambilan keputusan penting. Tapi soal cinta, rasanya mau dievaluasi berapa kali pun akan tetap begitu-begitu saja; sudah seperti sesi evaluasi tahunan dalam acara kepanitiaan-kepanitiaan kampus yang tiap tahun kemajuannya nyaris nihil. Mau dihadapi dengan berbagai himbauan dan strategi sesiap siaga apa pun, sepertinya tidak akan pernah ada manusia yang benar-benar siap untuk patah hati.

Lalu saya sadar, bahwa seberapa kali pun seseorang jatuh cinta, dia tetaplah akan menjadi pemula. Sungguh, di dunia ini tidak ada yang namanya suhu atau si paling dokter cinta, semuanya sama — pada intinya, akan membuatmu menjadi bodoh, tolol, dan celaka. Kalau belum bodoh, bisa dipertanyakan validitasnya. Dalam imajinasi saya, saat kita memilih untuk merasakan bahagianya jatuh cinta, kita harus menukarkan salah satu hal yang kita punya — kewarasan. Sudah seperti bertransaksi dengan iblis.

Duh, kok saya bisa seskeptis itu, ya? Tapi memangnya, di usia saya sekarang—25 tahun—apakah masih pantas berpikir bahwa jatuh cinta adalah suatu hal yang menyenangkan, berbunga-bunga, dan penuh kegembiraan? Menurut saya sih, naif. 

Sampai di suatu titik, secara tidak sengaja saya bertemu dengan cinta yang baru, lagi. Kesempatan untuk mempelajari dan mengulik hakikat tentang 'cinta' kembali lagi. Entah kenapa saya bisa dengan yakin menyebut itu sebagai ‘cinta’. Yang jelas, ini bukan tipikal ‘pandangan pertama’. Saya telah mengenalnya sejak berada di bangku SMA, dia teman lama. Di sini, saya belum benar-benar yakin, sehingga saya tidak menaruh curiga terhadap kemungkinan buruk yang akan terjadi seperti yang sebelum-sebelumnya. Anggap saja nothing to lose

Kami bertemu secara tidak sengaja saat sama-sama sedang menunggu kereta di stasiun kecil yang ada kampung halaman kami. Stasiun itu cukup jarang dijadikan titik pemberhentian, seringkali kereta hanya sekadar numpang lewat untuk menebus jarak menuju stasiun berikutnya (yang lebih besar). Jadi bisa dipastikan kereta ini cukup sepi, terutama jika bukan hari libur nasional. Sebelum menyapa, dia tersenyum dari kejauhan--senyum yang sama seperti yang saya kenali darinya sejak zaman SMA. Tangannya melambai ke arah saya, kemudian langkah kakinya mulai mendekat, sedang saya masih berdiri di tempat dengan tas dan koper yang saya bawa.

"Safira? Lama gak ketemu!"

"Iya ... long time no see, San," jawabku, dan ikut menyambut senyumnya.

Kami pun mencari tempat duduk yang tak jauh dari situ, kemudian mengobrol sedikit, orang-orang zaman sekarang menyebutnya ‘update kehidupan’. Dengan waktu sekitar limabelas menit yang tersisa sebelum akhirnya kereta yang saya tunggu datang, saya sudah bisa mendapat beberapa informasi tentang dia; 1) Hasan, nama panggilannya, saat ini menjadi seorang akuntan di salah satu BUMN cabang Semarang; 2) dia sudah lama tidak pulang kampung karena kesibukannya di kota; 3) dia sedang menyandang status ‘lajang’, baru putus dengan mantan kekasihnya akhir tahun lalu.

Sependek itu saja informasi yang saya dapatkan. Tapi, yang bersangkutan meminta nomor whatsapp saya, karena kami memang sudah tidak punya kontak satu sama lain lagi sejak lulus SMA. Saya keluar grup kelas karena hanya memandang pertemanan kelas sebagai interaksi transaksional, dan dia sempat ganti nomor pula.

