Minggu, 01 November 2015

[orifict] hujan empat juni

Diposting oleh fuyuhanacherry di 16.22 0 komentar
Besok adalah tanggal 4 Juni, yang merupakan hari kelahiran Lisa.

Dan gadis itu belum siap menghadapi esok hari.

Bukan, bukan karena dirinya belum siap menerima kejutan ulangtahun dari teman-teman atau keluarga—karena di samping hal itu terasa mustahil baginya, bukan itu pula alasannya. Bukan pula karena dirinya takut bertambah tua dan semakin mendekati ajal, tapi karena ia takut kehilangan orang yang menyayanginya lagi.

Anggap saja ia telah merasakannya tahun lalu. Di hari yang seharusnya dihiasi dengan sinar sinar kebahagiaan, justru saat itu adalah hari yang dipenuhi kegelapan dikarenakan satu sebab yang tak bisa terlupakan oleh ingatan Lisa.

Ibunya meninggal.
.

.

.

{original fiction}
hujan empat juni © fuyuhanacherry


.

.

.




semua ini berawal dari sebuah buku yang ia baca beberapa hari sebelum hari itu 

 .
.

.


Pada satu hari sebelum ulangtahunnya, Lisa baru selesai membaca sebuah buku—yang sebenernya bukan ‘genre-nya’. Hanya saja, ia meminjamnya dari perpustakaan sekolah karena rekomendasi dari kak Wina, yang menurut wanita itu sangat bagus. Dan rasa penasaran membuat gadis berambut sebahu itu berpaling dari selera bacanya yang biasa.

Genre dari buku yang ia pinjam itu adalah horror, yang bahkan tak pernah sekali pun ia sentuh buku bergenre itu sebelumnya. Hal yang menarik dari buku ini adalah, jalan ceritanya yang melibatkan ramalan, kutukan, dan tanggal lahir Lisa—ya, tanggal empat Juni.

Lisa pikir tidak ada yang aneh dengan tanggal itu. Buktinya, dia baik-baik saja setiap dia berulang tahun. Bahkan tidak ada yang istimewa—karena tak ada seorangpun yang saat itu ingat bahwa ia ulangtahun, bahkan keluarganya sekalipun.

Menurut buku yang dibacanya itu, jika terjadi hujan pada tanggal 4 Juni, akan terjadi hal buruk bagi sebagian orang.

Ah, iya, Lisa melupakan tentang ‘hujan’ yang disebutkan sebagai syarat di dalamnya. Seingatnya, di tahun-tahun sebelumnya, memang tidak terjadi hujan pada tanggal tersebut, karena normalnya ‘kan bulan Juni itu musim kemarau.

Apa mungkin jika tiba-tiba turun hujan?

Sepertinya buku itu terlalu mengada-ada agar pembacanya ketakutan. Dan nampaknya hal itu tak berlaku pada Lisa. Gadis itu bersikap cuek saja, sampai pada keesokan harinya, semua itu berubah.




Naila, si juara kelas yang merupakan peringkat satu paralel di sekolah menangis kencang di jam pertama pelajaran, saat pembagian hasil ulangan berlangsung.

Saat ditelusuri, ternyata karena masalah nilai.

Dia mendapatkan nilai 30 di mata pelajaran matematika.

Padahal gadis berambut kepang dua itu pernah mendapatkan juara satu olimpiade matematika di tingkat provinsi.

Kenapa bisa?

Yah, wajar saja jika dia menangis hal seperti itu. Anak-anak lain juga tidak pernah menyangka, Naila mendapatkan nilai rendah, padahal yang lain saja mendapat nilai di atas kkm.

Lisa yang ikut merasa prihatin pada akhirnya beranjak dari kursinya menuju tempat duduk Naila. Kemudian menepuk bahu gadis itu, pelan. “Tidak apa-apa. Ini hanya kebetulan kamu tidak fokus saat mengerjakan soal. Untuk selanjutnya kamu pasti dapat nilai sempurna.”

“Tapi saat itu aku benar-benar belajar dengan tekun, kautahu?! Ini pasti ada yang salah dengan pengoreksiannya!”

Lisa mulai melangkah mundur, dia tidak bisa melawan seorang gadis yang sedang terpuruk.

Sebenarnya, ada satu hal yang ia pikirkan saat itu.

Dia baru menyadari, bahwa di luar jendela, tetes-tetes air jatuh denga perlahan.

Gerimis.




Sepulang sekolah hujan deras. Entah kenapa rasa takut tiba-tiba menyerang perasaan Lisa begitu saja. Hari ini memang tidak ada seorangpun yang memberinya ucapan ulangtahun, tapi bukan karena itu ….

“Eh, Lisa!”

Suara seseorang mengagetkannya dari lantai dua—tepatnya di depan perpustakaan. Ternyata Wina. Si penjaga perpustakaan itu melambai-lambaikan tangannya, lalu berjalan cepat-cepat menuruni tangga sambil berkata, “Selamat ulang taaa—AAAAh!”

Wina terjatuh dari tangga.

“A-astaga … kak Wina!”

Lisa dengan segera berlari ke arah tangga, di mana wanita paruh baya itu tergeletak tak berdaya dengan posisi badan yang menyilang di anak tangga nomor empat sampai tujuh dari atas.

Dengan takut-takut, Lisa menolong wanita itu. “Kak Wina gimana? Ayo ke UKS?”

“Ah tidak perlu, Lis. Hanya lecet sedikit, kok ….”

“Tapi kan—”

“Sssst sudah, Tidak apa-apa. Masa’ ingin mengucapkan selamat ulang tahun tapi malah merepotkan yang ulang tahun hahahaha”

“Ahahaha ngomong-ngomong, kok kak Wina bisa tahu kalau aku ulangtahun?”

“Dari kartu perpus.”

Benar juga, di kartu perpus kan memang ada data dari siswa.

“Ah, ya, terimakasih. Kakak adalah orang pertama yang mengucapkannya di tahun ini.” ucap Lisa yang kemudian memeluk wanita itu.

Yang sudah seperti ibunya.

Bahkan melebihi ibunya yang selalu sibuk dan tak pernah meluangkan waktu untuknya.

Bahkan ibu kandungnya belum mengucapkan selamat ulangtahun padanya hari ini.

Pasti alasannya ‘sibuk’. Tahun kemarin juga seperti itu, jadi, dia tidak heran lagi.

Hujan masih tak kunjung berhenti. Kemudian Lisa kembali diingatkan dengan buku ‘itu’ lagi.
“Kak Wina juga tidak bawa payung, ya?”

“Ahahaha tentu. Siapa sangka di musim kemarau seperti ini akan hujan?”

Lisa terdiam sebentar, lalu memberanikan diri berkata, “Menurut kakak, yang dikatakan buku itu benar, tidak?”

“Buku yang man—ohhh yang kamu pinjam kemarin itu?”

Lisa mengangguk cepat.

Wina terlihat sedang memikirkan sesuatu, kemudian menjawab secara perlahan, “Ah aku baru ingat kalau yang dituliskan di buku itu adalah hari ini. Tapi, apa mungkin bisa begitu, ya?”

“Buktinya tadi kak Wina jatuh dari tangga.”

“Itu sih cuma tergelincir. Akunya saja yang tidak hati-hati.”

“Tapi ‘kan tetap saja, itu namanya hal buruk.”

Keduanya terdiam. Sebenarnya cukup masuk akal. Tapi, apakah mitos fiksi seperti itu memang benar adanya? Rasanya tidak mungkin.

Tak lama setelah mereka terdiam, seorang anak laki-laki berlari ke arah mereka dengan payung birunya. Laki-laki itu nampaknya sedang panic akan sesuatu. Tapi … kenapa dia berlari ke arah Lisa?

“Eh, Rendi. Ada ap—”

“Lisa! Ibu kamu!!”

“Hah?”

“Ibu kamu kecelakaan di depan sekolah!”

“…”

Lisa masih diam membeku di depan anak laki-laki—yang merupakan tetangganya itu. dia masih menccerna perkataan dari seseorang yang ada di hadapannya saat ini.

“Ibunya?

Kecelakaan?

Di depan sekolah?

Kenapa dia bisa ada di sana?

Kenapa hal yang membawanya ke sini membuatnya mengalami hal buruk?



“Dia ingin mengantar payung untukmu. Dan saat menyebrang ke sekolah, malah tertabrak mobil.”

“Tidak mungkin. Dia ‘kan sibuk—”

“Tapi memang begitu. Kamu ingin dibebaskan dari masalah? Jelas-jelas ini melibatkan kamu sebagai anaknya, kamu ingin kabur begitu saja?”

Lisa terdiam. Saat ini, dia dan Rendi sedang berada di depan ruang UGD rumah sakit. Dan pada saat itu, air mata Lisa mengalir deras dari pelupuk matanya. Rendi yang masih berdiri di hadapan Lisa kemudian ikut menduduki kursi yang tengah diduduki oleh gadis itu, lalu menepuk pundak Lisa.  “Tidak apa-apa. Manusia memang begitu. Maaf telah membuatmu menangis.”

