17/09/20
Hari dipublikasikannya tulisan ini adalah hari
ulangtahunku yang ke duapuluh. Kepala dua, ya … nggak kerasa. Kaya set set
wessss. Klise banget kalo aku bilang aku ngerasa masih kecil dan belum pantes
berada di umur itu. Tapi ya, gimana, emang rasanya belum siap meskipun mungkin udah
(sedikit) pantas.
Sejujurnya aku di masa lalu gakepikiran kalo aku
bakal nginjak umur 20. Kupikir aku bakal menghilang sebelum umur itu. Aku pikir
aku bakal musnah ditelan bumi karena gagal menjadi manusia. Tapi sekarang
rupanya aku bener-bener udah berada di titik ini. Wow, apa yang udah kudapat
dari seperlima abad kemarin ya? Entahlah. Gak mau juga terlalu mempermasalahkannya,
takutnya malah jadi topik perbandingan dengan manusia-manusia super lain di
luar sana.
Di umur ke-20 ini aku sengaja membuat postingan yang
didedikasikan untuk diriku sendiri. Merayakan pengulangan hari kelahiran
sendiri tidak begitu seru, memang, tapi aku sendiri nggak tau apa yang bisa aku
lakuin buat diriku sendiri selain menulis ini; selain memanggil rekam jejak
kehidupan yang telah lalu dan mengapresiasi semua langkah kaki yang sudah
konsisten aku ambil sampai detik ini.
Jadi, aku menemukan sebuah postingan di instagram
yang lumayan menarik. Isinya game menjawab
pertanyaan. Dan kayaknya seru kalo aku lakukan. Langsung aja, ya.
Apa kekuatan dan
kelemahan terbesarmu?
Aku mau menyangkal kalo aku seorang yang ‘kuat’,
tapi sepertinya ‘kekuatan’ dan ‘kuat’ adalah dua hal yang berbeda, bukan? Aku
memang bukan seorang yang kuat, tapi mungkin aku memang punya kekuatan.
Buktinya, aku masih bertahan hidup sampai sekarang.
Menurutku kekuatan terbesarku adalah menangkap dan
menelaah konklusi kehidupan. Kalau nggak begitu, aku nggak tahu untuk apa aku
tetap hidup. Edgy sekali.
Bukan kadang, tapi emang seringkali hidup bikin
bertanya-tanya ‘kenapa’, dan sejauh ini aku selalu bisa mencari jawabannya
sendiri.
Kenapa aku hidup? Karena ada yang mengharapkan
kehadiranku. Kenapa aku bertahan hidup? Karena eksistensiku sudah terlanjur
dikenal dunia. Atau mungkin, kenapa aku lemah? Karena aku akan menghancurkan
hidup oranglain jika aku kuat.
Intinya, ‘kenapa’ dan ‘karena’ sudah menjadi kerabat
pikiranku. Mungkin karena itu orang-orang melihatku sebagai orang yang kritis.
Padahal nggak juga, aku masih suka kemakan ego sendiri. Aku kadang terlalu
realistis dan terlalu mengedepankan asumsi-asumsi logis sampe melukai oranglain
secara nggak sengaja hm, sering terjadi. Sebenernya cuma karena aku penganut bitter truth aja sih, dan hal tersebut
bukanlah konsumsi semua jenis orang. Aku akhir-akhir ini menyadari kalau aku
perlu hati-hati dengan ini, karena bisa jadi boomerang juga.
Kalau kelemahan… aku nggak bisa menjelaskan, nggak
mau. Akan terlalu memakan banyak energi untuk menuliskannya. Tapi aku merasa
apa yang jadi kekuatanku mungkin bisa juga menjadi kelemahanku juga seperti
yang aku jelaskan tadi, ironis.
Selain itu karena menurutku ada kalanya sebuah
pertanyaan lebih baik tak memiliki jawaban agar ia bisa bebas dan menolerir
apapun yang telah terjadi, jadi biarin aja jadi pertanyaan terbuka.
Tapi aku kasih bocoran dikit: insecurity.
Di mana kamu
merasa berharga dan dicintai?
Kata orang-orang dari ranah ilmu psikologi, bahasa
cinta setiap orang itu beda-beda. Mungkin semua orang yang ada di sekitarku
telah menyisakan beberapa remahan cintanya ke aku, dan aku nggak menyadarinya
karena dalam perspektifku, bentuk cinta yang aku anggap nyata cuma segelintir
dari yang mereka kasih. Tidak adil, ya, tapi mungkin adil juga kalau semua
orang juga merasakan dan melakukan hal yang sama. Namanya sudah hukum alam.
