Jumat, 13 Maret 2015

[original fiction] iris

Diposting oleh fuyuhanacherry di 11.36
iris
© fuyuhanacherry
***
CHAPTER 1 : 2-F

Kedatanganku di sebuah kelompok orang-orang aneh yang mereka sebut dengan 'kelas' itu membuatku berpikir banyak hal. Kenapa aku di sini, dan kenapa kelasku ini berbeda dari yang lainnya.

Saat pertama kali kakiku menginjak lantai kelas yang berwarna sewarna dengan cat dindingnya, dapat kurasakan aura-aura tak biasa. Di samping semua anak di dalam sana yang berisik, ada sebuah lagu yang merasuk ke dalam pikiranku saat itu senada dengan langkah kakiku yang makin bertambah. Suara bising anak-anak masih dapat kudeteksi, namun suara nyanyian itu terdengar samar-samar—tidak terlalu jelas tapi sangat mengganggu pikiranku. Takut. Aku pun mempercepat langkahku sembari menutup kedua telingaku. Nyanyian itu semakin lama semakin membuatku tak bisa berpikir jernih. Sampai-sampai, aku dapat mendengarnya dengan jelas, liriknya pun aku dapat memastikannya.


—Senja menghampiri
Pelangi satu perempat, terkibas angin
Hilang tertelan awan
Mencari jejak kaki yang tertinggal
dalam masa lalu, apakah kau masih di sana?—


“Lisa!”

Teriakan menyambut terbukanya ke dua kelopak mataku.

Apa itu barusan? Apa yang terjadi?

“Syukurlah … kami sangat mengkhawatirkanmu.” Kulihat sosok yang tampaknya sangat mencemaskanku—jika dilihat dari nada suaranya yang memecah rasa takut. Penglihatanku masih samar, namun dapat kupastikan orang itu adalah bibiku, bibi Shinta.

Aku mengangkat punggungku dan membiarkanku duduk di atas ranjang. Kulihat sekeliling, ternyata di ruang UKS.

“Apa yang terjadi, Bi?”

“Kamu tadi pingsang di kelas. Wali kelasmu memanggil bibi, tadi,” jelasnya lirih. “Istirahat dulu agar segera pulih.”

Aku hanya mengangguk lemah menuruti perkataan wanita yang berprofesi sebagai ibu pedagang cathering itu. Jika pun aku bertanya yang macam-macam, dia tak akan tau jawabannya karena hanya diberi kabar oleh wali kelasku.

Aku harus bertanya pada anak-anak di kelas saat itu.

“Ngomong-ngomong, aku juga sudah memberitahu ibumu tentang kejadian ini,” ucap bibi tiba-tiba.
“Terimakasih …,” ujarku sebelum kulihat seseorang memasuki ruangan ini.

Seorang wanita, bertubuh tinggi dan berkulit putih. Wajahnya seperti orang Jepang. Atau mungkin dia memang keturunan Jepang?

“Bagaimana keadaanmu, Lisa?”

Dia tahu namaku. Aku pun menjawab dengan segera, “Aku baik-baik saja. Sungguh, tak ada rasa sakit di mana pun.”

“Kau berkata seperti itu karena ingin segera kembali ke kelas, bukan?”

Sial, dia dapat menebak pikiranku. Tiba-tiba, bunyi ringtone handphone milik bibi Shinta berdering. Dia pun mengangkatnya dan untuk beberapa saat berbincang dengan suara yang ada di seberang sana.
Sampai setelah dia menyudahi sambungan teleponnya, dia berkata, “Aku harus pulang. Ada pelanggan yang akan datang ke rumah.”

Dan berlalulah ia seakan tak pernah bertemu. Aku menghembuskan nafas perlahan, kemudian menatap wanita yang duduk di kursi yang sebelumnya menjadi tempat singgah bibi Shinta. “Tadi itu … aku kenapa?”

“Entahlah, mungkin hanya pingsan karena kelelahan. Teman-teman sekelasmu yang lebih tahu.” Wanita yang belum kuketahui namanya itu tersenyum. “Ngomong-ngomong, kau anak pindahan itu ‘kan?”

Aku mengangguk pelan, kemudian meratapi tubuh lemahku yang bagian perut sampai telapak kakinya berselimut kain putih hangat. Aku tidak sakit, dan tidak memiliki gangguan apa-apa dalam kesehatanku. Kelelahan? Mungkin, tapi kelelahan saat baru memasuki kelas itu rasanya—aneh.
Tunggu dulu, aku sekarang ingat satu hal. Nyanyian itu, nyanyian misterius yang terngiang-ngiang di telingaku. Aku yakin itulah penyebabnya. Tapi, aku tetap harus mengetahui apa yang terjadi ketika aku pingsan.

Sejak itulah aku sadar, kelasku bukan hanya berbeda dari segi penduduknya, namun juga hal-hal lain—yang menjerumus ke hal-hal mistis. Atau mungkin, aku hanya terlalu paranoid terhadap semua yang baru saja terjadi ini? Apakah aku dapat melalui hari-hariku berikutnya dengan tenang?
Sepertinya, tuhan tak menjamin itu.

***
Hari pertama di sekolah baru yang mengerikan. Jauh dari ekspektasi yang hanya sekedar menembus epidermis nyata.

Biar kujelaskan lagi. Kelas 2-F ini adalah kelas yang tak jauh dari kata ‘aneh’. Tidak ada yang memberitahuku tentang hal itu memang. Tapi aku dapat memastikannya setelah mengalami hari-hari yang terasa panjang di kelas ini.