“Tidak, tidak. Ini bukan karena kamu. Maaf. Jadinya malah aku yang merepotkanmu ….”

Jeda sebentar pada percakapan mereka, sampai kemudian Lisa menghapus airmatanya, dan berkata, “Menurutmu, ayahku ke sini, tidak?”

Laki-laki yang masih menggunakan seragam yang serupa dengan yang Lisa gunakan tersenyum tipis, agak dibuat-buat karena sebenarnya dia juga sedih melihat temannya seperti ini. “Pasti. Jangan khawatir. Mereka menyayangimu.”

“Apa—”

“Orangtuamu.”

Lisa menghela nafas sebentar. Dan tak lama setelah itu, seseorang tiba-tiba keluar dari ruangan.

“Apa kalian anggota keluarga dari ibu Ratna?”

“Saya anaknya,” jawab Lisa dengan segera.

“Itu … maaf, kami sudah berusaha membantunya sebisa kami. Tapi—”

Perlahan telinga Lisa menjadi tuli dan tak dapat mendengar perkataan dari seorang suster yang ada di hadapannya saat ini.

Walau begitu, dia sudah tahu apa maksudnya.

Kenyataan yang begitu menyeramkan.

Dan sejak saat itu, yang bisa Lisa lakukan hanyalah berdoa untuk kepergian ibunya.

Dan berhenti membaca buku-buku horror yang sebenarnya memang tidak pantas untuknya.

.

.

.

-END-

.

.

.

a/n :

hae gaessss ish ternyata ulya bisa produktif #NGGA sebenernya masih banyak utang sih hahahaha tapi malah ngerjainnya yang random begini……………………………sebenernya bingung juga kenapa tbtb jadi suka bikin yang mistis mistis(?) begini ah sudahlah mungkin aku sudah beralih dari aliran romens romens #nggajugasih

sign,

ulya

Kamis, 29 Oktober 2015

[drabble] jam tiga lebih limabelas menit

Diposting oleh fuyuhanacherry di 17.57 0 komentar
Mika mengernyitkan alis. Di hadapannya saat ini, awan mendung terbentang luas memenuhi langit yang menjadi atap dunia. Di bawah lindungan atap halte—yang tak jauh dari sekolah—yang biasa menjadi tempatnya menunggu bus untuk pulang, gadis berumur limabelas tahun itu berdiri, sambil berharap, bus yang ia tunggu segera datang sebelum tetesan-tetesan air hujan menerpa sekeliling.

Tak lama setelah itu, rintik-rintik air jatuh bergantian menabrak aspal, yang menciptakan bunyi cipratan-cipratan air di telinganya. Benar-benar seperti dugaan. Dan saat ini, gadis itu sendirian.

Tiba-tiba, suara hentakan kaki seseorang mengejutkannya. Ya, ada seorang laki-laki berkacamata yang berlari ke arah halte dengan sebuah tas hitam yang ia gunakan untuk berlindung dari serangan air hujan—walau sebenarnya percuma saja, bajunya tetap basah.

Setelah laki-laki itu sampai di halte, ia menghela nafas sembari menundukkan wajahnya, lesu. Sampai kemudian dia menyadari keberadaan Mika di dekatnya yang sedang memandanginya dengan tatapan penasaran.

“Sekarang jam berapa, ya?”

Ada angin dan ada hujan, dan ucapan laki-laki itu sontak mengejutkan gadis yang masih mengenakan seragam sekolahnya di sana. Dengan segera Mika mengangkat tangan kirinya, melihat letak jarum jam tengah meunjukkan angka berapa.

“Jam tiga lebih limabelas menit.”

“Ah, sial.”

“Kenapa?”

“Eh?”

… ah, Mika menyesali dirinya yang bertanya seakan peduli dengan orang tak di kenal di sebelahnya itu. dipandanginya sekali lagi laki-laki yang tingginya melebihi tinggi badannya, menggunakan kaos biru muda dan celana hitam panjang. Jika dilihat dari wajahnya, dapat dipastikan bahwa umur laki-laki ini lebih dari duapuluh tahun. Mungkin saja.

“Ada apa?”

Laki-laki itu berucap sekali lagi setelah menyadari bahwa Mika tidak berniat menjawab “Eh?” darinya barusan.

“Tidak. Maaf terkesan ikut campur.”

“Tidak apa-apa, kok. Aku pikir malah bagus jika kamu bertanya. Kamu dari SMU Teikou, ‘kan?”

Mika mengangguk pelan. Orang itu pasti mengetahuinya dari seragam yang ia gunakan, pikir Mika.

“Aku seharusnya pergi ke SMU Teikou sekarang, untuk mengurusi pendaftararanku. Tapi malah hujan dan aku tidak membawa payung.”

Eh?

Sekarang malah Mika yang bingung. Mengurusi pendaftaran? Orang setua ini?

“Maksudku pendaftaran sebagai guru ahahaha” Seakan tahu akan kebingungan Mika, laki-laki itu menjelaskan maksud pernyataan sebelumnya.

“Oh … guru, ya.”

Setelah itu hening. Sebenarnya Mika tidak mengerti alasan laki-laki itu tak melanjutkan perjalanannya ke sekolah, padahal tinggal berjarak beberapa-ratus-meter saja dari halte itu berada.

Mungkin menunggu hujan reda?

Suara klakson bus dari arah kanan membangunkannya dari pikiran-pikiran tidak jelas itu. Sesampainya bus itu berhenti tepat di hadapannya, ia langsung beranjak naik dan duduk di kursi yang masih belum terisi penumpang.

Bus melanjutkan perjalanannya setelah mendapat satu penumpang dari halte tadi. Dari jendela, Mika memantau laki-laki berkacamata tadi yang masih saja berdiri di sana sendirian.

Ya, sendirian saja sampai kemudian seorang perempuan datang dan berpelukan dengannya.

Yang tadi itu apa?

Rasanya semua ini hanya bunga tidur yang tak dapat ia simpan terlalu lama dalam otaknya. Semua ini akan segera terlupakan, ‘kan, tuhan? Mika membatin dalam suasana hati yang redup, ditemani rintik-rintik air hujan yang tak kunjung usai menjatuhi semua yang ada di atas tanah kota ini.

-END-


a/n :

eheh yeayyy bisa nulis drabble lagi #kokbangga

sign,


ulya

Minggu, 25 Oktober 2015

[orifict] bunga di musim dingin

Diposting oleh fuyuhanacherry di 21.05 0 komentar
Lisa adalah gadis kutu buku. Jika bukan sedang berkunjung ke perpustakaan, orang-orang pasti dapat menemukannya di dalam kelas—tentu dengan buku yang biasa ia baca sepanjang waktu. Namun sayangnya, dia sering kali lebih memilih untuk membaca buku fiksi dibanding non-fiksi atau buku-buku pelajaran sekolah. Karena hal itulah, walau dia seorang kutu buku, prestasi akademiknya tak begitu istimewa.

Rambutnya selalu ia ikat dua di samping kanan-kiri ke bawah dengan pita yang ia koleksi sedari SMP. Poni lurusnya tak pernah mengganggu kegiatan membacanya. Penampilannya selalu seperti itu, yang tentu saja memudahkan orang untuk mengenalinya. Yah, walau dia tak memiliki banyak teman, sebenarnya.

Akhir-akhir ini, dia sedang menyukai sebuah karya novel fiksi bertema fantasi dari seorang penulis lokal. Menurutnya, cukup hebat ada penulis lokal yang bisa membuat kisah fantasi semenarik ini baginya. Ceritanya tentang seorang gadis yang terjebak di dunia lain setelah melewati sebuah pintu misterius. Cukup mainstream, memang. Namun kelanjutannya benar-benar membuat Lisa ingin membacanya lagi dan lagi. Tulisan-tulisannya tergambar sangat nyata di otaknya. Dan yang membuatnya agak merasa kecewa adalah, tidak ada biodata atau pun kata pengantar dari si penulis. Nama yang tertera sebagai penulis di buku itu pun sepertinya hanya nama pena, karena menurutnya cukup aneh jika ada manusia yang memiliki nama seperti itu. Nama yang tertulis di sana adalah ‘’bunga musim dingin”. Ditulis menggunakan lowercase. Entah apa maksud dari nama penanya itu, menurut Lisa, cukup misterius.

Mengesampingkan pikirannya yang makin berlari menjauhi situasi normal, Lisa pun akhirnya mencari tahu nama penulis tersebut di situs pencarian; google. Namun, bukannya si penulis yang ditemukan, melainkan beberapa judul cerita pendek dari situs situs maupun blog. Yah, namanya juga bukan seperti nama manusia, jadi memang susah juga mencarinya. Yang sudah pasti ia ketahui dari si penulis adalah fakta bahwa si penulis adalah orang lokal, karena penerbit buku yang menerbitkan bukunya merupakan penerbit yang khusus untuk menerbitkan buku-buku lokal. Nama penanya juga berbahasa Indonesia. Apa mungkin, dia tanyakan saja ya, ke penerbitnya ? Ah, konyol. Padahal hanya dengan rasa penasaran, dirinya jadi memikirkan hal-hal sepele itu sampai sejauh ini.