Di kereta, saya renungi sejenak pertemuan tak disengaja tadi. Kok bisa ya, tiba-tiba bertemu? Apakah ini pertanda? Saya punya banyak pertanyaan yang menjurus pada pengandaian; terbayang skenario dari A-Z seperti di film-film.

Menurut pandangan saya, Hasan yang seperti itu bisa dikategorikan sebagai orang yang cukup mapan untuk usianya. Saat kami SMA, dia memang tergolong orang yang pintar, selalu menduduki peringkat 5 besar di kelas kami yang tergolong kelas unggulan. Jadi saat mengetahui dia bekerja di instansi pemerintah (yang biasanya diidam idamkan mertua) saya tidak begitu kaget, cukup sesuai dengan kemampuannya yang saya tahu.

Sedangkan saya orang yang konsisten menjadi ‘orang biasa’ sejak SMA. Saya yakin, dia pun tidak terkejut ketika mengetahui bahwa saya bekerja sebagai bagian administrasi di kantor swasta dengan gaji UMR Yogyakarta lebih sedikit. Tidak ada yang special dari saya, sejak dulu. Jadi saya pun sebenarnya tidak pernah muluk-muluk dalam urusan jodoh, kriteria yang saya punya sekadar: seiman, sehat, dan mencintai saya saja. 

Baru saja 20menit kereta berjalan, saya mendapat pesan di aplikasi hijau dari sosok yang baru saja mampir di pikiranku barusan.

Saf, ini nomerku yaa :) ]

Kalau menurut standar tiktok, gaya ketikan orang ini pasti sudah dianggap sebagai ‘typing ganteng’. Saya tidak mengerti apa urgensinya orang-orang penghuni aplikasi yang sangat saya skeptiskan dan sering disebut sebagai aplikasi kandang monyet itu membuat standar-standar tertentu dalam segala lini perilaku orang. Yang seperti ini dianggap ‘typing ganteng’ karena sesuai ejaan, dan kata terakhir menggunakan dua huruf vokal berulang, katanya. Mungkin lawan dari itu—typing jelek ditandai dengan penulisan yang tidak sesuai ejaan atau dikurang-kurangi dari yang seharusnya? Saya kurang tahu tentang itu.

Begitu menemukan stiker yang pas untuk menjawab pesannya, saya segera kirimkan, kemudian diikuti dengan ucapan lain.

[ keretamu udah berangkat san? ]

Tak perlu menunggu lama, pesan itu sudah mendapat balasannya kembali.

[ Udah nih. Ttdj yaa, kapan-kapan, kita ngobrol lagi ]

Saya kembali mengirimkan stiker, kali ini berbentuk hutao yang sedang mengacungkan jempol. Saya mendapatkan stiker itu dari kawan saya yang otaku, dan saya rasa lucu saja bentuknya sehingga saya pilih stiker itu untuk dikirim.

Setelah itu, saya kira pesan akan berhenti begitu saja, namun rupanya ada satu bubble yang kembali masuk.

Wait, kamu main Genshin Impact? ]

 

***

Beberapa hari setelah pertemuan itu, saya kerap saling berbalas stori Whatsapp dengan Hasan. Tentu kami tidak mabar Genshin Impact, soalnya saya memang bukan pemain gim kikir itu. Stiker hutao itu semata-mata saya simpan karena lucu saja, bukan karena saya paham dan kenal dengan karakternya. Tapi siapa sangka setelah mengirim stiker iseng itu Hasan malah banyak bicara tentang kebiasaannya bermain Genshin Impact dua tahun terakhir ini? Saya kurang paham, tapi berusaha menyimak. Bukan kali pertama pula saya berada di posisi ini—kawan saya yang mengirimkan stiker itu pada saya juga kerap sambat perihal dunia gaming yang saya tidak begitu bisa memahaminya itu. Tapi saya selalu senang setiap mendengar dia bercerita tentang hal-hal yang dia sukai. 

