Udah lama gak update tulisan di blogku. Karena akhir-akhir
ini aku lagi kembali dengan rutinitas membacaku, jadi sekalian aja deh aku
bikin review dari buku-buku yang aku baca belakangan ini (yang menarik untuk
diulas)
Yang akan aku ulas di postingan ini adalah buku fiksi karya
penulis Indonesia yang berjudul “Di Tanah Lada”. Intermezzo sedikit, aku udah pernah baca karya dari penulisnya, Kak Ziggy, dari zaman aku SMP! Kalo nggak
salah, dia nerbitin buku di fantasteen (terbitan Mizan) pas dia masih
remaja. Genrenya psikologi-thriller, judulnya Teru Teru Bozu. Aku masih ingat
betul dari Teru Teru Bozzu itu aku langsung ngefans sama stilistika dan gaya penceritaan Kak
Ziggy, udah ngebatin juga kalau Kak Ziggy ini bakal jadi penulis besar di
masa depan. Dan ternyata prediksiku benar. Buku-buku karya Kak Ziggy sekarang
banyak jadi perbincangan para pecinta buku di Indonesia. Senang juga aku
melihat perkembangannya!
Nah, selain gaya penceritaannya, yang aku suka dari
karya-karya Kak Ziggy adalah sense of titling (?) nya!!! Setiap bikin buku,
judul-judulnya tuh lucu dan memorable banget!! Dari Jakarta Sebelum Pagi, Di
Tanah Lada, Semua Ikan di Langit, sampai Kita Pergi Hari Ini dan yang paling
baru adalah Tiga dalam Kayu, semuanya tuh menurutku punya estetika tersendiri. Enak
buat disebut. Cover-covernya pun lucu-lucu banget, bahkan gak jarang kak Ziggy
menyuguhkan ilustrasi-ilustrasi karya dia sendiri dalam buku-bukunya! What a talented gurl~
Oke kambali ke tanah lada, novel dengan genre realistic
fiction ini menceritakan tentang petualangan hidup seorang anak perempuan umur
6 tahun pecandu KBBI bernama Ava. Singkat aja, Ava ini adalah korban broken
home dalam keluarganya. Pada suatu hari, dia pindah tempat tinggal ke sebuah
rusun yang kumuh bernama Rusun Nero. Di Rusun Nero inilah, dia bertemu dengan
teman yang senasib dengannya—sama-sama koban broken home, yang bernama P. Iya,
namanya cuma satu huruf. Dari nama saja kelihatan, kan, bagaimana kira-kira
orangtuanya memperlakukan P? P ini umurnya 10 tahun, ngomong-ngomong.
Nah, mereka akhirnya berteman baik dan jadi sangat dekat
sekali, karena merasa senasib sepenanggungan dengan kondisi keluarga mereka
yang porak poranda. Satu hari, ada suatu peristiwa yang akhirnya mengharuskan
mereka untuk kabur dari rusun. Mereka berdua sudah muak dengan keadaan yang
mereka terima itu, ceritanya, dan bertekad untuk pergi ke rumah nenek Ava. Rumah
nenek Ava terletak di lintas pulau, katanya, tempat itu biasa disebut sebagai “tanah
lada” karena menjadi tempat penghasil lada yang lumayan besar. Dari situlah,
novel ini mendapat judul “Di Tanah Lada”. Menurutku, ini pemilihan judul yang
sangat epik.
Dari awal kita bakal disuguhi dengan berbagai konflik ‘keluarga’
baik dari keluarga Ava maupun keluarga P. Dan, you know, cerita-cerita dengan
tema/topik keluarga tuh rasanya selalu sensitif buat diresapi. Baru seperempat
baca aja, aku dah mau nangis rasanya. Apalagi tokoh utamanya ini anak-anak. Aku
punya rasa empatik yang lebih sama anak-anak, soalnya.