Memang, lebih baik tetap diam dan menikmati karyanya saja. Tak perlu memikirkan hal-hal lainnya.

Tapi, bagaimana jika ….

Sebenarnya si penulis itu tidak ada?

Pikiran Lisa semakin kacau saja.

***

Hari ini adalah hari pengembalian buku Lisa yang dipinjamnya seminggu lalu. Seorang diri gadis itu menaiki tangga ke lantai dua—tempat di mana perpustakaan sekolah berada. Dan ketika dirinya sudah berhadapan dengan wanita penjaga perpus, ia segera menyerahkan buku yang ia bawa sampai pada akhirnya buku itu berada di tangan wanita tersebut.

Namun tiba-tiba si penjaga perpustakaan tersebut memandang ke arah Lisa, takut-takut.

‘’Kamu … meminjam buku ini ?’’ Sambil mengangkat buku bersampul gambar seorang gadis bergaun merah, si wanita tersebut berbicara pelan.

‘’Iya. Kenapa, ya?’’ jawab Lisa yang sontak merasa waswas melihat ekspresi seseorang di hadapannya.

‘’Kamu mau tahu, kisah sebenarnya di balik buku ini ? Ah, sebaiknya kita membicarakannya lain kali saja. Itu pun jika kamu ingin.’’

‘’Aku mau tahu !’’  Lisa menjawab dengan antusias. “Kalau begitu, bagaimana kalau nanti sepulang sekolah? Oh, iya, aku belum tahu siapa nama Anda. Perkenalkan, aku Lisa.” Lisa mengulurkan tangan kanannya.

Perempuan yang ada dihadapannya pun membalas uluran tangannya. “Ya, Lisa. Panggil saja aku Wina … atau Kak Wina. Umurku belum lebih dari duapuluh tahun, kok, ahahaha.”

Tangannya dingin. Mungkin karena suhu di dalam perpustakaan ini memang dingin, Lisa membatin.
“Oke, Kak Wina. Jadi, bagaimana kalau sepulang sekolah saja?”

Wanita berseragam khusus penjaga perpustakaan itu pun mengangguk, menyetujui.

***

Jarum jam yang ada di dalam jam tangan hitam milik Lisa telah menunjukkan pukul tiga sore. Dirinya tidak langsung pulang ke rumah, tentu karena perjanjian tadi dengan Kak Wina. Rasa penasaran yang berlebih benar-benar membuatnya tak kuasa untuk menghapus pikiran-pikirannya tentang si penulis misterius tersebut.

“Ah, hai Lisa!” Seseorang memanggilnya dari arah tangga. ‘’Maaf membuatmu menunggu lama ahahaha.’’

‘’Tidak, kok. Aku juga belum lama di sini, Kak.’’ 

Sepintas dan secara tak sengaja, Lisa melihat percikan cahaya di belakang langkah perempuan itu. Tidak, itu pasti hanya penglihatannya yang sedang tidak bagus.

‘’Jadi, mau mulai darimana ?’’

‘’Ya … terserah saja. Tapi yang aku benar-benar ingin tahu adalah masalah si penulis buku itu. Namanya aneh. Dan dia tidak mencantumkan kata pengantar atau apa pun tentangnya di buku itu.’’

‘’Kalau itu, bagaimana aku menjelaskannya, ya ….’’ 

‘’Eh ?’’

‘’Ah tidak tidak. Maksudku, baiklah akan kuceritakan.’’ Mula-mula, perempuan itu duduk di kursi yang tak jauh dari tempat mereka berdiri, dan Lisa pun mengikutinya. Kemudian ia mulai bercerita, ‘’Kau pasti tak akan percaya. Tapi sebenarnya, penulis buku itu adalah adikku.’’

‘’Hah ? Tidak mungkin.’’

‘’Aku tahu kau akan berkata begitu.’’ Wina tersenyum, kemudian melanjutkan. ‘’Dia masih seumuran denganmu saat itu. Sebenarnya aku cukup terkejut ketika tahu bahwa naskah adikku diterima oleh penerbit. Tapi setelah kubaca, memang menarik. Yah, dia tidak pernah menunjukkan karyanya kepada keluarga secara langsung. Dan dia selalu mengurung diri di kamar. Hanya aku yang terkadang masuk ke kamarnya dan menemaninya. Entah sedang menulis, menggambar, ataupun sibuk mengerjakan tugas sekolah. Sampai pada suatu saat ….’’

Jeda pada perkataan Wina yang cukup panjang sedikit membuat Lisa bergidig ngeri untuk mendengar kelanjutan ceritanya.

“Dia menghilang, tak lama setelah buku itu diterbitkan.”

“Eh? Kok bisa? Itu nggak mungkin, ‘kan—”

“Kenyataannya begitu,” ucap Wina dengan nada lirih. “Dicari ke mana pun, tetap tak ketemu. Sampai kami melaporkannya ke polisi, tetap saja tidak ketemu. Kejadian itu dua tahun lalu. Ah, sudah cukup lama ….”

Perasaan Lisa terasa tersayat dengan kisah yang diceritakan oleh Kak Wina. Ini tidak mungkin, bukan? Ini dunia nyata, bukan fiksi seperti yang ada dalam buku adik Kak Wina itu.

Atau jangan-jangan.

“Adik kakak menghilang tak lama setelah buku itu diterbitkan?”

Kak Wina mengangguk pelan.

Saat ini, sebuah pemikiran tengah berkeliling di dalam otaknya. Pemikiran yang sangat gila, tapi kenyataan sepertinya lebih gila dari itu.

“Adikmu sepertinya telah mengalami kejadian seperti yang ada pada bukunya.”

Seketika, keaadaan menjadi hening.

“Kalau begitu ....”

"Yang bisa membuatnya kembali, ada pada buku itu juga?"

"Ah iya. Dia menceritakan bahwa gadis di dalam novelnya bisa kembali dengan kode rahasia yang diucapkan oleh salah seorang manusia dari dunia aslinya," jelas Lisa, berlagak serius.

"Ah, Lisa. Kamu berandai-andai. Sebenarnya, adikku itu meninggal akibat kecelakaan saat dia menyebrang jalan sepulang sekolah. Maaf telah membohongimu, ahahaha. Aku hanya mengada-ada, karena masih tidak percaya adikku meninggal begitu saja setelah karya perdananya diterbitkan. Maaf."

Lisa mengusap dahinya. Rasanya, dia memang sudah tidak waras berpikir yang tidak-tidak begitu. Pada kenyataannya, orang yang sedang dibicarakan memang menghilang dengan masuk akal. Bukan seperti yang ia pikirkan sebelum-sebelumnya.

"Justru aku yang harus meminta maaf, Kak. Aku membuatmu mengingat adikmu."

Dan tiba-tiba, seseorang menghampiri mereka dari belakang.

Semakin lama, suara langkah kakinya semakin terdengar jelas.

I-itu ....

--END--


a/n :

yeayyyy akhirnya bisa ngisi blog lagi !!!!!1111 !!!!!1

nggatau kenapa, lagi kena WB dan pas lagi ngerjain tugas geografi eh malah bikin ginian #rukyahdiri #lanjutinnugas anw ini terinspirasi dari nama penaku #NGGA kan nama penaku fuyuhana, artinya bunga di musim dingin #ngarang tapi ya gitu deh whwhwhhw maaf gaje & sebenernya ini pertama kalinya aku bikin yang agak agak misteri(?) gini weheheh endingnya gantung ya sengaja ((sebenernya si males ngelanjutinnya #HEH))


sign, ulya

Senin, 13 Juli 2015

[random drabble] jemuran

Diposting oleh fuyuhanacherry di 14.08 0 komentar
Jika diibaratkan sebuah sungai, mungkin sekarang Lisa sudah seperti sungai tanpa air. Kering dengan tanah sebagai dasarnya yang retak, mengharapkan air jatuh dari langit. Kosong.

Kali ini dia sedang menghadapi masa di mana dirinya seperti merasa tidak mempunyai apa-apa, tidak merasakan apa-apa—saking monotonnya kehidupan yang ia jalani selama ini. Bahkan langit yang mendung kala itu tak juga menyadarkan si gadis bahwa jemuran yang ia jemur di atap belum diangkat. Sampai pada suatu ketika, seseorang berteriak dari luar rumah.

“Hai nyonya! Cepat angkat jemuranmu!”

Terdengar sangat tua sekali, pikir gadis yang masih berumur tujuhbelas tahun itu, kemudian dia beranjak dan segera pergi ke atap untuk mengangkat jemuran yang ia jemur pagi tadi.

Setelah mengangkat seluruh jemuran yang tadinya menggantung berderet di sebuah tali yang biasa digunakannya untuk menjemur, sekilas Lisa mengarahkan pandangan pada seseorang yang juga sedang sibuk mengangkat jemuran di atap rumah sebelah. Sepertinya laki-laki itu yang tadi berteriak memperingatkanku, batin Lisa.

Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya Lisa melihat orang tersebut, namun entah kenapa Lisa masih merasa asing dengan orang yang baru-baru ini pindah rumah di sebelah rumahnya itu. Mereka memang belum sempat berkenalan satu sama lain, tapi bukan berarti mereka tak pernah berbincang sama sekali.

Beberapa hari lalu, pernah sekali mereka berbincang walau hanya beberapa menit saja. Saat itu mereka sama-sama sedang berdiri di atap rumah masing-masing, menatap langit yang sama dari tempat mereka berdiri. Entah apa yang sedang dua insan itu pikirkan saat itu, dan secara tiba-tiba si lelaki menyapa gadis berambut sebahu itu.

“Apa yang sedang kaupikirkan?”

Sempat diliriknya laki-laki itu sebentar, lalu Lisa kembali menatap langit. “Tidak ada. Aku tidak sedang memikirkan apa-apa.”

“Lantas, kenapa kau menatap langit?”

Si gadis kemudian menghembuskan nafasnya pelan, lalu menjawab dengan nada suara yang lirih, “Memangnya tidak boleh?”

Belum sempat si lelaki membalas perkataannya, Lisa sudah melangkah pergi ke dalam rumah.  Si pemuda menatap punggung Lisa yang semakin lama semakin menjauh dari pandangannya, sampai suatu saat termakan oleh sebuah pintu kayu. Dan tanpa Lisa ketahui, laki-laki itu sebenarnya sempat tersenyum melihatnya.

Sebaiknya, lupakan saja cerita konyol saat itu.

Karena untuk saat ini, Lisa benar-benar merasa kosong—setelah mengetahui bahwa si pemuda penghuni rumah sebelah itu adalah kekasih seniornya di sekolah.

Oh, benar, ini masih belum terlambat untuk melupakan semuanya. Dia hanya berbincang sekali dengan laki-laki yang sampai saat ini pun belum ia ketahui namanya itu.

Jadi, kemarin lusa, Lisa tak sengaja melihat pemandangan dari jendela rumahnya. Di luar sana—tepatnya di halaman rumah sebelah, tampak Yuna, seniornya tengah berbincang ria dengan sesosok laki-laki yang tak lain adalah orang yang sudah terlanjur mengambil hati Lisa dengan obrolan singkat tanpa artinya beberapa hari sebelumnya. Mereka berdua terlihat mesra sekali di mata si gadis rumahan itu. Secara lisan memang belum dibuktikan bahwa mereka adalah sepasang kekasih. Tapi Lisa bukan orang yang mudah berharap begitu saja—tidak jika seseorang itu membuatnya benar-benar jatuh dan tak bisa bangkit lagi.

—END—

a/n :

sebenernya ini entri pertamaku di acara(?) nulisrandom2015 bulan lalu wkwkwk aku publish ini di note fb, ya mayan lah buat ngisi ngisi blog

sign,

uul

[random drabble] sleep now

Diposting oleh fuyuhanacherry di 13.53 0 komentar
Sudah lebih dari sekali gadis berambut merah muda itu mengeluhkan kantuknya dalam hati. Perihalnya sebentar lagi dia harus pergi untuk les, tentu saja dia enggan meninggalkan les begitu saja hanya karena mengantuk.

Tapi sungguh, matanya benar-benar sudah tinggal menutup. Semilir angin yang menerpa kulitnya menambah rasa kantuk meraup dirinya.

“Lisa ngantuk, ya?”

Tiba-tiba seseorang mengejutkannya dari belakang. rupanya kakak sepupu laki-lakinya. Sejak kapan dia datang ke rumah? Bahkan Lisa tidak menyadarinya sama sekali.

“Ya …, tapi setengah jam lagi aku les,” ujar gadis itu lesu.

Laki-laki yang berdiri di hadapannya tersenyum, kemudian duduk di sofa yang tengah diduduki gadis itu. “Nggak papa. Lisa tidur aja. Nanti aku bangunin kalau udah waktunya berangkat.”

“Tidur cuma setengah jam? Kayaknya nggak mungkin.”

Si gadis yang kira-kira berumur empatbelas tahun itu mendesis, putus asa.

“Kalau begitu, tidur saja sepuasnya, sampai bangun. Lisa mau les apa memangnya?”

“Matematika.”

“Kalau itu, aku bisa kok mengajarinya setelah kamu bangun.” Laki-laki itu tersenyum lebar, mencoba meyakinkan.

Untuk beberapa saat, Lisa berpikir, mempertimbangkan. Sampai pada akhirnya dia setuju dengan perjanjian itu. “Oke. Janji, ya? Soalnya aku ada tugas yang belum dikerjain.”

Si laki-laki yang kelihatannya berumur jauh lebih tua dari Lisa mengangkat jempolnya, sambil berkata, “Sip! Tenang, kamu tidur aja.”

Belum sempat menjawab perkataan kakak sepupunya itu, Lisa sudah menutup matanya dengan tubuh yang bersandar pada sofa coklat. Sepertinya, dia memang benar-benar mengantuk, pikir Hazu, nama pemuda itu. Kemudian ia menepuk kepala si gadis dengan senyum kecil, menatapnya dengan hati-hati.

Padahal, dia sama sekali tidak berniat untuk mengajarinya setelah ini. Karena dia ke sini hanya untuk mengantarkan bingkisan kue untuk tantenya—yah, bisa dibilang dia hanya berpura-pura dan setelah ini dia akan langsung pergi ke rumah tanpa menepati janjinya terlebih dahulu.

Karena yang paling penting adalah membuat Lisa tenang. Melihat perempuan itu kesusahan seperti tadi sangat membuatnya terdorong untuk melakukan hal-hal jahil yang sama sekali tidak ia rencanakan seperti yang ia lakukan barusan.

.
.
.
-END-
.
.
.
a/n :

haehae apakah ada orang

udah lama gaapdet #ditawur maaf dateng dateng langsung ngepost random begini huheuue mungkin karena aku terlalu menginginkan seorang kakak laki-laki #iyain

sign,

uul

Minggu, 22 Maret 2015

[original fiction] : iris chapter 2

Diposting oleh fuyuhanacherry di 12.11 0 komentar
iris
///////////////////////
© fuyuhanacherry

***

CHAPTER 2 : kuda di padang pasir

“Ada yang meninggal!”

Aku menggerucutkan bibir. Sebal sekali, kukira berita itu benar, ternyata hanya lelucon dari seorang anak laki-laki yang terobsesi dengan ramalan saja. Namanya Rei.

“Tapi itu benar! Dia ada di pinggir sungai!”

Aku melipat kedua tanganku di depan dada. “Sudah jelas semua orang tak menemukan siapapun di sana. Kenapa kau keras kepala sekali hah, pembohong!”

Shota yang melihatku terbawa emosi karena telah dibohongi segera menengahi perselisihan ini. Dia menyuruh kami agar tak saling bertengkar hanya hal-hal sepele semacam itu.
Sepele? Aku berpikir banyak hal setelah menengar kebohongannya itu, tau! Apa yang dia sebut sebagai hal yang sepele?

“Sudah. Sabar, Erika. Jika kau melanjutkannya, kau juga tak akan mendapat apapun, bukan?” Shota menepuk pundakku, dan menatapku hangat, sembari memasang senyumnya. Aku tak bisa terus terlihat kesal seperti ini di depannya—aku tak mengijinkan diriku sendiri untuk cemberut dan mengeluh di depan laki-laki itu. akhirnya, aku pun menghela nafas untuk menenangkan diri.

“Maafkan aku. Aku terlalu menganggap semua ini serius. Mungkin lain kali aku tak harus mempercayai perkataan-perkataan macam itu. Lagipula, tidak mungkin ‘kan?”

Shota tak menjawab. Dia lantas melepaskan telapak tangannya yang sedari tadi membebani pundakku. Lagi-lagi, dia tersenyum. Aku tak tau apa artinya. Senyumannya itu seperti pelangi di antara dua awan mendung. Senyumnya adalah penghangat hatiku, penghapus rasa pahit di hatiku, dan melenyapkan segala emosi negatifku.

Aku tak tau kenapa bisa begini. Di kelas ini, aku hanya dekat dengan Shota. Mungkin karena itu, aku merasa Shota adalah jiwa yang sangat berharga, dan aku tak berhak membuatnya cemas ataupun sedih. Kebahagiaan adalah hal yang sepantasnya diberikan kepada si mata sipit itu.

***

Kali ini, aku membiarkan siapapun memukul punggungku seratus kali.

Ini bukan kenyataan ‘kan? Tolonglah, siapapun, jangan mencoba membohongiku lagi. Tariklah semua ucapan kalian! Ini semua … bohong ‘kan?

“Erika!”

Kulihat dari arah koridor sekolah, Shota berlari ke arahku dengan wajah yang terlihat gelisah. Aku sudah tau pasti, apa yang akan diceritakannya padaku. Tak salah lagi.

Rei ditemukan meninggal di pinggir sungai.”

Dengan ketepatan pengucapan yang tiada bedanya, aku menatap wajah laki-laki itu yang terkejut.

“Kau sudah tau?”