Bahasa cinta yang bisa aku terima sampai sekarang
itu … afeksi yang ditunjukkan dalam sebuah aksi. Seperti bantuan, dukungan,
hiburan, dan lain-lain. Bukan berarti bahasa cinta dalam bentuk kata-kata,
hadiah, dan skinship tu nggak aku
terima, ya. Cuma rasanya masih mentah dan masih menimbulkan banyak pertanyaan. Contohnya,
mungkin aku bisa memberikan kata-kata indah untuk semua orang, padahal
intensitas cintaku ke semua orang jelas berbeda-beda, gabisa boong. Jadi
menurutku nggak terlalu akurat jika orang menyimpulkan besar kecintaanku ke
semua orang adalah sama hanya karena aku memberikan semua kata-kata itu buat
mereka. Tapi kalau aksi … dibutuhkan effort
lebih untuk melakukannya, karena itulah aku lebih percaya jenis bahasa yang
itu.
Aku merasa dihargai dalam beberapa lingkaran pertemananku.
Aku bukan tipe orang yang banyak dikenal dan bisa menunjukkan diriku yang asli
dengan siapa saja. Karena itu, orang-orang yang sudah tahu bagaimana aku yang
asli dan yang tidak tipu-tipu, bisa dipastikan mereka telah membuatku merasa
dihargai karena aku tidak perlu menutup-nutupi apapun lagi. Terima kasih!
Apa saja hal-hal
besar atau kecil yang membuatmu bahagia?
Aku sering mendengar kata-kata semacam ‘bahagia itu
sederhana’, dan aku sama sekali nggak setuju dengan hal itu.
Bahagia itu nggak sederhana. Bahagia itu suatu hal
yang mewah. Nggak ada ukuran yang pasti buat bisa bikin orang bahagia. Definisi
atau bahkan deskripsi bahagia itu rancu. Bisa aja seseorang merasa bahagia
dengan banyak uang, di sisi lain ada orang yang punya banyak uang tapi ngerasa
nggak bahagia. Ada orang yang mempunyai keluarga lengkap dan merasa bahagia,
ada pula orang yang mempunyai keluarga sama lengkapnya tapi nggak bahagia.
Pada dasarnya bahagia tu bukan sesuatu yang bisa digali
faktor-faktor pemicunya. Karena itulah, bahagia itu nggak sederhana.
Tapi kalau ‘bahagia bisa datang dari hal-hal
sederhana’, baru aku setuju.
Hal besar yang membuatku bahagia mungkin teman. Aku
bahagia kalau aku punya teman yang bisa membuatku menerima diriku sendiri dan bisa
membuatku merasa bahwa eksistensiku punya nilai. Menurutku, punya teman yang
tulus adalah salah satu rezeki terbesarku. Mungkin kalian pikir aku sotoy dan
terlalu positif thinking kalo teman
yang aku punya sekarang itu tulus dan apa adanya. Bisa aja mereka muka dua,
iya, ‘kan? Tapi persetan, sekalipun aku tampak bodoh karena itu, aku merasa apa
yang aku rasakan ini nggak ada salahnya. Nggak ada salahnya aku menganggap
seseorang sebagai orang yang penting. Nggak ada salahnya aku menganggap
seseorang sebagai orang yang harus aku hargai. Kalaupun nantinya dunia
menamparku karena aku salahpaham, setidaknya aku nggak melakukan hal yang
menyakiti oranglain.
Dan hal besar yang lain adalah uang.
Kalau hal-hal kecil … aku bahagia ketika aku punya
kesempatan untuk mencoba banyak hal. Mengembangkan hobi-hobiku, misalnya. Atau
mencoba hal-hal baru yang sama sekali aku nggak bisa dan nggak aku dalami.
Karena aku pikir, ini semua adalah salah satu privilege—nggak semua orang punya kesempatan yang sama denganku.
Aku suka banget semua hal yang menyangkut seni dan
sastra. Tapi nggak menutup kesempatan buat hal-hal di luar itu juga. Aku dulu
cukup suka mata pelajaran berhitung dan fisika. Aku juga akhir-akhir ini suka
membuat kue. Pokoknya melakukan sesuatu yang sebelumnya Cuma aku lihat dari
layar kaca atau dari ruang oranglain tuh membahagiakan. Karena setelah
melakukannya, aku bisa meyakinkan diri bahwa ‘ohhh ternyata aku bisa juga, ya’
walau tidak seepik yang oranglain hasilkan.
Apa saja
sifat-sifat oranglain yang membuat kamu kagum?
Secara garis besar sudah pasti sifat yang nggak atau
belum aku miliki hihi karena sudah hukum alam, halaman tetangga selalu tampak
lebih kuning….. kok kuning? Karena aku nggak begitu suka warna hijau.
