"jatuh cinta cuma akal-akalan hormon"
Saya meyakini pernyataan tersebut sejak dipatahkan hatinya oleh seseorang — yang kalau saya pikir sekarang sih, sebenarnya belum layak-layak amat untuk hidup dan bersanding di bawah atap yang sama dengan saya — sebab, belum cukup teruji ini-itu. Padahal, rasa-rasanya, di masa itu justru saya yang merasa tidak layak bersanding dengan beliau. Hanya saja saya betah denial dan selalu melihat orang itu dalam kacamata yang berbeda. Betul, beginilah salah satu contoh pembodohan dan bukti bahwa cinta cuma akal-akalan hormon.
Kejadian
tersebut bukan terjadi saat saya belia atau abg labil, saya bisa mengklaim
bahwa saya sudah cukup dewasa saat itu secara akal sehat dan tindakan. Jadi
tidak ada alasan untuk melempar kesalahan pada kenaifan masa muda saya. Saya
juga sudah banyak mewanti-wanti diri saya sendiri untuk tidak terlalu terbawa
perasaan jika ada orang iseng—tidak jelas intensinya—yang mengetuk pintu. Tapi
rupanya yang namanya hormon, sulit untuk benar-benar mengendalikannya.
Terkadang, kedatangan perasaan berdebar dan gundah gulana itu pun tidak dapat
diprediksi, jadi saya tidak begitu waspada dan tidak pernah siap untuk
menyambutnya. Dan begitulah, saya pun jatuh cinta lagi, berharap lagi, lalu
sakit hati lagi.
Siklus
pembodohan diri semacam itu terus saja menimpa saya yang cukup fakir dalam
pengalaman asmara. Paling tidak, mungkin sudah 3 kali saya mengalami situasi
serupa. Sehabis dipatahkan, biasanya saya mengamuk pada diri saya sendiri,
kemudian berjanji untuk tidak mengulanginya lagi, tapi selang beberapa waktu
setelah dirasa cukup lama memberi jeda bagi perasaan saya untuk ‘hidup’
kembali, terjeratlah saya pada rasa bosan. Kemudian sedikit-sedikit saya mulai
membuka pintu; lagi.
Kemudian jatuh
lagi, dan babak akhirnya tentu sudah dapat diprediksi; kecewa lagi. Saya
sendiri heran, seperti ada yang salah dalam cara otak saya bekerja. Sejauh ini,
saya cukup rasional jika berkaitan dengan hal-hal profesional dan pengambilan
keputusan penting. Tapi soal cinta, rasanya mau dievaluasi berapa kali pun akan
tetap begitu-begitu saja; sudah seperti sesi evaluasi tahunan dalam acara
kepanitiaan-kepanitiaan kampus yang tiap tahun kemajuannya nyaris nihil. Mau
dihadapi dengan berbagai himbauan dan strategi sesiap siaga apa pun, sepertinya
tidak akan pernah ada manusia yang benar-benar siap untuk patah hati.
Lalu saya sadar, bahwa seberapa kali pun seseorang jatuh cinta, dia tetaplah akan menjadi pemula. Sungguh, di dunia ini tidak ada yang namanya suhu atau si paling dokter cinta, semuanya sama — pada intinya, akan membuatmu menjadi bodoh, tolol, dan celaka. Kalau belum bodoh, bisa dipertanyakan validitasnya. Dalam imajinasi saya, saat kita memilih untuk merasakan bahagianya jatuh cinta, kita harus menukarkan salah satu hal yang kita punya — kewarasan. Sudah seperti bertransaksi dengan iblis.
Duh, kok saya bisa seskeptis itu, ya? Tapi memangnya, di usia saya sekarang—25 tahun—apakah masih pantas berpikir bahwa jatuh cinta adalah suatu hal yang menyenangkan, berbunga-bunga, dan penuh kegembiraan? Menurut saya sih, naif.
Sampai di suatu titik, secara tidak sengaja saya bertemu dengan cinta yang baru, lagi. Kesempatan untuk mempelajari dan mengulik hakikat tentang 'cinta' kembali lagi. Entah kenapa saya bisa dengan yakin menyebut itu sebagai ‘cinta’. Yang jelas, ini bukan tipikal ‘pandangan pertama’. Saya telah mengenalnya sejak berada di bangku SMA, dia teman lama. Di sini, saya belum benar-benar yakin, sehingga saya tidak menaruh curiga terhadap kemungkinan buruk yang akan terjadi seperti yang sebelum-sebelumnya. Anggap saja nothing to lose.
Kami bertemu secara tidak sengaja saat sama-sama sedang menunggu kereta di stasiun kecil yang ada kampung halaman kami. Stasiun itu cukup jarang dijadikan titik pemberhentian, seringkali kereta hanya sekadar numpang lewat untuk menebus jarak menuju stasiun berikutnya (yang lebih besar). Jadi bisa dipastikan kereta ini cukup sepi, terutama jika bukan hari libur nasional. Sebelum menyapa, dia tersenyum dari kejauhan--senyum yang sama seperti yang saya kenali darinya sejak zaman SMA. Tangannya melambai ke arah saya, kemudian langkah kakinya mulai mendekat, sedang saya masih berdiri di tempat dengan tas dan koper yang saya bawa.