“Tentu saja, para gadis yang baru saja kutemui di dalam kelas sangat berisik karena itu, dan menceritakannya padaku,” jawabku dengan nada datar, dan lirih.

“Pihak sekolah sudah memanggil ambulan dan akan membawanya ke rumah sakit. Dan … tak ada darah di tubuhnya,” jelas Shota seperti reporter berita di televisi.

Aku tak menjawab perkataannya, hanya mengangguk, seolah aku mengerti dan tak memikirkannya. Baiklah, aku bersikap setenang ini bukan karena aku tak bersimpati pada pemuda yang baru kemarin membuatku marah. Tapi, aku ingin mendinginkan pikiranku. Karena aku merasa terlibat dalam masalah ini.

Rei, orang yang kemarin berkata sendiri bahwa ada orang yang meninggal di pinggir sungai, sekarang justru peristiwa itu yang menimpa pada dirinya sendiri. Apakah pepatah “Perkataan adalah do’a” berlaku di sini? Jika pun iya, tak mungkin hanya gara-gara ramalan Rei sendiri. Pasti ada sesuatu yang lain.

“Erika?”

Aku merenung. Kemungkinan lainnya, Rei berusaha bunuh diri untuk menunjukannya padaku, bahwa ramalan yang dia katakana itu benar. Jadi, dia mengorbankan dirinya sendiri. Tapi, mengorbankan nyawanya sendiri demi harga diri itu sangat konyol, bagiku.

“Erika!”

Aku terperanjat, mataku terbelalak. “Ah-oh, maafkan aku, Shota.”

Laki-laki keturunan Jepang itu meletakkan telapak tangan kanannya di pundakku, dan sedikit merendahkan badannya agar kedua  matanya dapat bertemu lurus dengan kedua mataku, “Tadi, kau bersikap seperti tak memperdulikannya, tapi kau akhirnya memikirkannya juga. Jangan bodoh. Jangan pikirkan hal ini terlalu jauh. Kau bukan siapa-siapa di sini. Cobalah untuk melupakan hari kemarin.”

Aku menunduk, lalu menghembuskan nafas pendek, berusaha menjernihkan otakku dari pikiran-pikiran semacam itu—yang sudah dapat ditebak oleh Shota. Baiklah, Erika, yang kemarin itu hanya kebetulan saja Rei bertengkar denganmu.

Walau salah satu anggota dari kelas 2-F meninggal di hari itu, pelajaran tetap berlangsung sebagaimana semestinya. Namun, aku tidak dapat fokus dengan apa yang diajarkan oleh guru.

Aku ketakutan.
***
Hampir satu minggu sejak perginya Rei dari dunia fana ini. Sekarang, kelas 2-F hanya bersisa 28 orang. Dan walau berkurang satu orang, anak-anak di kelas ini tetap bersikap sebagaimana biasanya dengan keunikan masing-masing yang semakin lama, semakin membuatku terbiasa dengan mereka.
Hubunganku dengan Shota juga semakin membaik. Dia kini selalu mencemaskanku ketika aku terlihat murung, dan aku selalu mencurahkan isi hatiku ketika sedang buruk maupun senang kepadanya. Aku merasa memiliki seorang malaikat di sini, malaikat yang mengajakku terbang ke surga. Oh, tuhan, apakah aku sesenang dan seberuntung ini? Apakah dibalik kebahagiaan yang kurasakan bersama Shota, akan ada hal buruk yang terjadi?

Ketakutan kembali menyelinap ke dalam hatiku saat ini. Masih pagi, jam pelajaran belum berlangsung. Namun, aku merasa langit sangatlah mendung. Lalu, firasat-firasat buruk, pikiran-pikiran menakutkan, dan fantasi yang mengerikan merasuki diriku.

Ini … sama seperti dulu! Penglihatanku mulai memburam, mataku tak kuasa menahan rasa kantuk yang muncul secara tiba-tiba. Dan tidak salah lagi, lagu itu … lagu yang kudengar di hari pertama masuk sekolah kembali terdengar.

“… dalam masa lalu, apakah kau masih di sana?”

***

“SHOTA!”

Teriakanku menggugah diriku sendiri ke alam sadar. Ada apa ini?

Lalu, kufokuskan penglihatanku ke arah sekitar. Ternyata, aku terbaring di UKS lagi. Kondisi ruangan itu tak jauh berbeda dengan saat aku di sini sebulan yang lalu.

“Hai, Erika.”

Seorang wanita menyapaku sambil tersenyum. Dia duduk di samping ranjang tempatku terbaring. Oh, wanita itu yang dulu juga menjagaku di sini. Dan aku belum tau namanya, mengerikan sekali.
“Apakah yang menimpaku tadi … sama seperti yang dulu itu?”

Wanita itu mengangguk, lalu memberiku segelas air putih yang sedari tadi sudah digenggam olehnya.
“Minumlah. Kau tetap di sini sampai kau pulih.”

“Tapi aku tidak sakit apa-apa. Aku hanya pingsan!” teriakku, meminta agar segera dikembalikan ke kelas.

Wanita itu membelai rambutku, “Memangnya kau pingsan karena apa? Kau belum tau, ‘kan?”
Aku menatap wanita itu. “Kau siapa?”

“Yuka Yamada.”

Aku pun bernjak duduk setelah mendengar ucapan wanita itu. “Kau … jangan-jangan ….”

“Ya, aku adalah kakak dari temanmu, Shota.”

Hei, kenapa aku baru menyadarinya? Perempuan ini memang memiliki kemiripan dengan Shota. Dan lagi, sama-sama keturunan Jepang. Terlambat sekali aku menyadarinya.

“Kenapa tak memberitahuku dari dulu?”

“Saat itu, kau belum kenal dengan adikku, bukan?”

Aku pun mengangguk, benar juga. saat itu, hari pertama sekolah dan aku belum mengenal satu pun teman sekelasku. Kurasa, kak Yuka ini adalah orang yang baik, tak berbeda dengan Shota, jika dilihat dari wajah dan sikapnya yang ramah.

“Ngomong-ngomong,” kuletakkan gelasku ke meja kecil yang ada di samping. “bisakah kakak ceritakan kenapa Shota ada di kelas 2-F? Oh, dan begitu juga aku. Kau pasti sudah lama bekerja di sini bukan?”

“Terlalu terburu-buru, rasa ingin tahu yang tinggi, dan ceroboh.”

Aku mengernyitkan dahi. Apa hubungannya dengan pertanyaanku? Pasti dia salah dengar.

“Kau seperti kuda yang merengek kehilangan tuannya. Tersesat di padang pasir yang gersang, kau tak memiliki arah tanpa tuanmu.”

Aku masih diam, tak mengerti apa yang kak Yuka maksud. Dan tiba-tiba, suara beberapa orang yang berbincang di luar ruangan menggangguku. Mereka akan masuk ke mari.

Gagang pintu diputar, lalu ….

“Erika? Kenapa kau bisa pingsan lagi, sayang?”

Bibi Sinta dan Paman Rudi.

Aku pun harus tetap berada di sana sambil mendengar celotehan mereka yang mengkhawatirkanku. Dan pada akhirnya, aku malah disuruh untuk pulang dari sekolah.

Aku mulai menyadari. Ternyata, ada banyak sekali orang yang memperhatikanku dan mencemaskanku.

Dan aku semakin takut dengan rasa senang itu.

***

-TBC-

***

a/n :

oke akhirnya bisa lanjut juga =) <--padahal dia mau ujian praktek

di chapter ini pendek sekali memang, mood saya mentok segitu(???)

thanks syudah baca


sign, uul

Jumat, 13 Maret 2015

[original fiction] : angkutan di lubuk senja

Diposting oleh fuyuhanacherry di 18.02 2 komentar
Ditatapnya punggung pemuda berambut hitam tadi, untuk entah keberapa kalinya. Laki-laki yang tengah duduk membelakanginya tengah sibuk dengan teman-teman sepermainannya. Tawanya mengusik seorang gadis yang memiliki sepasang manik coklat tua untuk memandanginya—walau wajahpun tak dapat dipandangnya karena tertutup punggung yang berbalut atasan seragam sekolah putih.

Rasanya menyebalkan sekali ketika kita gagal move on dari seseorang yang sama sekali tidak menyukai kita—melihatpun tidak. Lisa menghela nafas pendek dengan memejamkan matanya.
“Lisa, kau tidak memakan bekalmu?”

Lisa sedikit terkejut mendengar temannya berucap. “O-oh … ya.”

Dirinya sudah terserang virus gagal move on para remaja masa kini. Pikirannya seakan berputar tanpa arah dan hanya tertuju pada orang itu, Arika.
.

.

.


~a original fiction~

angkutan di lubuk senja © fuyuhanacherry

.

.

.

Warning : typo(s), dan beberapa kesalahan lain
.

.

.


Lisa melirik jam tangan rapyak yang terpasang di pergelangan tangan kirinya. Pukul 4 sore. Jam les yang diundur karena suatu hal yang tak dijelaskan oleh guru lesnya membuat waktu pulangpun mundur satu jam dari sebelumnya.