Mungkin sifat yang berkebalikan dari aku adalah
sifat orang-orang yang kuat. Secara psikis maupun fisik. Ya, dalam keduanya aku
selalu lemah. Maruk sekali.
Orang-orang kuat yang kumaksud itu … seperti orang
yang bisa mengendalikan hal-hal di sekitarnya, walaupun sebenarnya hanya
‘seolah-olah’. Tentu dalam hal ini aku mendambakan yang positif. Seperti, dia bisa
membuat semua orang respect padanya,
dia bisa membuat semua orang mengakui bahwa ia dibutuhkan karena bisa membawa
tawa dan riang. Selama ini, aku merasa justru aku adalah tipikal orang yang
selalu membutuhkan oranglain, bukan yang dibutuhkan.
Di atas itu semua, aku paling merasa kagum dengan
orang-orang yang tulus dan bisa mengekspresikan perasaannya dengan terbuka
kepada oranglain. Walau yang satu ini menurutku terlalu mengada-ada. Soalnya
kalau dipikir, orang akan memberikan reaksi kepada kita tergantung bagaimana
kita melakukan aksi duluan, ‘kan? Tapi menurutku ketulusan memang antara ada
dan tiada. Bukannya bermaksud curiga bahwa Rasulullah tidak tulus kepada
pengikutnya, tapi di zaman sekarang ini … tulus itu untuk apa? Kadang aku nggak
ngerti. Tapi aku kagum. Tapi sepertinya muluk-muluk jika aku ingin menjadi
seperti itu maupun ingin menemukannya.
Apa yang kamu
lakukan untuk dirimu sendiri ketika kamu sedih?
Tentu saja menikmati kesedihan! Suatu hal yang
sia-sia ketika kita bisa merasakan sesuatu, entah yang enak atau tidak, dan
kita malah mengelaknya.
Menurutku menikmati kesedihan juga salah satu
anugrah. Kesedihan bisa membangkitkan perasaan-perasaan yang telah mati.
Kesedihan bisa menyediakan tempat untuk bersandar dari peliknya hidup yang
sebelumnya hanya bisa disembunyikan. Kesedihan itu penetrasi. So, as long as I don’t lose myself, I will
accept it.
Tapi kalo aku lagi dalam situasi genting dan
kesedihan itu mengganggu aspek-aspek hidupku yang lain, aku bakal menangkalnya
dengan makan. Buang-buang uang intinya, haha! Coping mechanism ku emang makan sih, terutama makanan dan minuman manis.
Selain itu mungkin dengan karokean di rumah. Rekaman-rekaman. Aku merasa
beruntung dengan hal ini karena di masa stress pun aku masih bisa produktif
bikin cover hehe. Tapi gak selalu sih, kadang tetep jenuh juga. Paling utama
aku bakal me time aja sih. menyendiri. Karena bersosialisasi dengan orang tuh
jujur memakan energi sangat banyak buat aku. Jadi kalo aku excited pas ngobrol sama kalian, itu adalah hal yang bagus. Tandanya
aku mau meluangkan energiku cuma buat bikin kalian senang haha, meski kadang harus
menjadi badut
Apa yang kamu
inginkan?
Kalau ngomongin masalah keinginan, jatuhnya malah
jadi kayak mengekspos keidealisanku, haha. Aku kadang malu dengan sisi yang
ini. memang memalukan. Aku jadi tampak munafik jika dilihat-lihat dari sudut
pandang seorang ulya dalam hari-hari biasanya.
Sebenernya aku juga nggak tau apa yang aku pengen.
Tapi entah kenapa, aku ngerasa aku nggak mampu juga mencapai itu, kalau pun aku
udah tau.
Apa yang aku ingin biasanya adalah hal-hal yang
kerap kali mustahil untuk ukuran seorang aku. Ya, aku sepesimis ini. tapi aku
muak juga hidup dalam dunia dongeng yang diciptakan pikiranku sendiri. Sekali
lagi, aku hanya realistis dan menerima bitter
truth. Kadang emang menyebalkan, ya seperti yang aku bilang di awal. Kata
orang, andai aku punya motivasi dan semangat, aku bisa jadi orang yang ‘besar’.
Tapi nggak, keinginanku yang jelas bukan jadi orang yang besar.
Kalau dipikir-pikir, meski aku nggak tau keinginanku
secara spesifik, tapi hidup tenang dan bisa diterima dunia sebagai seorang yang
mentah cukup menarik (Dan kalau bisa, tanpa perlu jadi orang besar dulu.)