"Safira? Lama gak ketemu!"
"Iya ... long time no see, San," jawabku, dan ikut menyambut senyumnya.
Kami pun mencari tempat duduk yang tak jauh dari situ, kemudian mengobrol sedikit, orang-orang zaman sekarang menyebutnya
‘update kehidupan’. Dengan waktu sekitar limabelas menit yang
tersisa sebelum akhirnya kereta yang saya tunggu datang, saya sudah bisa
mendapat beberapa informasi tentang dia; 1) Hasan, nama panggilannya, saat ini
menjadi seorang akuntan di salah satu BUMN cabang Semarang; 2) dia sudah lama
tidak pulang kampung karena kesibukannya di kota; 3) dia sedang menyandang
status ‘lajang’, baru putus dengan mantan kekasihnya akhir tahun lalu.
Sependek itu
saja informasi yang saya dapatkan. Tapi, yang bersangkutan meminta nomor
whatsapp saya, karena kami memang sudah tidak punya kontak satu sama lain lagi
sejak lulus SMA. Saya keluar grup kelas karena hanya memandang pertemanan kelas
sebagai interaksi transaksional, dan dia sempat ganti nomor pula.
Di kereta, saya
renungi sejenak pertemuan tak disengaja tadi. Kok bisa ya, tiba-tiba bertemu?
Apakah ini pertanda? Saya punya banyak pertanyaan yang menjurus pada
pengandaian; terbayang skenario dari A-Z seperti di film-film.
Menurut
pandangan saya, Hasan yang seperti itu bisa dikategorikan sebagai orang yang
cukup mapan untuk usianya. Saat kami SMA, dia memang tergolong orang yang
pintar, selalu menduduki peringkat 5 besar di kelas kami yang tergolong kelas
unggulan. Jadi saat mengetahui dia bekerja di instansi pemerintah (yang
biasanya diidam idamkan mertua) saya tidak begitu kaget, cukup sesuai dengan
kemampuannya yang saya tahu.
Sedangkan saya
orang yang konsisten menjadi ‘orang biasa’ sejak SMA. Saya yakin, dia pun tidak
terkejut ketika mengetahui bahwa saya bekerja sebagai bagian administrasi di
kantor swasta dengan gaji UMR Yogyakarta lebih sedikit. Tidak ada yang special
dari saya, sejak dulu. Jadi saya pun sebenarnya tidak pernah muluk-muluk dalam
urusan jodoh, kriteria yang saya punya sekadar: seiman, sehat, dan mencintai
saya saja.
Baru saja
20menit kereta berjalan, saya mendapat pesan di aplikasi hijau dari sosok yang
baru saja mampir di pikiranku barusan.
[ Saf,
ini nomerku yaa :) ]
Kalau menurut
standar tiktok, gaya ketikan orang ini pasti sudah dianggap sebagai ‘typing ganteng’.
Saya tidak mengerti apa urgensinya orang-orang penghuni aplikasi yang sangat
saya skeptiskan dan sering disebut sebagai aplikasi kandang monyet itu membuat
standar-standar tertentu dalam segala lini perilaku orang. Yang seperti ini
dianggap ‘typing ganteng’ karena sesuai ejaan, dan kata terakhir menggunakan
dua huruf vokal berulang, katanya. Mungkin lawan dari itu—typing jelek
ditandai dengan penulisan yang tidak sesuai ejaan atau dikurang-kurangi dari
yang seharusnya? Saya kurang tahu tentang itu.
Begitu menemukan
stiker yang pas untuk menjawab pesannya, saya segera kirimkan, kemudian diikuti
dengan ucapan lain.
[ keretamu
udah berangkat san? ]
Tak perlu
menunggu lama, pesan itu sudah mendapat balasannya kembali.
[ Udah
nih. Ttdj yaa, kapan-kapan, kita ngobrol lagi ]
Saya kembali
mengirimkan stiker, kali ini berbentuk hutao yang sedang mengacungkan jempol.
Saya mendapatkan stiker itu dari kawan saya yang otaku, dan saya rasa lucu saja
bentuknya sehingga saya pilih stiker itu untuk dikirim.
Setelah itu,
saya kira pesan akan berhenti begitu saja, namun rupanya ada satu bubble yang
kembali masuk.