Dia masih berdiri di depan tempat yang biasanya menjadi tempat pemberhentian angkutan, cukup lama sampai akhirnya wajah angkutan jurusan yang menjadi tujuannya tampak di ujung pandangan. Warnanya biru muda, seperti langit pagi hari yang memancarkan semangat di awal hari.
Tanpa Lisa aba-aba, angkutan itu langsung berhenti di hadapannya dan tak lama sesudahnya langkah kaki gadis itu terangkat, memasuki mobil yang menjadi alat transportasi utama bagi para warga di kota itu.

“Sabar ya, Dik. Nunggu penumpangnya lama.”

Walaupun si pak supir sudah berkata seperti itu, Lisa tetap saja kesal harus menunggu sampai beberapa orang memasuki angkutan itu. Masih belum penuh, tapi untunglah angkutan berjalan juga dengan awal yang lirih.

Belum satu kilometer angkutan biru itu berjalan, rodanya sudah berhenti berputar. Lisa mendongak, lalu mengarahkan kedua bola matanya ke arah jendela yang terbuka. Dia terkejut.

Seorang laki-laki seumurannya memasuki angkutan yang ia tumpangi itu. Dirinya yang duduk di ujung kursi penumpang sebelah kiri awalnya memasang wajah seperti seorang yang mendapat sebuah kejutan tak terduga—ya, memang dirinya sedang merasa seperti itu. Laki-laki yang tadi dipandanginya duduk di dekat pintu, dan sesegera mungkin Lisa membuang muka dari orang itu, lalu memandangi pemandangan di luar jendela angkutan seperti biasa.

Hei, kalau dipikir-pikir, Arika itu seperti angkutan yang bekerja di sore hari. Karena menurut bisik-bisik gosip yang ada di sekolah, laki-laki itu sedang menyukai seorang gadis, namanya Karina. Dia sudah lama menyukai gadis berpenampilan ayu itu, namun tidak ada perubahan.

Seperti angkutan di sore hari. Menunggu lama demi pelanggan yang tempat tujuannya bukanlah angkut itu. Sampai kapanpun menunggu, jika penumpang itu bukan pengguna jurusannya, tak mungkin dia menaikinya. Padahal di lain tempat, masih ada orang yang menunggunya. Tapi dia tidak sadar dan hanya berfokus pada tempat yang sedang menjadi tempatnya menunggu.

Satu per satu penumpang turun tanpa Lisa sadari. Sampai ketika di suatu pertigaan, penumpang yang tersisa hanya mereka berdua. Lisa dan Arika. Gadis seketika menjadi itu gugup.

Ia ingin sekali berbicara dengan teman sekelasnya itu—karena sebelumnya tidak pernah. Lisa hanya mengaguminya dalam diam. Hatinya berteriak ‘suka!’ tapi bibirnya terkunci rapat. Bahkan dari sikapnya pun tak seorang pun dapat mengira bahwa gadis itu menyukai Arika. Sangat terencana sekali, dan tersembunyi.

Jarak rumahnya masih sekitar 2 kilometer lagi. Dia harus menunggu sebentar untuk keluar dari sana. Sedangkan Arika masih duduk di dekat pintu, mengarahkan pandangannya pada pemandangan di luar pintu yang sangat dekat dengannya.

Lisa menghembuskan nafas sekali lagi untuk membuang rasa gugupnya. Tidak, seharusnya saat ini dia sudah melupakan laki-laki itu. Tapi … kenapa?

Lisa melirik sekilas spion mobil yang ada di bagian depan, dekat dengan tempat supir berkendara. Dan dia amat tak percaya setelah menyadari bahwa Arika tengah memandanginya dari kaca itu. Dan bukan hanya sedetik dua detik. Lebih dari itu. Sampai-sampai setiap Lisa mencuri pandangnya kea rah kaca spion itu, dua mata masih mengintainya dari sana. Kenapa? Kenapa seperti ini?

“Kiri!” Tiba-tiba, pemuda itu berucap sambil sedikit menyerongkan duduknya ke arah supir. Dan mobil pun berhenti.

“Sampai jumpa, Lisa.”

… apa yang barusan pemuda itu ucapkan?

Laki-laki itu tak menghadap ke arah Lisa sekalipun, tapi Lisa berani bersumpah, bahwa dia mendengar Arika berkata seperti itu. Hei, ada apa gerangan?

Arika sudah turun dari angkutannya. Kini, tinggal gadis itu seorang sampai pada akhirnya, ia pun harus keluar dan turun dari kendaraan beroda empat itu.

Sedetik tatapan, rusaklah move on sebelangga. Mungkin jika diibaratkan dengan apa yang telah Lisa alami, begitulah bunyi pepatah. Tapi, apa-apaan itu? Apakah gossip tentang Arika yang menyukai Karina sudah tidak berlaku? Apakah dia kini sudah menjadi angkutan senja yang mengetahui bahwa ada orang yang tengah menunggunya di lain tempat?

Ah, harapan konyol kembali terulang di benak Lisa. Dia pun berpikir, “Jika dia bukan untukku, sampai kapan harapan ini akan bertahan?”

.

.

.

-END-

.

.

.


a/n :

ugh mood nulis pas lagi ujian emang the best! Selalu lancar padahal lagi sibuk huhuhuhu
orifict ini terinspirasi dari twit monica yuliana anggraeni walaupun pada akhirnya kacaw dan melenceng dari isi twitnya H4H4H4H4H4 maaf nik orzzzzz


sign, uul

[original fiction] iris

Diposting oleh fuyuhanacherry di 11.36 0 komentar
iris
© fuyuhanacherry
***
CHAPTER 1 : 2-F

Kedatanganku di sebuah kelompok orang-orang aneh yang mereka sebut dengan 'kelas' itu membuatku berpikir banyak hal. Kenapa aku di sini, dan kenapa kelasku ini berbeda dari yang lainnya.

Saat pertama kali kakiku menginjak lantai kelas yang berwarna sewarna dengan cat dindingnya, dapat kurasakan aura-aura tak biasa. Di samping semua anak di dalam sana yang berisik, ada sebuah lagu yang merasuk ke dalam pikiranku saat itu senada dengan langkah kakiku yang makin bertambah. Suara bising anak-anak masih dapat kudeteksi, namun suara nyanyian itu terdengar samar-samar—tidak terlalu jelas tapi sangat mengganggu pikiranku. Takut. Aku pun mempercepat langkahku sembari menutup kedua telingaku. Nyanyian itu semakin lama semakin membuatku tak bisa berpikir jernih. Sampai-sampai, aku dapat mendengarnya dengan jelas, liriknya pun aku dapat memastikannya.


—Senja menghampiri
Pelangi satu perempat, terkibas angin
Hilang tertelan awan
Mencari jejak kaki yang tertinggal
dalam masa lalu, apakah kau masih di sana?—


“Lisa!”

Teriakan menyambut terbukanya ke dua kelopak mataku.

Apa itu barusan? Apa yang terjadi?

“Syukurlah … kami sangat mengkhawatirkanmu.” Kulihat sosok yang tampaknya sangat mencemaskanku—jika dilihat dari nada suaranya yang memecah rasa takut. Penglihatanku masih samar, namun dapat kupastikan orang itu adalah bibiku, bibi Shinta.

Aku mengangkat punggungku dan membiarkanku duduk di atas ranjang. Kulihat sekeliling, ternyata di ruang UKS.

“Apa yang terjadi, Bi?”

“Kamu tadi pingsang di kelas. Wali kelasmu memanggil bibi, tadi,” jelasnya lirih. “Istirahat dulu agar segera pulih.”

Aku hanya mengangguk lemah menuruti perkataan wanita yang berprofesi sebagai ibu pedagang cathering itu. Jika pun aku bertanya yang macam-macam, dia tak akan tau jawabannya karena hanya diberi kabar oleh wali kelasku.

Aku harus bertanya pada anak-anak di kelas saat itu.

“Ngomong-ngomong, aku juga sudah memberitahu ibumu tentang kejadian ini,” ucap bibi tiba-tiba.
“Terimakasih …,” ujarku sebelum kulihat seseorang memasuki ruangan ini.

Seorang wanita, bertubuh tinggi dan berkulit putih. Wajahnya seperti orang Jepang. Atau mungkin dia memang keturunan Jepang?

“Bagaimana keadaanmu, Lisa?”

Dia tahu namaku. Aku pun menjawab dengan segera, “Aku baik-baik saja. Sungguh, tak ada rasa sakit di mana pun.”

“Kau berkata seperti itu karena ingin segera kembali ke kelas, bukan?”

Sial, dia dapat menebak pikiranku. Tiba-tiba, bunyi ringtone handphone milik bibi Shinta berdering. Dia pun mengangkatnya dan untuk beberapa saat berbincang dengan suara yang ada di seberang sana.
Sampai setelah dia menyudahi sambungan teleponnya, dia berkata, “Aku harus pulang. Ada pelanggan yang akan datang ke rumah.”

Dan berlalulah ia seakan tak pernah bertemu. Aku menghembuskan nafas perlahan, kemudian menatap wanita yang duduk di kursi yang sebelumnya menjadi tempat singgah bibi Shinta. “Tadi itu … aku kenapa?”