Akhir-akhir ini, obrolan kami seputar apa yang kami bagikan di story Whatsapp, kadang saya mengunggah foto makanan yang saya beli, atau potret suasana yang ada di hadapan saya. Sedangkan Hasan terkadang memposting fotonya saat bersama dengan teman-temannya, atau berita-berita politik yang hangat akhir-akhir ini. Tentu, dia bukan tipe orang yang minim pergaulan seperti saya. Dari zaman sekolah, dia memang cukup dikenal aktif dan mudah bergaul, jadi saya tidak heran jika dia sering memposting kegiatannya bersama dengan orang-orang di sekitarnya.

Hanya saja terkait dengan politik, saya agak gusar sedikit. Hasan ternyata pendukung omke gas. 

Dia terang-terangan beberapa kali membuat story terkait presiden yang terpilih tersebut, dan setelah saya bertanya, dia pun mengatakan bahwa si gendut punya kapasitas yang bagus dalam memimpin negara, dengan latar belakang militer dan kegigihannya mencalonkan diri berkali-kali.

Saya menanggapi beberapa balasan pesan dari Hasan dengan mengerutkan dahi berkali-kali, kemudian termenung sebentar. Saya menyadari ada sesuatu yang berbeda dalam momen jatuh cinta saya kali ini—saya tidak merasakan patah hati seperti yang sebelum-sebelumnya. Rasanya biasa saja, walau ada rasa kecewa sedikit yang entah muncul dari mana. Rupanya, jatuh cinta di umur ‘dewasa’ tidak sepenuhnya murni, ya? Bahkan perbedaan pandangan politik pun cukup berpengaruh terhadap perasaan. Padahal dia sudah cukup melebihi kriteria yang saya pasang untuk diri saya sendiri; cerdas (walau sekarang saya cukup skeptis juga), mapan, wajahnya manis, tinggi, ramah dan hangat. Atau sebenarnya, ini belum benar-benar jatuh cinta? Hanya perasaan senang dan nyaman sesaat saja?

Setelah saya pikirkan lebih dalam, sebenarnya wajar saja. Toh, jatuh cinta itu cuma akal-akalan hormon, bisa naik bisa turun. Di usia dewasa, rupanya cinta saja memang tidak cukup—yang membedakannya dengan jatuh cinta pada masa yang lebih muda; jatuh cinta di usia dewasa perlu ada komitmen dan tanggungjawab untuk membuatnya tetap bekerja; oleh karena itu, banyak syarat dan pertimbangannya. Tapi dengan begitu, paling tidak kalaupun disakiti sewaktu-waktu, bisa lebih menenangkan diri dengan "paling tidak, orang yang menyakitiku ini sesuai dengan kriteria, jadi sakitnya tidak dua kali lipat" karena bayangkan saja apabila sudah menolerir kekurangannya dan menjadi permisif meski tidak sesuai kriteria, tapi masih juga disakiti? Tidak ada satu pun produk asuransi yang bisa menanggung kerusakannya.

Lagipula, menurut saya, jatuh cinta sebenarnya tidak perlu diperlakukan sebagai sesuatu yang seekslusif itu. Tidak perlu pula menjadi sesuatu yang berlaku sekali seumur hidup--bisa saja berkali-kali, dan itu valid-valid saja. Sejatinya, cukup dijadikan bumbu kehidupan yang kesenangannya mungkin saja hanya dipanen di beberapa musim tertentu saja. Jika berpikir seperti itu, maka ekspektasi kita tentang ‘jatuh cinta’ tidak akan setinggi menara nasional yang sepadan dengan rasa sakitnya (apabila terjatuh). Bukan berarti jatuh cinta seperti ala ala film romantis itu mustahil dan sepenuhnya imajinatif, melainkan agak ‘overrated’ saja, kalau menurut bahasanya para sinefil. 

Selagi kita dapat menikmatinya walau sementara, walau diakhiri dengan tangisan, paling tidak cukup memberikan ruang bagi hati kita untuk bisa merasakan energi yang hangat, jadi tidak perlu lama-lama juga tidak apa-apa.

Seperti halnya kereta yang melaju melewati stasiun-stasiun kecil di pelosok itu, cinta kadang hanya numpang lewat untuk menebus jarak menuju pemberhentian selanjutnya, di stasiun yang lebih besar sebagai tujuan akhirnya.