[ Wait,
kamu main Genshin Impact? ]
***
Beberapa hari setelah pertemuan itu, saya kerap saling berbalas stori Whatsapp dengan Hasan. Tentu kami tidak mabar Genshin Impact, soalnya saya memang bukan pemain gim kikir itu. Stiker hutao itu semata-mata saya simpan karena lucu saja, bukan karena saya paham dan kenal dengan karakternya. Tapi siapa sangka setelah mengirim stiker iseng itu Hasan malah banyak bicara tentang kebiasaannya bermain Genshin Impact dua tahun terakhir ini? Saya kurang paham, tapi berusaha menyimak. Bukan kali pertama pula saya berada di posisi ini—kawan saya yang mengirimkan stiker itu pada saya juga kerap sambat perihal dunia gaming yang saya tidak begitu bisa memahaminya itu. Tapi saya selalu senang setiap mendengar dia bercerita tentang hal-hal yang dia sukai.
Akhir-akhir ini,
obrolan kami seputar apa yang kami bagikan di story Whatsapp,
kadang saya mengunggah foto makanan yang saya beli, atau potret suasana yang
ada di hadapan saya. Sedangkan Hasan terkadang memposting fotonya saat bersama
dengan teman-temannya, atau berita-berita politik yang hangat akhir-akhir ini.
Tentu, dia bukan tipe orang yang minim pergaulan seperti saya. Dari zaman
sekolah, dia memang cukup dikenal aktif dan mudah bergaul, jadi saya tidak
heran jika dia sering memposting kegiatannya bersama dengan orang-orang di
sekitarnya.
Hanya saja terkait dengan politik, saya agak gusar sedikit. Hasan ternyata pendukung omke gas.
Dia terang-terangan beberapa kali membuat story terkait
presiden yang terpilih tersebut, dan setelah saya bertanya, dia pun mengatakan
bahwa si gendut punya kapasitas yang bagus dalam memimpin negara, dengan latar
belakang militer dan kegigihannya mencalonkan diri berkali-kali.
Saya menanggapi
beberapa balasan pesan dari Hasan dengan mengerutkan dahi berkali-kali,
kemudian termenung sebentar. Saya menyadari ada sesuatu yang berbeda dalam
momen jatuh cinta saya kali ini—saya tidak merasakan patah hati seperti yang sebelum-sebelumnya. Rasanya biasa saja, walau ada rasa kecewa sedikit yang entah muncul dari mana. Rupanya, jatuh cinta di umur ‘dewasa’ tidak
sepenuhnya murni, ya? Bahkan perbedaan pandangan politik pun cukup berpengaruh
terhadap perasaan. Padahal dia sudah cukup melebihi kriteria yang saya pasang untuk diri saya sendiri; cerdas
(walau sekarang saya cukup skeptis juga), mapan, wajahnya manis, tinggi, ramah
dan hangat. Atau sebenarnya, ini belum benar-benar jatuh cinta? Hanya perasaan
senang dan nyaman sesaat saja?
Setelah saya
pikirkan lebih dalam, sebenarnya wajar saja. Toh, jatuh cinta itu cuma
akal-akalan hormon, bisa naik bisa turun. Di usia dewasa, rupanya cinta saja
memang tidak cukup—yang membedakannya dengan jatuh cinta pada masa yang lebih
muda; jatuh cinta di usia dewasa perlu ada komitmen dan tanggungjawab untuk
membuatnya tetap bekerja; oleh karena itu, banyak syarat dan pertimbangannya.
Tapi dengan begitu, paling tidak kalaupun disakiti sewaktu-waktu, bisa lebih
menenangkan diri dengan "paling tidak, orang yang menyakitiku ini sesuai
dengan kriteria, jadi sakitnya tidak dua kali lipat" karena bayangkan
saja apabila sudah menolerir kekurangannya dan menjadi permisif meski tidak
sesuai kriteria, tapi masih juga disakiti? Tidak ada satu pun produk asuransi
yang bisa menanggung kerusakannya.
Lagipula, menurut saya, jatuh cinta sebenarnya tidak perlu diperlakukan sebagai sesuatu yang seekslusif itu. Tidak perlu pula menjadi sesuatu yang berlaku sekali seumur hidup--bisa saja berkali-kali, dan itu valid-valid saja. Sejatinya, cukup dijadikan bumbu kehidupan yang kesenangannya mungkin saja hanya dipanen di beberapa musim tertentu saja. Jika berpikir seperti itu, maka ekspektasi kita tentang ‘jatuh cinta’ tidak akan setinggi menara nasional yang sepadan dengan rasa sakitnya (apabila terjatuh). Bukan berarti jatuh cinta seperti ala ala film romantis itu mustahil dan sepenuhnya imajinatif, melainkan agak ‘overrated’ saja, kalau menurut bahasanya para sinefil.
Selagi kita
dapat menikmatinya walau sementara, walau diakhiri dengan tangisan, paling
tidak cukup memberikan ruang bagi hati kita untuk bisa merasakan energi yang
hangat, jadi tidak perlu lama-lama juga tidak apa-apa.
Seperti halnya kereta
yang melaju melewati stasiun-stasiun kecil di pelosok itu, cinta kadang hanya
numpang lewat untuk menebus jarak menuju pemberhentian selanjutnya, di stasiun
yang lebih besar sebagai tujuan akhirnya.