“Entahlah, mungkin hanya pingsan karena kelelahan. Teman-teman sekelasmu yang lebih tahu.” Wanita yang belum kuketahui namanya itu tersenyum. “Ngomong-ngomong, kau anak pindahan itu ‘kan?”

Aku mengangguk pelan, kemudian meratapi tubuh lemahku yang bagian perut sampai telapak kakinya berselimut kain putih hangat. Aku tidak sakit, dan tidak memiliki gangguan apa-apa dalam kesehatanku. Kelelahan? Mungkin, tapi kelelahan saat baru memasuki kelas itu rasanya—aneh.
Tunggu dulu, aku sekarang ingat satu hal. Nyanyian itu, nyanyian misterius yang terngiang-ngiang di telingaku. Aku yakin itulah penyebabnya. Tapi, aku tetap harus mengetahui apa yang terjadi ketika aku pingsan.

Sejak itulah aku sadar, kelasku bukan hanya berbeda dari segi penduduknya, namun juga hal-hal lain—yang menjerumus ke hal-hal mistis. Atau mungkin, aku hanya terlalu paranoid terhadap semua yang baru saja terjadi ini? Apakah aku dapat melalui hari-hariku berikutnya dengan tenang?
Sepertinya, tuhan tak menjamin itu.

***
Hari pertama di sekolah baru yang mengerikan. Jauh dari ekspektasi yang hanya sekedar menembus epidermis nyata.

Biar kujelaskan lagi. Kelas 2-F ini adalah kelas yang tak jauh dari kata ‘aneh’. Tidak ada yang memberitahuku tentang hal itu memang. Tapi aku dapat memastikannya setelah mengalami hari-hari yang terasa panjang di kelas ini.

Hampir semua murid di sini memiliki sifat yang tak selayaknya siswa SMP kelas 2—ya, karena ada satu orang yang masuk kategori normal. Orang normal itu adalah Shota Yamada. Ya, kalian dapat mengerti bahwa laki-laki itu keturunan Jepang. Setelah berbincang sebentar, sekarang aku tahu penyebab dia tinggal di sini—orangtuanya bercerai. Shota kini tinggal bersama ibu dan kakak perempuannya. Dan menurut kabar, dia juga termasuk siswa terpintar di sekolah. Tapi, kenapa dia ditempatkan di sini? Tempat orang-orang dengan kebiasaan unik berkumpul. Dan juga … kenapa aku dimasukkan di kelas ini? Apakah karena aku siswa pindahan? Atau karena aku juga orang aneh?
“Lisa, apakah kau punya sesuatu yang kau sukai? Semacam … kegemaran atau hobi?” tanya Shota dalam mode‘pause’ yang terasa dalam obrolan kami. Dia orang yang ramah dan menyenangkan diajak ngobrol—namun susah ditebak apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Dia orang yang penuh teka teki.

“Um ….” Aku mengerutkan dahi, berpikir. “Mungkin membaca komik? Aku suka komik-komik Jepang, lho.”

“Benarkah? Aku juga suka. Saat masih di Jepang, aku berlangganan komik dari shonen jump untuk koleksiku. Sedikit otaku, namun sekarang sudah tidak lagi, sih.”

Aku tersenyum, senang sekali mendengar cerita dari orang-orang yang penuh pengalaman seperti Shota. Semakin lama aku mengobrol, semakin menyenangkan bagiku berada di sini. Walau kelas 2-F bukan kelas yang normal, aku senang di sini ada seseorang yang dapat membuat hariku tak seburuk kelihatannya.

Istirahat kala itu kuhabiskan seluruhnya dengan berbincang bersama Shota. Sambil melihat orang-orang aneh melakukan kegiatannya di depan pandangan, aku berpikir, “Bagaimana jika aku mempelajari mereka dan membuat kelas ini tak dipandang sebelah mata?”

***
“Erika?”

“Hu’um,” Gadis berambut sebahu yang sedang sibuk memainkan alat-alat tulisnya mengangguk. Matanya masih belum beralih dari pensil-pensil dan penghapus yang dia susun menjadi sebuah bentuk yang ada dalam imajinasinya.

Erika Riski. Gadis 14 tahun yang lumayan tinggi dan mempunyai sepasang mata bulat berwarna coklat tua merupakan salah satu siswi di kelas ini. Keunikan yang ada dalam dirinya adalah moodnya seperti ayunan—dia bisa senang dan sedih secara tiba-tiba, dan dia juga bisa menjadi banyak omong ataupun pendiam dalam waktu yang tak terduga. Dia kelihatannya anak yang baik. Karena itulah aku mulai berpikir untuk mendekatkan diriku dengan orang-orang di kelas ini. Walaupun kepribadian mereka beraneka ragam dan mungkin sulit bagiku untuk memahami mereka.

Contoh lainnya … Aldi. Dia kelihatannya biasa saja, seperti anak laki-laki normal lainnya. Tapi, dia terobsesi dengan pisau dan benda-benda tajam. Sekali melihat benda-benda itu, dia langsung memainkannya seperti seorang pembunuh jahat yang ada di film-film kartun.

Lalu Rika. Dia gadis yang dingin dan tak pernah kulihat dia berbicara dengan orang lain. Seakan orang bisu yang hanya dapat mendengar suara-suara dari mulut orang lain. Rambutnya pendek, dengan poni yang rapi. Sebenarnya dia gadis yang cantik, jika saja ada senyuman yang terhias di wajahnya.

Oh, ya, dan ada lagi yang paling membuatku takjub. Namanya Kinan Hanabi. Dia imut, rambutnya panjang sepunggung dengan poni samping dan jepitang ungu yang selalu dipakainya setiap hari. Dia yang paling mencolok di kelas karena merupakan siswi yang aktif. Namun sayangnya, dia suka makan bunga. Seseorang berkata bahwa gadis itu sangat menyukai bunga, namun karena terlalu terobsesi dengan itu, membuat ia memiliki kebiasaan yang aneh.

Dan masih banyak lagi. Jumlah siswa di kelas ini adalah 29. Berbeda dengan kelas lain yang berjumlah 30. Aku sempat berpikir, kenapa bisa berbeda? Namun akhirnya aku tau—orang aneh tak sebanyak orang normal.

Dan ya, ‘aneh’ yang kumaksud di sini bukan dalam artian menjijikkan atau merendahkan. Hanya saja, aneh karena kuanggap tidak sewajarnya.

Awal-awal berada di sini rasanya biasa saja—selain peristiwa saat aku pingsan itu. Walau orang-orang di sini berbeda, pembelajaran tetap dilakukan seperti kelas normal lainnya. Hanya saja, pada suatu saat, sesuatu menggugah pertanyaan-pertanyaan konyol itu kembali datang.

“Ada anak yang meninggal!”

Kenapa aku di sini ….

“Dia ada pinggir sungai dekat sekolah!”

Kenapa orang seperti Shota di sini ….

“Sepertinya, ada seseorang yang mencoba membunuhnya.”

Sebenarnya, ada apakah di kelas ini?

***

a/n :

ulya kesambet sesuatu sampe ngetik horror (gagal) gini yampon padahal lagi pra-us pelis deh ul :’( /boboan/
chapter 2 nya mungkin bakal lama, karena ini juga cuma sekedar nulis apa yang lagi ada di otak


sign, uul

Sabtu, 21 Februari 2015

[original fiction] : dalam bingkai kacamatamu

Diposting oleh fuyuhanacherry di 11.55 0 komentar

Dalam Bingkai Kacamatamu © fuyuhanacherry

.

.

.

Enjoy and Happy Reading!

.

.

.

“Kenapa cemberut begitu?”

Wajah Mika seketika berpaling ke arah belakang, di mana seseorang yang barusan berucap dengan santainya sedang menaruh sepatu olahraga miliknya ke dalam lemari penyimpanan. Oh, ternyata Kazuma. Pemuda bermegane itu nampaknya membuat Mika gugup, karena gadis itu tak terbiasa berbicara dengan anak laki-laki, walau itu teman sekelasnya.

“Basket,” jawab Mika, lesu. Ya, sebelumnya, kelas 2-C melaksanakan pembelajaran mata pelajaran olahraga. Dan materi kali itu adalah basket. Mungkin basket adalah olahraga sederhana, bagi sebagian orang terkecuali Mika. Dia sangat tidak menyukai basket karena … tubuhnya yang pendek sehingga tak memudahkannya untuk melakukannya? Alasan yang konyol, memang.

“Hahaha, hanya karena itu? Seharusnya kau tak menyerah begitu saja. Semua orang pasti bi-”

“Terserah kau saja.” Mika memotong ucapan laki-laki di hadapannya itu. “Itu bagi kalian. Bagiku tidak,” ujarnya lagi, kemudian meninggalkan tempat lemari penyimpanan, menuju ruang ganti.

Kazuma yang ditinggalkan oleh gadis berambut sebahu itu tersenyum, tanpa Mika ketahui.