 ***

A/N

by the way, ini cerpen yah guis, bukan kisah nyata :)

tukar

Diposting oleh fuyuhanacherry di 11.08 0 komentar

aku tidak pernah dijaga

pun aku tidak meminta siapapun

tapi kalau memang tidak bisa

jangan meminta aku sesuatu juga

manusia itu transaksional, sadar tidak sadar

kalau kamu tidak bisa memberikan kenyamanan

aku juga tidak akan memberikan hal yang sama

jadi, mari kita sama-sama tidak nyaman saja

sampai lelah sendiri,

dan tersadar kalau kesempatan

telah kita buang sia-sia

Kamis, 10 April 2025

i swear you will never read this letter

Diposting oleh fuyuhanacherry di 07.21 0 komentar

aku harap kamu gak baca postingan ini soalnya cuma unek-unek pribadi dan biar lega aja

tapi kalau ternyata baca, yaudah sih, anggap saja ini hadiah kecil wqwq

.

.

.

aku sering berpikir kalau pernyataan 'orang yang tepat di waktu yang salah' itu hanya omong kosong belaka. orang-orang hanya terlalu meromantisasi keadaan mereka yang dirasa tidak ideal dan menyalahkan takdir.

menurutku, kalau memang tepat, tidak akan mungkin salah tempat dan salah waktu--dulu, dan aku bersikukuh sekali tentang hal itu.

tapi setelah kualami sendiri, rupanya sulit juga untuk mengimani kalimat yang pernah kugenggam erat itu.

ternyata, hal semacam itu memang mungkin terjadi, ya, di kehidupan yang kompleks ini?

seperti yang kamu bilang, mungkin waktu kita ketemu aja yang gak tepat. tapi aku nggak setuju dengan penggunaan kata 'aja'. menurutku, 'waktu' bukanlah sesuatu yang kecil; ia tak ternilai harganya. jadi kalau waktunya nggak tepat, itu justru isu yang tidak bisa disepelekan.

kalau saja kita bertemu saat aku sudah siap membuka hati sepenuhnya; tanpa isu kepercayaan dan kecemasan berlebihan,

kalau saja kita bertemu saat kamu sudah benar-benar selesai dan tidak terjebak di zona nyaman masa lalumu (ini jahat, dari kacamata apapun),

kalau saja kita bertemu saat berada di satu titik tetap tanpa ada jarak yang membentang (tentu, aku punya mimpi yang harus kukejar sendiri, demikian juga kamu),

kalau saja kita bertemu saat aku maupun kamu sudah siap semuanya, lahir dan batin, bebas dari beban emosional dan tanggungjawab moral, dan lain sebagainya

--mungkin cinta tidak akan terasa serumit ini.

saat kamu ngasih tau perasaanmu dan menanyakan bagaimana perasaanku, dalam hati aku mau teriak "dih kocak" 

soalnya, tanpa dinyatakan juga kita sudah sama-sama tahu, nggak, sih? kecuali kamu memang punya penyakit gak peka kronis; dan ternyata memang iya. bisa-bisanya selama ini kamu nggak nyadar perasaanmu terbalas? setelah setahun lamanya? aneh. tapi sebenarnya penasaran juga, emangnya perlu banget ya buat tau perasaanku ke kamu gimana padahal kamu aja belum siap berkomitmen? bener katamu, cukup lancang pertanyaannya, haha. tapi aku apresiasi keberaniannya untuk confess dan terbuka 

memang, sih, perlu ada validasi verbal agar tidak ada pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut. setidaknya, kita jadi tau kalau perasaan ini saling berbalas, tidak jomplang, tidak bertepuk sebelah tangan--secara 'proper', tanpa saling menebak, dan tidak bisa diganggu gugat oleh asumsi-asumsi oranglain; selain kita sebagai yang merasakan.

tapi rupanya cinta saja tidak cukup, aku perlu menekankan hal ini secara berkala--sebab, biasanya, aku mudah terjebak dalam pemikiran orang-orang era post-romantisme semacam "cinta bisa memperbaiki dan membangun semuanya"

padahal kenyataannya, cinta saja tidak cukup.