Yang biasanya menjadi faktor kehebohan orang-orang yang
membaca novel ini adalah endingnya. Jujur, untuk aku pribadi, aku cukup
menyayangkan bagaimana cerita ini berakhir. Aku rasa, banyak hal yang masih
bisa dieksplor untuk menjadi closing
cerita yang lebih baik. Soalnya nanggung, gitu lho! Mereka udah mau nyampe di
ujung, udah nemu secercah cahaya, malah tiba-tiba milih berenti. Greget banget
rasanyaaaaa.
Tapi di bagian catatan penulis, Kak Ziggy sendiri menyatakan
bahwa dalam buku Di Tanah Lada cetakan kedua ini, yang tertaut 6 tahun dari cetakan
pertamanya, dia merasa ada banyak hal yang seharusnya bisa diperbaiki. Tapi kalau
harus menyunting ulang semuanya, jadi kayak penulisan ulang dan itu bakal
mengkhianati esensi karyanya sendiri yang ditulis pas dia masih ‘muda’. Jadi dia
harap pembaca dapat memaklumi kekurangan yang ada dalam novel tersebut. Jadi sepertinya Kak Ziggy juga paham bahwa memang ada beberapa hal yang seharusnya ‘tidak
seperti itu’, dan mau gimana lagi, ahahah
Selain ending dengan plottwist yang membagongkan, hal yang
aku kira menjadi kekurangan dalam novel ini adalah bagaimana penulis
mengembangkan karakter anak-anak. Ava, sebagai seorang anak berumur 6 tahun, menjadi sosok
yang kurang realistis dengan umur tersebut. Ava terlalu pintar, walau memang
memungkinkan ada anak umur segitu yang dapat menghafal banyak hal dalam ranah kebahasaan, tapi rasanya sulit dipercaya juga. Apalagi Ava dan P ini pemikirannya
terlalu ndakik-ndakik, sudah memikirkan masa depan, reikarnasi, dan
pemikiran-pemikiran filosofis lainnya. Walaupun memang keadaan yang mendesak
mereka untuk mendewasa lebih cepat dari anak normal lainnya, rasanya masih
kurang pas aja. Nggatau kenapa. Apalagi Ava dan P ini punya rentang umur
berbeda 4 tahun. Tapi mereka malah kayak seumuran secara pemikiran. Jadi kayak
ngga ada bedanya. Dan terlalu banyak ugh, romantisasinya? Masih sekecil itu
udah banyak tau tentang cinta, sedangkan aq yang 22 tahun masih bodoh tentang
cinta :”””( #halach
Tapi secara keseluruhan aku suka banget!!!!!!!! Menurutku sangat
heartwarming ketika sudah bisa diresapi seluk beluk ceritanya, walau mengguncangkan
juga dan gak anak-broken-home-friendly.
Aku selalu suka sama cerita-cerita yang
membahas tentang anak-anak. Memang aku punya ketertarikan tersendiri dalam
ranah itu, sih.
Novel Di Tanah Lada ini banyak menunjukkan permasalahan
berkaitan dengan susahnya jadi orangtua. Jadi orangtua sepertinya emang lebih
susah dari cari jodoh. Zaman sekarang dah ada aplikasi kencan, belum sosial
media ini itu yang bisa menghubungkan orang-orang dari seluruh penjuru dunia. Tapi
masalah bagaimana tata cara menjadi ayah atau ibu yang baik, nggak bisa didapat
cuma dari media-media digital yang berkembang di dunia yang semakin modern semacam
itu. Parenting perlu menjadi bahan
pembelajaran serius, tradisional. Kalo cuma nyaritau cara ngewa ngewe doang
tanpa mikirin gimana hasil dan konsekuensinya mah, buka pornhub gratis juga
bisa.
Untuk rate-nya, secara keseluruhan buku ini aku kasih 8.5/10.
Buat yang suka cerita-cerita sedih tentang keluarga dan
anak-anak, buku ini worth untuk masuk wishlist
baca kalian. Tapi kalau kalian punya trauma tentang toxic parents, lebih baik
jangan baca dulu, atau baca dengan pendampingan.
Trims dah membaca postingan ini. See you in the next post
0 komentar:
Posting Komentar