Hampir semua murid di sini memiliki sifat yang tak selayaknya siswa SMP kelas 2—ya, karena ada satu orang yang masuk kategori normal. Orang normal itu adalah Shota Yamada. Ya, kalian dapat mengerti bahwa laki-laki itu keturunan Jepang. Setelah berbincang sebentar, sekarang aku tahu penyebab dia tinggal di sini—orangtuanya bercerai. Shota kini tinggal bersama ibu dan kakak perempuannya. Dan menurut kabar, dia juga termasuk siswa terpintar di sekolah. Tapi, kenapa dia ditempatkan di sini? Tempat orang-orang dengan kebiasaan unik berkumpul. Dan juga … kenapa aku dimasukkan di kelas ini? Apakah karena aku siswa pindahan? Atau karena aku juga orang aneh?
“Lisa, apakah kau punya sesuatu yang kau sukai? Semacam … kegemaran atau hobi?” tanya Shota dalam mode‘pause’ yang terasa dalam obrolan kami. Dia orang yang ramah dan menyenangkan diajak ngobrol—namun susah ditebak apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Dia orang yang penuh teka teki.

“Um ….” Aku mengerutkan dahi, berpikir. “Mungkin membaca komik? Aku suka komik-komik Jepang, lho.”

“Benarkah? Aku juga suka. Saat masih di Jepang, aku berlangganan komik dari shonen jump untuk koleksiku. Sedikit otaku, namun sekarang sudah tidak lagi, sih.”

Aku tersenyum, senang sekali mendengar cerita dari orang-orang yang penuh pengalaman seperti Shota. Semakin lama aku mengobrol, semakin menyenangkan bagiku berada di sini. Walau kelas 2-F bukan kelas yang normal, aku senang di sini ada seseorang yang dapat membuat hariku tak seburuk kelihatannya.

Istirahat kala itu kuhabiskan seluruhnya dengan berbincang bersama Shota. Sambil melihat orang-orang aneh melakukan kegiatannya di depan pandangan, aku berpikir, “Bagaimana jika aku mempelajari mereka dan membuat kelas ini tak dipandang sebelah mata?”

***
“Erika?”

“Hu’um,” Gadis berambut sebahu yang sedang sibuk memainkan alat-alat tulisnya mengangguk. Matanya masih belum beralih dari pensil-pensil dan penghapus yang dia susun menjadi sebuah bentuk yang ada dalam imajinasinya.

Erika Riski. Gadis 14 tahun yang lumayan tinggi dan mempunyai sepasang mata bulat berwarna coklat tua merupakan salah satu siswi di kelas ini. Keunikan yang ada dalam dirinya adalah moodnya seperti ayunan—dia bisa senang dan sedih secara tiba-tiba, dan dia juga bisa menjadi banyak omong ataupun pendiam dalam waktu yang tak terduga. Dia kelihatannya anak yang baik. Karena itulah aku mulai berpikir untuk mendekatkan diriku dengan orang-orang di kelas ini. Walaupun kepribadian mereka beraneka ragam dan mungkin sulit bagiku untuk memahami mereka.

Contoh lainnya … Aldi. Dia kelihatannya biasa saja, seperti anak laki-laki normal lainnya. Tapi, dia terobsesi dengan pisau dan benda-benda tajam. Sekali melihat benda-benda itu, dia langsung memainkannya seperti seorang pembunuh jahat yang ada di film-film kartun.

Lalu Rika. Dia gadis yang dingin dan tak pernah kulihat dia berbicara dengan orang lain. Seakan orang bisu yang hanya dapat mendengar suara-suara dari mulut orang lain. Rambutnya pendek, dengan poni yang rapi. Sebenarnya dia gadis yang cantik, jika saja ada senyuman yang terhias di wajahnya.

Oh, ya, dan ada lagi yang paling membuatku takjub. Namanya Kinan Hanabi. Dia imut, rambutnya panjang sepunggung dengan poni samping dan jepitang ungu yang selalu dipakainya setiap hari. Dia yang paling mencolok di kelas karena merupakan siswi yang aktif. Namun sayangnya, dia suka makan bunga. Seseorang berkata bahwa gadis itu sangat menyukai bunga, namun karena terlalu terobsesi dengan itu, membuat ia memiliki kebiasaan yang aneh.

Dan masih banyak lagi. Jumlah siswa di kelas ini adalah 29. Berbeda dengan kelas lain yang berjumlah 30. Aku sempat berpikir, kenapa bisa berbeda? Namun akhirnya aku tau—orang aneh tak sebanyak orang normal.

Dan ya, ‘aneh’ yang kumaksud di sini bukan dalam artian menjijikkan atau merendahkan. Hanya saja, aneh karena kuanggap tidak sewajarnya.

Awal-awal berada di sini rasanya biasa saja—selain peristiwa saat aku pingsan itu. Walau orang-orang di sini berbeda, pembelajaran tetap dilakukan seperti kelas normal lainnya. Hanya saja, pada suatu saat, sesuatu menggugah pertanyaan-pertanyaan konyol itu kembali datang.

“Ada anak yang meninggal!”

Kenapa aku di sini ….

“Dia ada pinggir sungai dekat sekolah!”

Kenapa orang seperti Shota di sini ….

“Sepertinya, ada seseorang yang mencoba membunuhnya.”

Sebenarnya, ada apakah di kelas ini?

***

a/n :

ulya kesambet sesuatu sampe ngetik horror (gagal) gini yampon padahal lagi pra-us pelis deh ul :’( /boboan/
chapter 2 nya mungkin bakal lama, karena ini juga cuma sekedar nulis apa yang lagi ada di otak


sign, uul

0 komentar:

Posting Komentar

 

home sweet dream Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review