aku seneng kok bisa kenal dan deket. kaya yang pernah aku bilang pas perpisahan ninggalin jogja dulu, its such an enjoyable time to be one of your friends. saling cerita-cerita, bertukar pikiran, hunting miayam, main game bareng, dengerin musik bareng, ke pameran & bazzar, nonton film, nonton anime, belajar bahasa jepang di duolingo, call discord dan caturan sampai pagi, diskusi buku, tukar hadiah, saling baca tulisan satu sama lain, menurutku menyenangkan! tapi kalo kondisi kaya gini dibiarin terus rasanya nyesek juga, kan? we are not ready at all

jadi, dalam jeda yang sudah diputuskan ini, aku tidak terlalu berharap banyak;

kalau memang nanti masih bisa bertemu dengan perasaan yang sama, dengan kondisi yang lebih baik (seperti harapanmu), aku harap kita bisa melanjutkan hidup dengan lebih baik, berdua--eh, bersama-sama (seperti yang pernah kamu bilang saat canggung menyebut kata 'berdua' dalam sambungan telfon tengah malam, haha, aku masih ingat karena cukup lucu)

tapi apapun yang terjadi nanti, aku ingin kita berdua hidup sebaik-baiknya saja, setentram-tentramnya. tidak perlu meninggalkan frasa 'what if(s)' di benak masing-masing (dan tidak menjadi 'the biggest what if' bagi satu sama lain).

kalaupun tidak untuk bersama, aku harap kebahagiaan selalu menyertaimu,

dan semoga selalu ada berbagai varian mie ayam yang siap menemani langkahmu, walau tidak ada aku di sana

Rabu, 09 April 2025

titik temu

Diposting oleh fuyuhanacherry di 08.37 0 komentar
kukira bagaimana cara orang bertemu, di mana dan kapan dipertemukan, beragam pertanyaan seperti syarat teks berita 5w+1h dalam pelajaran bahasa indonesia, tidak pernah bisa benar-benar diprediksi atau diperkirakan. kalaupun diusahakan, belum tentu jawabannya akan linier dengan apa yang dituliskan tuhan. jadi, apa harus selalu berserah? tidak harus, tapi bisa jadi, kita telah meromantisasi pertemuan dengan 'orang yang tepat' terlalu jauh dari yang seharusnya; mungkin, bisa saja, bertemu sekarang, tapi tidak untuk bersatu. dan bisa jadi juga bertemu kapan-kapan, tapi tidak untuk bersatu juga. atau yang biasa menjadi impian banyak orang; bisa jadi bertemu sekarang, untuk dipersatukan. sehingga ketika orang-orang bertanya bagaimana, di mana, kapan, mengapa, siapa, dan apa, mereka bisa menjawabnya dengan yakin. sebab, kondisi ril sudah mereka hadapi saat ini, sudah disepakati, sudah tergenggam, sehingga tidak perlu berandai-andai "suatu hari nanti" atau menyayangkan "kalau saja kemarin". mereka akan menjawabnya dengan lantang, tanpa dibumbui sedikit pun ragu, dengan kata-kata semacam: "sekarang kami sedang saling mencintai". jika ditanya untuk berapa lama atau akan dibawa ke mana, mungkin mereka juga akan menjawab dengan "semampu kami bahagia dan ke mana pun tuhan mengizinkan"

Sabtu, 05 April 2025

kalau kalau

Diposting oleh fuyuhanacherry di 09.55 0 komentar
kalau kalau aku
kalau kalau bukan aku
kalau kalau tanpa aku
kalau kalau hilang aku
kalau kalau waktu itu
kalau kalau di situ
kalau kalau langkahku
kalau kalau kendaliku
kalau kalau situasinya
kalau kalau orangnya
beserta kalau kalau yang lain
--menyadarkanku bahwa
ideal terlalu banyak syaratnya
padahal aku cuma ingin
bahagia bersamamu
dalam kedamaian

 

home sweet dream Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review