Mika mengerutkan dahi tatkala Hikari dan Yama, teman sekelasnya mengajaknya untuk melihat pertandingan basket di lapangan basket sekolah. Saat itu adalah sepulang sekolah sehingga mereka membawa tas mereka masing-masing. Bukannya menolak, dia justru kesal dengan ajakan itu. Seharusnya, Hikari mengerti kalau dia sangat membenci basket, pikirnya dalam hati.

“Ayolah … di sana ramai, lho! Sekolah kita bermain melawan SMU Sakura Gaoka!” Hikari terus mencoba membujuknya.

“Tidak mau,” ucap Mika pada akhirnya. “Kalian berdua saja.”

“Huh … padahal akan lebih menyenangkan jika kau juga ikut,” ungkap Yama lalu menghembuskan nafasnya pelan. “Kalau begitu sampai jum-”

“Tunggu.”Lagi-lagi Mika memutuskan ucapan orang yang berbicara dengannya. “Aku ikut ….”

Mereka bertiga pun akhirnya melangkah bersama-sama menuju lapangan basket yang berada di samping ruang musik. Sesampainya di sana, mereka langsung menduduki kursi penonton yang belum ditempati.

“Kenapa kau tiba-tiba ikut kami, Mika?” tanya Hikari, penasaran dengan pilihan Mika yang tiba-tiba berubah.

Mika menundukkan kepalanya, “Jika aku tidak ikut kalian, aku pulang dengan siapa?”

Hikari dan Yama terkikik pelan. “Dasar kau ini, makanya, cobalah menyapa orang lain. Jangan terus memasang wajah datar begitu, tahu!” canda Yama yang masih tertawa kecil.

“Ngomong-ngomong, itu Kuro-senpai ‘kan? Dia keren!” teriak Hikari sambil menunjuk seseorang berambut coklat tua yang tengah bermain di lapangan, Kuro-senpai. Senior mereka itu memanglah sosok idola para gadis di sekolah.Dan setelah Hikari berteriak kegirangan itu, pandangan ketiganya kini mulai terfokus pada pertandingan itu.

Mereka menonton pertandingan itu dengan seksama, sampai pada suatu ketika, Mika dikejutkan oleh sesuatu.

“Itu … bukannya Kazuma-kun?” Mika menunjuk ke arah seseorang yang baru saja mencetak skor untuk tim basket sekolah. Namun laki-laki itu tidak berkacamata.

“Ho … memang. Dia ikut tim basket sejak kelas 7,” jawab Yama. “Dan dia selalu melepas kacamatanya saat bermain basket. Aneh.”

Mika hanya mengangguk, mengerti. Dan sejujurnya, baru kali ini dia mengetahui bahwa Kazuma ikut tim basket sekolah. Pantas saja, kemarin laki-laki itu bersikeras untuk mengelak pernyataannya bahwa dia tidak menyukai basket. Ternyata karena ini ….

Dan dalam pertandingan itu, Kazuma berkali-kali mencetak skor. Sehingga membuat Mika takjub. Akan tetapi … secara tak sadar, ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya. Tidak, ini bukan karena pertandingannya. Tapi karena pemuda berkacamata itu yang tak memakai kecamatanya saat pertandingan.

Kenapa … keren sekali? Ah, mungkin hanya perasaannya saja karena baru pertama kali melihat Kazuma tanpa kacamata, batin Mika.

Sampai pertandingan hampir usai, mereka bertiga belum juga beranjak dari tempat itu. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 4 sore.

“Mari kita pulang. Sudah pasti sekolah kita yang menang hahahaha,” tawa Hikari, mengingat skor kedua tim yang berbanding jauh. Yama dan Mika mengangguk, lalu keluar dari ruangan itu.
Baru saja mereka keluar dari ruangan, Mika teringat sesuatu.

“Eh, aku lupa. Buku Biologiku ketinggalan di kelas! Um … kalian duluan saja, barangkali aku lama mengambilnya. Maaf,” ujar Mika sambil menundukkan badannya, lalu berlari menuju kelasnya yang berada di lantai atas yang membuat helaian-helaian rambut hitamnya terkibas.
Yama dan Hikari hanya tersenyum simpul, lalu melanjutkan perjalanannya meninggalkan sekolah.



“Huh, hampir saja.”

“Mika?”

Mika terperanjat kaget, ia langsung menoleh ke arah sumber suara. Ternyata Kazuma. Pemuda itu lagi-lagi muncul di saat dia sedang sendirian, dan itu lagi-lagi membuatnya gugup.
Kazuma mendekati gadis itu. Kali ini, ia sudah memakai kacamatanya. Dengan tubuh yang masih berbalut dengan seragam tim basket dan ransel hitam yang digendongnya, pemuda itu tersenyum. Manis sekali, sampai-sampai secara tak sadar, membuat pipi gadis di hadapannya memancarkan rona merah muda tipis.

“Kau baru pulang?”

Mika mengangguk. Dia memang tak bisa bicara banyak jika bukan dengan Yama dan Hikari, karena mereka bertiga sudah berteman akrab sejak SD.

“Ayo kita pulang.”

Degub jantung Mika kian cepat. Mika menelan ludahnya, apa yang harus dia lakukan saat ini?
“Hah?! Um … maksudku,” Mika memberi jeda dalam perkataannya, “baiklah.”

Mereka berdua pun melangkah bersama-sama di koridor sekolah yang sepi senyap. Mika masih saja mengunci mulutnya, dan keheningan menyelimuti mereka berdua. Semilir angin sore yang lembut dipadu dengan cahaya hangat mentari sore membuat suasana kian syahdu.

“Kenapa kau baru pulang? Di mana kedua temanmu yang tadi bersamamu saat menonton pertandingan?” tanya Kazuma tiba-tiba sambil menengok ke arah Mika yang masih berpandangan lurus ke depan.

“Aku mengambil bukuku yang tertinggal di kelas,” jawab Mika. Sebenarnya, dia cukup terkejut setelah mengetahui bahwa Kazuma melihatnya di lapangan saat itu. Dia tak menyangkanya sama sekali.

Laki-laki itu mengangguk. “Bagaimana dengan parmainanku tadi? Hebat ‘kan?” ujar Kazuma dengan percaya dirinya. Mika mengerucutkan bibirnya, bisa-bisanya Kazuma memamerkan dirinya sendiri padanya yang sama sekali tidak menyukai basket.

“Oh, masalah itu, kau masih membenci basket?”

“Tentu saja. Kau saat itu mengelak karena kau anak basket, ‘kan?” gerutu Mika.

Kazuma tersenyum, sehingga membuat matanya yang terhias frame kacamata menutup, “Kalau kau seperti itu, sampai kapanpun kau tidak akan bisa basket.”

Mika mengarahkan pandangannya pada Kazuma, untuk mendengar pernyataan selanjutnya.

“Kalau kau ingin bisa melakukannya, paksakan dulu dirimu untuk menyukai basket. Setelah itu, pasti secara perlahan kau dapat mendapatkan kemampuan itu.”

Mika masih belum melepaskan tatapannya kepada laki-laki berkacamata itu. Jadi, untuk menguasai sesuatu yang tadinya tidak disukai harus ada paksaan untuk menyukainya terlebih dahulu?
Tapi, kenapa secara tiba-tiba pemuda di sampingnya itu dapat membuatnya menyukainya tanpa ada paksaan? Dan kenapa tanpa ada keinginan untuk memilikinya, hatinya sudah menyukainya terlebih dahulu?

Lalu, jika sudah suka dan perlahan-lahan akan memiliknya, kapan?

Dan tanpa disadari, mereka sudah sampai di pertigaan yang memisahkan arah ke rumah mereka.
Mereka pun saling berpamitan satu sama lain, dan melambaikan tangan. Lalu melangkah ke rumah masing-masing.

Baru tiga langkah Mika beranjak, dia memutar tubuhnya 90 derajat, dan menoleh ke arah Kazuma yang mulai menjauh, dengan jarak yang semakin lama semakin terbentang. Ia tahu, laki-laki itu tidak akan balas menatapnya. Dia tak butuh itu, dia tak butuh pertanggung jawaban pemuda itu yang telah membuatnya jatuh hati. Dia mengerti, cinta datang tanpa paksaan, dan cinta berbalas bukan karena paksaan.

Sampai beberapa detik kemudian, matanya membulat tajam. Pemuda itu berbalik dan membalas tatapannya dengan jarak yang cukup jauh.

Dan Kazuma tersenyum, sambil melambaikan tangannya lagi. Mika pun membalas senyumannya.

Secara berbarengan, mereka kembali melangkah ke jalan menuju rumah masing-masing.
Dan tatapannya dalam bingkai kacamata saat itu adalah setitik harapan bagi Mika, yang menunda langkahnya untuk mundur. Setidaknya, harapan bukanlah sesuatu yang buta, harapan adalah kejora di tengah langit kelam.
-END-



A/N :
Yoyoy mama ini fictionku yang kupublish sebelumnya di akun fictionpressku X3 gak diedit karna males but yea cuman buat nambah-nambah postingan di sini doang seh (/////////) <--merasa WB


Sign, Uul
 

home sweet dream Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review